Bab 8. Chef Juna?

2091 Kata
Dan di sinilah Juna berada. Di dapur Bunda Cana, Bundanya Helen, untuk memasak makan malam. Seperti yang dijanjikan Juna, ia akan menuruti semua permintaan Helen asalkan gadis itu mau memaafkannya. Maka jadilah Juna berperan sebagai koki selama seminggu ini. "Perasaan kan kamu yang mau jadi chef, Len. Kok sekarang Juna yang lagi masak di dapur Bunda?" Bunda Cana mengernyit heran. Sepertinya ia harus siap-siap kalau suatu waktu nanti dapurnya meledak. Sekarang saja dapurnya terlihat lebih berantakan dari pasar tradisional, hanya karena seorang Arjuna Dirgantara yang memaksa membuat makan malam untuk mereka. Yang membuatnya kagum kemudian membolehkan Juna menghancurkan tatanan dapurnya yang rapi adalah Juna yang tak ingin dibantu. Katanya ingin berusaha sendiri. "Ssttt!" Helen meletakkan hari telunjuk di bibirnya, meminta Bunda untuk tidak keras-keras kalau berbicara. "Bunda jangan berisik deh, biarin aja Juna yang masak." Bunda Cana menggeleng pelan, tidak mengerti dengan permainan kedua anaknya. Iya, kedua anaknya. Seperti halnya Juna yang sudah menganggapnya Ibu, Bunda Cana juga sudah menganggap Juna putranya sendiri. Perbedaan usia Helen dan Juna yang hanya beberapa jam saja membuat kedua anak itu seperti sepasang saudara kembar. Sejak kecil mereka selalu bersama. Lebih tepatnya Helen yang selalu mengekor Juna kemana pun pemuda itu pergi. Sampai mereka usia remaja seperti sekarang, keduanya tetap menempel. "Ini yang mau jadi chef siapa, yang masak siapa." Helen cemberut mendengar komentar Papa. Apalagi mendengar tawa Papa yang aduhai berisiknya. "Papa gimana sih ah, nggak seru banget." Bibir mungil Helen mengerucut. "Aku minta diam juga malah ketawa." Adrian Hendrawan makin tertawa mendengar ucapan putri tunggalnya. Helen memang ada-ada saja. Permintaannya malah membuat Adrian semakin ingin menjahilinya. "Perasaan yang kamu minta diam cuma Bunda deh, Len. Papa baru tiba jadi nggak dengar tadi." Helen makin cemberut, pipinya menggembung. "Papa nggak lucu pake banget!" serunya kesal. "Papa juga diam aja napa, biarin Juna gantiin Bunda buat masak makan malam." "Tapi kalo masakan Juna nggak bisa dimakan jangan salahin Bunda ya kalo kamu kelaparan malam ini!" ancam Bunda. Terus terang saja Cana merasa kesal pada Helen yang bisa-bisanya meminta Juna memasak makan malam untuk mereka selama satu minggu ke depan. Dan konyolnya Juna menyanggupi saja keinginan Helen itu, seolah ia koki profesional saja. "Bunda nggak mau tanggung jawab kalo kamu keracunan!" "Bunda ngomongnya kok sadis amat ya?" Helen bergidik. "Perasaan kata Juna si Amat nggak sadis tuh, Bun." "Astaga, Helen!" Bunda Cana menggeram tertahan. Ia harus sabar menghadapi putri tunggalnya yang kadang terlihat sangat polos. Contohnya seperti sekarang. "Pokoknya Bunda nggak mau tau kalo kamu kenapa-kenapa. Jangan minta tolong sama Bunda kalo kamu sakit perut atau semacamnya. Bunda sama Papa mau delivery order aja!" "Nggak perlu, Bun. Juna selesai kok masaknya." Mendengar ucapan Juna itu segera saja Bunda Cana memeriksa dapurnya. Mata Bunda Cana membola, dapurnya persis seperti kapal pecah. Ia yakin pasti membutuhkan waktu seharian untuk membersihkan tempat favorit kedua di rumah setelah kamar tidur. "Maaf, Bun. Dapurnya berantakan." Juna meringis, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bunda Cana mengembuskan napas melalui mulut pelan-pelan, mencoba bersabar. Ia akan minta bantuan Bik Lastri besok untuk membersihkan dapurnya. "Nggak apa-apa, Jun." Bunda Cana tersenyum. Melirik semangkuk besar nasi goreng yang masih berada di tangan Juna. Dari posisi berdirinya yang saat ini persis di depan Juna, Bunda Cana dapat mencium aroma wangi nasi goreng buatan Juna. Bentuknya juga terlihat menggugah selera. Ia baru tahu kalau Juna memiliki seni menghias masakan. Entah kalau rasa nasi gorengnya, Bunda Cana merasa ragu untuk mencicipinya. "Bunda malah minta maaf sama kamu. Karena Helen kami harus jadi koki dadakan." "Nggak apa-apa, Bun, sekali-sekali." Juna tersenyum. "Oh iya, Bun, nadi gorengnya Juna taruh di meja ya?" Bunda Cana mengangguk. Membiarkan Juna menaruh mangkuk besar berisi masakannya di meja makan. Sementara mengambil alat-alat makan yang tadi sudah disiapkannya di pantry. "Baunya sedap, Jun. Papa jadi lapar." "Juna harap rasanya juga sedap, Pa, nggak cuma baunya aja," ucap Juna sambil melepas celemek dan meletakkannya di kepala kursi yang akan didudukinya. Juna tersenyum setelah duduk, menaik-turunkan alisnya menggoda Helen. Helen mendengus kesal mendengar Papa yang memuji masakan Juna. Ada rasa iri terselip. Meski begitu, ia tetap tidak mau memasuki dapur lagi. Trauma. Bunda Cana meletakkan piring di depan meja masing-masing. Terakhir meletakkan piring di depannya. Kemudian menyendokkan nasi goreng ke atas piring mereka. "Helen yang mencoba pertama." Mata sipit Helen melebar mendengar perkataan Bunda. Bunda apa-apaan sih, sungut Helen dalam hati. Apa Bunda ingin ia sakit perut. Sudah pasti kan masakan Juna amburadul? Rasanya juga pasti seamburadul tampilannya. "Kenapa harus Helen duluan?" tanya Helen memprotes. "Kan lu yang mau gue masakin," jawab Juna. "Jadi lu harus mau dong jadi yang pertama nyobain." "Yang nyuruh aku buat minta apa aja siapa? Juna Jan?" balas Helen tak terima ia dipojokkan. Pokoknya ia tidak mau menjadi kelinci percobaan masakan Juna. "Tapi nggak nyuruh gue buat masak juga kali!" sungut Juna. "Kan terserah aku maunya minta apa!" Helen tetap tak mau kalah. Papa menggeleng melihat tingkah anaknya. Tak memedulikan perdebatan kecil mereka, Papa yang sudah lapar langsung mengambil satu sendok nasi goreng dan menyuapkan ke mulutnya. Lidahnya mengecap-ngecap, mencari kalau-kalau ada yang kurang. Ternyata tidak ada. Rasanya pas dan gurih. Enak. Bunda yang melihat Papa makan dengan lahap ikut menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Mata Bunda yang tertutup saat memasukkan nasi goreng ke dalam mulut, terbuka perlahan. Rasa nasi goreng ini pas, tidak keasinan juga tidak hambar. Sempurna untuk seorang pemula. Tak sia-sia Bunda membiarkan Juna menghancurkan dapurnya, nasi goreng buatan Juna enak. "Kalian masih berantem aja?" tanya Bunda menatap kedua remaja yang masih saja saling menyalahkan. "Nggak tau lho ya kalo nasi gorengnya habis dimakan Papa." Juna dan Helen melongo, melihat betapa lahapnya Papa memakan nasi goreng itu. Mereka saling berpandangan sesaat, kemudian menjauhkan mangkuk nasi goreng yang isinya tinggal separuh dari jangkauan Papa. Helen segera mengisi piringnya bergantian dengan Juna. Tak sabar Helen memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Sungguh ia sangat penasaran dengan rasanya, apakah benar-benar enak sampai-sampai Papa dan Bunda makan dengan lahap. Helen mengerjap, menatap Juna yang makan tanpa berkomentar apa-apa. Pemuda itu juga makan dengan cara biasa. Tak terlihat juga kakau Juna mengagumi masakan pertamanya. Membuat Helen curiga kalau sebenarnya Juna melihat contekan dari YouTube. Helen memicing, tatapannya penuh kecurigaan pada Juna. Juna yang merasa diawasi mengangkat wajah. Sebelah alisnya terangkat melihat tatapan Helen. "Apa?" tanyanya setelah menelan makanannya. "Masakan gue nggak enak? Atau lu curiga gue nyontek YouTube?" Pertanyaan to the point Juna membuat Helen membuang muka. Bagaimana Juna bisa tahu kalau ia mencurigainya seperti itu? Apa Juna bisa membaca pikiran? Helen mendengus kesal. "Ponsel Juna kan dari tadi di sini, Len. Kan kamu yang mainin." Papa yang menjawab. Nasi goreng di piringnya sudah habis. "Ponselnya masih di depan kamu tuh!" Papa menunjuk ponsel Juna yang berada di samping piring Helen. Kemudian mengambil air putih dan meminumnya sampai tersisa sepertiga gelas. Papa mengelap sudut bibirnya, makan malamnya sudah selesai. Helen berdecak kesal. Papa benar, sejak tadi ia memainkan ponsel Juna. Memeriksa isi galeri dan akun media sosial milik pemuda itu. Lalu bagaimana bisa ia menuduh Juna telah meniru masakan dari aplikasi video online itu? Bodoh, bodoh, bodoh! Helen merutuk dalam hati. Rasanya ia ingin menangis sekarang, sahabatnya yang seorang laki-laki ternyata bisa membuat nasi goreng seenak ini. Sementara ia yang sejak kecil bercita-cita menjadi seorang chef profesional sampai sekarang masih belum berani memasuki dapur dan memegang pisau. Ia bahkan trauma dengan minyak panas dan penggorengan. Tanpa bersuara apa pun untuk membela diri, Helen meneruskan makan malamnya. Dan ia yakin tidak akan terjadi apa-apa pada perutnya besok pagi. "Juna ternyata bisa masak ya? Nggak nyangka lho Bunda." Juna hanya tersenyum mendengar ucapan Bunda. Tak terdengar apa-apa dari mulutnya yang penuh. "Enak lagi," komentar Papa. "Helen kayaknya harus belajar dari Juna deh. Kan katanya mau jadi chef, masa sampe sekarang belum bisa masak?" Helen terbatuk mendengar sindiran Papa. Mata sipitnya mendelik. Buru-buru Juna yang duduk di seberangnya menyodorkan gelas air putih yang memang milik Helen. "Makannya pelan-pelan bisa kali?" omel Juna setelah Helen menerima gelas dan meminum isinya. "Nggak bakalan gue bawa pulang kok nasi gorengnya. Kalo lu suka besok gue masakin lagi." "Haris dong!" sahut Helen cepat. "Kan janjinya satu minggu mau masakin makan malam." Helen tersenyum penuh kemenangan. Tak menanggapi senyum Helen, Juna mengangguk. Ia mengelap sudut bibirnya, makan malamnya juga sudah selesai. "Besok lu mau makan apa, biar gue masakin." Helen mengerjap mendengarnya. Maksud perkataan Juna apa? Apa Juna benar-benar bisa memasak? "Kalo gue bisa pasti gue masakin. Tapi kalo nggak gue minta Bunda aja yang masakin." Juna nyengir lebar dengan sudut mata melirik Bunda yang menggeleng pelan. Dari cara Bunda menggeleng, ia yakin kalau Bunda maklum. "Kok gitu?" Helen cemberut. Tangannya menjauhkan piring yang sudah kosong dari hadapannya. Ia juga sudah menyelesaikan makan malamnya. "Nggak boleh kayak gitu dong, tetap harus Juna yang masak." Alis Juna terangkat. "Kalo gitu lu harus siap-siap obat sakit perut," sahutnya. Bibir mungil Helen mengerucut. Kesal mendengar perkataan Juna. "Nggak mau tau, pokoknya Juna harus masakkin aku seminggu!" "Iya iya bawel lu ah." Juna berdiri, bermaksud meninggalkan meja makan seperti Papa. Sementara Bunda masih di sini, merapikan alat-alat makan yang kotor bekas makan malam mereka. "Bantuin Bunda dong, Len. Kasian Bunda ngebersihin meja makan sendirian." Bibir mungil Helen makin mengerucut. Dengan sangat terpaksa Helen ikut mengumpulkan alat-alat makan kotor dan membawanya ke dapur untuk di cuci. Untung saja mereka memiliki mesin cuci piring, jadi ia tak perlu repot-repot mencuci piring. Tinggal memasukkan piring-piring kotor ke mesin dan semuanya beres. Helen meninggalkan dapur lebih dulu, Bunda katanya akan membuatkan kopi untuk Papa, juga s**u hangat untuk ia dan Juna. Helen mengambil dua stoples berisi camilan dan membawanya ke ruang keluarga, di mana Juna dan Papa berada sambil menonton televisi. Helen mendudukkan bokongnya di sebelah Juna, meletakkan stoples-stoples camilan di depan mereka. Helen merebahkan kepalanya di bahu Juna yang bersender, ia tak berniat menonton televisi seperti kedua laki-laki ini. Ia tidak menyukai pertandingan sepakbola. Juna melirik bahunya sekilas, tepatnya melirik kepala Helen yang berada di bahunya. Tangan Juna terulur mengambil salah satu stoples, memberikannya pada Helen. Yang langsung disambut oleh gadis itu. Juna sangat tahu kalau Helen sangat menyukai cookies cokelat yang berada dalam stoples itu. "Lu ngantuk?" tanya Juna, mengambil sepotong cookies dari stoples di pangkuan Helen dan memasukkan ke mulutnya. Helen menggeleng. "Nggak," jawabnya kesusahan. Mulutnya penuh dengan kue kering. "Terus ngapain nih kepala di bahu gue?" Juna mengangkat bahunya yang disenderi Helen. "Berat tau!" "Cuma bentar doang," protes Helen dengan wajah memelas. "Pelit amat sama bahu. Aku lagi capek, Juna." Saat Helen sedang manja seperti sekarang ini, bagi Juna gadis itu tampak sangat menggemaskan. Tapi, kalau sudah kumat jiwa macannya, jangan harap. Helen akan lebih bar-bar dari Bunda Cana yang terkenal pemarah. "Capek apaan?" Juna mengerutkan alis tebalnya. Sedikit heran dengan pernyataan Helen, karena setahunya Helen tidak mengerjakan apa-apa. Gadis itu hanya duduk di meja makan menungguinya memasak. Apa mungkin Helen lelah karena mengutak-atik ponselnya tadi? Ah, bukan. Rasanya ia tahu Helen lelah karena apa. Juna memutar bola mata. " Lu capek ngabisin nasi goteng buatan gue, iya kan? Ngaku aja deh lu!" "Itu tau," jawab Helen jujur. Gadis itu mengangkat kepala untuk mendaratkan sebuah ciuman di pipi Juna. "Makasih, Juna. Besok buatin lagi ya," ucapnya manis sebelum mengembalikan kepala ke posisi semula. "Ada maunya aja lu cium-cium gue, kalo nggak ada kuku lu yang mampir di pipi gue!" sewot Juna. Helen terkikik. Tak berniat membalas perkataan Juna, gadis itu memasukkan lagi sepotong cookies ke dalam mulutnya. Juna segera meminum s**u hangat yang baru saja diletakkan Bunda Cana di depannya. Juna penggemar berat s**u. Ia tidak bisa melihat produk berbahan dasar s**u, semua camilan di rumahnya mengandung minuman menyehatkan itu. "Bayi besar!" ejek Helen melihat gelas s**u Juna yang telah kosong. Helen takjub pada kemampuan Juna yang dapat menghabiskan segelas s**u hanya dalam sekali minum. Sebegitu candunya Juna dengan s**u, sampai-sampai tubuhnya menjulang. Usia tujuh belas tahun saja tinggi badan Juna sudah mencapai angka seratus delapan puluh. Apa kabar ketika Juna memasuki usia dewasa nanti? Tinggi badan Juna yang enam kaki itu berbanding terbalik dengan Helen yang tingginya tidak sampai seratus enam puluh senti. Di sisi Juna, Helen seperti seorang anak kecil. Begitu juga dengan Arsyi. Tinggi badan Arsyi juga hampir sama dengan Juna. Hanya berbeda lima senti saja Arsyi lebih pendek dari Juna. Helen senang-senang saja dikelilingi dua pemuda dengan tinggi badan di atas rata-rata. Helen hanya berharap ia dapat menyusul tinggi badan mereka. Meskipun begitu, Helen tetap tidak terlalu menyukai s**u.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN