Bab 5. Arjuna b******k!

2105 Kata
Dari jauh Juna sudah melihatnya. Lusi menuju ke arahnya dengan wajah yang cemberut. Juna meringis. Mereka sudah empat hati tidak bertemu, padahal baru jadian empat hari yang lalu. Dan itu artinya mereka bertemu hanya pada saat mereka jadian saja, setelah itu tidak lagi. Juna tidak menyalahkan Lusi kalau seandainya gadis itu marah padanya. Ia yang tidak menemuinya. Jangankan menemui, mengabari saja Juna tidak. Bahkan Juna tidak tahu apakah Lusi mengiriminya pesan atau tidak. Juna tidak tahu nomor gadis itu. Lagipula, seandainya Lusi mengiriminya pesan pun, ia tidak akan tahu juga. Juna tidak tahu nomor Lusi. Salah satu kebiasaan buruk Juna adalah tidak pernah menyimpan nomor gadis yang menjadi pacarnya. Menurut Juna tidak perlu, karena mereka akan putus juga nantinya. Jadi percuma saja, lebih baik tidak usah disimpan. Nomor tidak penting juga. Lusi tepat berhenti di depannya. Juna sudah mengambil ancang-ancang untuk menghindar kalau seandainya Lusi memukulnya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, Lusi hanya berdiri di depannya dengan kepala tertunduk. Entah apa yang dilakukan gadis itu. Memikirkan bagaimana cara untuk memutuskannya, mungkin. Apa? Putus? Mata Juna melebar sedetik, kembali seperti sedia kala di detik berikutnya. Juna tidak akan terima kalau Lusi meminta putus darinya. Tidak ada dalam sejarah bangsa Indonesia seorang William Arjuna Dirgantara diputuskan oleh kekasihnya. Yang ada ia yang memutuskan hubungan dengan kekasihnya. "Juna jahat hiks..." Juna berusaha untuk tidak mendengus maupun tertawa. Mendengus karena kesal dengan Lusi yang menangis di depannya. Juga ingin menertawakan dirinya sendiri yang bisa-bisanya berpikir akan diputuskan Lusi. Juna menggeleng sangat pelan. Sampai-sampai tidak ada yang mengira kalau Juna sedang menggerakkan kepalanya. Kenapa setiap perempuan itu selalu cengeng? pikir Juna sambil memutar bola mata. Ia tidak suka dengan gadis yang mudah menangis. Menurut Juna, air mata para gadis itu hanya pura-pura. Karena rata-rata para gadis pasti akan menangis kalau tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Juna tak menjawab. Tangannya terulur menarik bahu Lusi, memintanya duduk di sampingnya. Sementara Lusi menurut saja. Memang ini yang ia inginkan, berdua dengan Juna. "Udah selesai nangisnya?" tanya Juna sok perhatian. "Kalo kamu masih mau nangis, terusin aja sekarang. Aku bakalan nunggu kok. Tapi kalo udahan, kita ngomong." "Aku udah nggak mau nangis lagi kok," jawab Lusi di sela isak. Ia tadi tak bermaksud menangis. Tetapi karena kekesalannya memuncak, dadanya tiba-tiba saja terasa sesak. Dan jadilah ia menangis seperti ini. "Beneran?" tanya Juna sekali lagi. Ia memastikan. Sungguh, Juna tidak mau berbicara dengan seseorang kalau seseorang itu sedang menangis. Tidak akan ada gunanya baginya. Lusi mengangguk cepat. "Oke. Kalo gitu aku boleh nanya nggak?" Juna menatap Lusi meneliti. Ia ingin tahu Lusi berdusta atau tidak. "Kamu jawab yang jujur ya?" Lusi mengangguk cepat mendengar permintaan Juna itu. "Kok kamu nangis? Ada apa sih?" tanya Juna ingin tahu. Mata cokelatnya menatap Lusi dengan tatapan menyelidik. "Aku tau kalo aku salah. Aku sibuk makanya nggak bisa ketemu sama kamu." Lusi mengangkat wajah. Mata bulatnya menangkap kesal di sinar mata Juna. "Kamu sibuk sama Helen!" Sepasang alis Juna terangkat. Helen? Tentu saja ia selalu bersama dengan Helen. Sejak kecil gadis itu selalu menempel padanya, lalu apa masalahnya? Ia dan Helen itu sudah seperti saudara. Ini yang paling Juna tidak suka dari sifat para gadis. Mereka sangat suka mengatur pasangan mereka. Sementara Juna paling anti diatur. Juna tipe pemuda penganut kebebasan. "Terus?" tanya Juna tanpa rasa bersalah. "Kamu keberatan?" Lusi berusaha menahan diri agar tidak meledak. Pertanyaan macam apa itu? tanya Lusi dalam hati. Tentu saja ia keberatan. Ia sangat tidak suka kalau kekasihnya dekat-dekat dengan gadis lain. "Temen aku liat kamu sama Helen lagi makan di kantin kemaren," ucap Lusi lirih. "Nggak cuman kemaren kok," jawab Juna santai. "Tiap hari juga aku selalu makan di kantin pas istirahat. Sama Helen, sama Arsyi juga. Lalu apa masalahnya?" Masalahnya kamu nggak ngajak aku! Sebenarnya Lusi sangat ingin mengucapkan kata-kata itu, tapi ditahannya. Ia tak mau Juna marah kemudian Juna memutuskannya. Ia tidak ingin bernasib seperti kekasih-kekasih Juna sebelumnya. Diputuskan hanya karena sedikit kesalahan. "I-itu nggak juga," sahut Lusi gugup. "Aku.. aku cuma nggak enak aja sama teman aku. Dia nanya kita beneran pacaran atau nggak." "Cuekin aja, paling teman kamu itu cuma iri sama kamu," sahut Juna tersenyum. Senyum yang membuat luluh setiap gadis yang melihatnya, termasuk Lusi. Kemarahan dan kecemburuan yang tadi menumpuk di d**a gadis itu lenyap seketika melihat senyum Juna. Pipi Lusi memerah, bahkan sampai ke telinga. Lusi menundukkan kepala semakin gugup. "Masa teman aku iri sama aku?" tanya Lusi lamat-lamat tapi masih bisa didengar Juna. "Ke-kenapa?" Kalau ada penghargaan untuk orang paling santai menghadapi masalah, mungkin Juna akan memenangkan penghargaan itu. Atau penghargaan mengatasi masalah dengan sebuah senyum, mungkin Juna juga akan memenangkannya. Lihatlah bagaimana tenangnya sikapnya menghadapi kecemburuan Lusi. Gadis itu sekarang bahkan lupa dengan maksud kedatangannya menemui Juna di kelas pemuda itu. "Lusi Sayang, teman kamu cewek apa cowok?" Blush! Pipi Lusi makin memerah saja mendengar panggilan itu. Apakah benar panggilan sayang itu dialamatkan Juna padanya? Ia takut kalau hanya salah dengar, artinya ia perlu memeriksakan indra pendengarannya pada dokter spesialis. "Cewek." Suara Lusi terdengar makin lirih saja. Beruntung Juna memiliki pendengaran yang cukup tajam, sehingga Juna masih bisa mendengar jawaban Lusi. "Berarti dugaan aku benar!" ucap Juna dengan mata melirik kedua tangan Lusi yang saling meremas. Lusi cepat mengangkat kepala menatap Juna. Sungguh ia masih kurang paham dengan maksud dari ucapan Juna. "Benar?" ulang Lusi dengan mata mengerjap. "Yang mana?" Juna sangat ingin memutar matanya sekarang. Gadis yang duduk di depannya ini benar-benar. Lusi sekarang terlihat seperti perpaduan antara bodoh dan polos yang sangat sempurna. Juga terlihat menggemaskan dan menggairahkan secara bersamaan. Tapi Juna tidak tertarik membawanya ke atas ranjang. Lusi tampaknya tidak berpengalaman. Dulu saja Lusi menggodanya dengan menempelkan d**a besarnya itu ke lengannya. Sekarang gadis itu tampak seperti gadis yang lugu dan polos. Sedikit membosankan bagi Juna. Juna tidak tertarik pada gadis polos dan gadis baik-baik. Karena meninggalkan mereka akan menimbulkan rasa bersalah di hatinya. Tetapi ia lebih tidak tertarik lagi pada gadis yang bertingkah seperti seorang b*tch. Juna akan mencoret tiga tipe itu dari daftar gadis yang akan dikencaninya. "Teman kamu cemburu sama kamu karena kita pacaran, makanya teman kamu itu manas-manasin kamu." Juna mengembuskan napas. Tekadnya untuk memutuskan hubungan dengan Lusi semakin kuat saja. Lihatlah tatapan anak kecilnya itu, rasanya Juna ingin melemparnya saja. "Lusi Sayang, dengerin aku." Juna meraih tangan Lusi, membawa tangan mulus itu dalam genggamannya. "Aku emang dekat banget sama Helen, sejak bayi kami udah bareng. Jadi biasa aja tuh kalo kami makan atau apa pun berdua." Lusi kembali menundukkan kepala. Tatapannya fokus pada tangannya yang digenggam Juna. Ia sudah mengerti arti ucapan Juna. Pemuda itu pasti ingin mengatakan kalau Esti, temannya, juga menyukai Juna. Karena Esti mengatakan tentang Juna dan Helen. Ia juga sudah tahu tentang hubungan Juna dan gadis yang bernama Helen itu. Tapi tetap saja ia tak terima kalau pemuda yang menyandang status sebagai kekasihnya makan berduaan dengan gadis lain. Menurut Lusi, Esti tidak bersalah. Temannya itu hanya mengatakan apa yang dilihatnya. Siapa pun yang melihat kedekatan Juna dan Helen pasti akan berpikiran sama. Kalau kedua orang itu mempunyai hubungan lebih dari sekadar teman. "Satu hal, aku nggak suka dikekang apalagi diatur." Lusi kembali menatap wajah Juna. Wajah tampan yang selalu membuatnya berdebar. Sejak pertama masuk di sekolah ini, ia sudah tertarik pada sosok Juna yang katanya playboy. Ia merasa tertantang untuk mendapatkan seorang Arjuna. Lusi memang menyukai tantangan. Tapi sayang, Lusi polos dan agak bodoh. Bukan bodoh dalam pelajaran, tetapi dalam menanggapi sesuatu. Seperti sekarang, Lusi tidak paham dengan maksud Juna. Ia tidak tahu kalau Juna sedang berusaha untuk mengakhiri hubungan mereka dengan cara halus. "Aku tipe cowok bebas, Lus. So, kalo kamu mau cowok kamu nurutin semua perkataan kamu, cowok itu bukan aku." Mata cokelat Lusi melebar. "Ma-maksud kamu apa?" tanya Lusi terbata. Bibirnya bergetar. Ia tak ingin anggapannya tentang Juna benar. Juna memijit tangan Lusi yang berada dalam genggamannya. Mengembalikan tangan itu ke pangkuan Lusi sebelum menjawab. "Kita putus." Lusi menggeleng kuat. Apa yang dikhawatirkannya menjadi kenyataan. Juna memutuskan hubungan mereka. Tidak, Lusi tidak mau ini. Ia hanya ingin Juna mengkonfirmasi apa yang didengarnya dari Esti saja, bukan putus. "Maaf. Tapi aku nggak bisa sama cewek yang suka mengatur," ucap Juna dengan wajah tak berdosa. "Nggak, aku nggak mau," sahut Lusi lirih. Suara lirih yang menjadi pekikan keras pada akhirnya. "Aku nggak mau kita putus, Juna!" Juna hanya menatap Lusi dengan tatapan datar. Bukannya ia tidak memiliki perasaan. Melihat Lusi menangis sesak seperti ini sebenarnya ia tak tega. Tapi mau bagaimana lagi, keputusannya sudah bulat. Ia tak ingin menyakiti Lusi lebih jauh lagi. Karena Juna bukan tukang selingkuh. Arjuna hanya seorang playboy yang belum menemukan seseorang yang benar-benar dicintainya. Kalau sudah menemukan gadis yang bisa membuatnya bertekuk lutut, Juna pasti akan dengan senang hati menyerahkan gelar playboy-nya pada lelaki lain. "Maaf!" Hanya itu yang keluar dari mulut Juna sebelum pemuda itu berdiri dan melangkah menuju keluar kelas. Ia tidak suka pada perempuan cengeng. Meskipun Lusi menangis darah, ia tetap tidak akan mengubah keputusannya. Di depan pintu kelas, Juna bertemu dengan Hilda. Juna tahu kalau Hilda sejak tadi memperhatikan mereka. Kemungkinan besar Hilda juga mendengar semua yang ia dan Lusi bicarakan. Sudah bukan rahasia lagi kalau Hilda menyukainya sejak dulu, tetapi Juna tak pernah meresponsnya. Juna hanya menganggap Hilda sekedar teman, tak lebih. Juna berhenti di depan Hilda. "Bisa kamu anterin dia ke kelasnya?" tanya Juna datar. Hilda yang terkejut tak dapat menjawab. Gadis itu hanya mengangguk gugup. Ia ketahuan telah menguping. Cepat Hilda memasuki kelas. Tapi pada langkah ketiga Hilda berhenti, Juna memanggilnya. "Hilda!" Hilda berhenti, tapi tak menoleh apalagi berbalik. "Sekarang kamu tahu kan kenapa aku nggak nanggepin kamu? Karena aku nggak mau nyakitin kamu. Kamu cewek baik. Dan cewek sebaik kamu nggak pantas sama cowok sebrengsek aku!" Hilda berbalik cepat mendengar ucapan itu. Tapi sudah terlambat, karena Juna sudah tak ada lagi di tempatnya berdiri tadi. Hilda meremas dadanya. Juna tak ingin menyakitinya? Apa Juna tidak sadar, sikapnya seperti ini saja sudah menyakitinya. *** Juna tiba di kantin sesaat setelah Helen menghabiskan sepiring nasi goreng spesial buatan Ibu kantin. Masakan Ibu kantin sekolah mereka ini memang enak, tidak heran kalau Helen sangat suka makan di kantin. Sudah semua masakan yang ada di sini dicicipinya. Dan Helen menyukai semuanya. "Kok udah habis aja?" tanya Juna dengan mata melebar. "Gue nggak lu sisain, Len? Tega lu ya!" Helen memutar bola mata bosan. "Siapa suruh telat!" jawabnya acuh. "Masa lu mau minta punya Helen?" tanya Arsyi dengan menaikkan sebelah alisnya. "Pesan aja sana!" Juna duduk dengan kesal di samping Helen. "Udah habis, Arsy!" ucapnya menggebu. "Lu kan tau masakan Bu kantin favorit banget." "Udah tau favorit kenapa lu telat? Salah siapa coba?" "Salah Juna!" jawab Helen senang. Gadis itu bertepuk tangan. Sungguh, ia sangat bahagia melihat Juna tersiksa. Seperti halnya Juna yang sangat senang menistakannya. Juna mendelik tajam pada Helen. "Mampus!" sembur Helen dengan senyum mengejek. "Adek durhaka lu, Len," sungut Juna kesal. "Lama-lama gue kutuk juga lu jadi ayam. Terus ayamnya gue potong, gue goreng, terus gue makan. Kenyang." "Kanibal!" belalak Helen. Juna tidak menggubris. Pemuda itu malah memperagakan gerakan orang makan dengan rakus. Yang dianggap Helen gerakan kanibal. Helen memukuli bahu Juna kesal. Sementara Juna tidak peduli, pemuda itu terus saja menggoda Helen dengan menirukan gerakan orang kelaparan sedang makan. Arsyi menggeleng melihat pemandangan lazim di depannya. Pemuda itu mengembuskan napas kasar. "Gitu aja kalian terus sampe bel masuk bunyi. Biar nggak ada yang makan sama minum lagi," ucap Arsyi sambil memutar bola mata jengah. "Kelaparan tau rasa kalian!" Helen dan Juna serentak menghentikan gerakan mereka. Kemudian Juna segera bangkit dan berjalan tergesa menuju meja pantry, ia akan memesan makanan yang masih ada. "Juna, titip minum ya!" seru Helen. Juna tak menjawab, hanya mengacungkan ibu jari sebagai tanda kalau ia mendengae seruan Helen. Arsyi berdecak. Sedikit kesal dengan seruan Helen. Kesal tapi ia sudah terbiasa dengan tingkah absurd kedua orang berbeda jenis kelamin di depannya. Juna dan Helen selalu saja ribut di mana pun mereka berada. Sangat berbeda dengan dirinya yang tenang dan dingin. Jujur saja, sampai sekarang ia masih bingung bagaimana dua orang berda kepribadian seperti dirinya dan Juna bisa bersahabat sampai selama ini. Juna itu sangat berisik, sementara ia pencandu ketenangan. Beruntung Helen tidak seperti Juna. Kekasihnya itu selalu bisa menyesuaikan diri. Helen menjadi gadis manja yang tidak banyak tingkah bila bersamanya. Dan Juna, tetap menjadi dirinya meskipun mereka sedang menghabiskan waktu bersama. Selalu heboh dan aktif. Diantara mereka bertiga, Arsyi yang paling terlihat dewasa. Arsyi juga yang sering menegur tingkah kekanakan Juna dan Helen. Atau kalau Juna sudah terlewat batas. Seperti membuat seorang gadis menangis misalnya. Laku bagaimana kalau Arsyi tahu Juna sudah menyebabkan Lusi menangis?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN