Kantin sekolah selalu menjadi tempat favorit para siswa saat istirahat apalagi jam kosong seperti sekarang. Begitu juga Helen dan Juna. Absennya guru yang mengajar, sementara guru pengganti tidak ada membuat kelas XI IPA 3 dalam keadaan jam kosong. Para siswa langsung berhamburan keluar kelas. Tak ketinggalan Helen dan Juna. Helen dengan semangat empat lima menarik Juna menuju kantin. Ia ingin makan soto lagi. Soto di kantin sekolah mereka memang terkenal enak, begitu pun dengan makanan lainnya. Helen selalu tak cukup kalau hanya makan satu porsi.
Seporsi soto sudah habis, tersisa mangkuknya saja di meja. Tapi Helen masih belum puas. Gadis itu sekarang memakan batagor yang tadi dipesannya bersamaan dengan soto.
"Kok gue ngeri ya, Len, kalo liat lu makan," celetuk Juna dengan tampang horor.
Helen tak menjawab, hanya alisnya saja yang terangkat tanda bertanya. Mulut Helen penuh dengan batagor.
"Badan lu kan kecil ya, tapi kok porsi makan lu kayak buat orang sekampung?" Juna menatap Helen dengan tatapan menyelidik. Sepasang alisnya mengerut dengan jari telunjuk mengetuk-ngetuk dagu. "Atau jangan-jangan lu itu..." Juna menggantung ucapannya.
"Apa?" tanya Helen tak sabar setelah menelan batagor yang tadi memenuhi mulutnya.
Karena duduk mereka berseberangan, Juna mencondongkan tubuhnya agar dapat membisiki Helen.
"Jangan-jangan lu itu cacingan!"
Mata sipit Helen membelalak kesal. Tangan kiri Helen yang memegang garpu terangkat, mendorong bahu Juna agar menjauhinya. Sementara Juna harus memegangi perutnya yang sakit karena menahan tawa.
"Sembarangan aja tu mulut!" tegur Helen marah. Bibir mungilnya yang dipoles lipgloss berwarna merah muda pucat meruncing. "Belum pernah diamplas nih pasti!" Helen memukul bahu Juna kesal.
Juna makin tertawa. "Ada sih mulut diamplas," ucapnya sambil mengatur napas. Tawanya mulai reda.
"Siapa suruh ngomong nggak difilter dulu!"
"Kan gue cuma nebak, Len." Juna membela diri. "Habisnya, lu kan sekali makan bisa segerobak tuh ya. Tapi kok lu nggak gede-gede juga."
"Maksudnya?" Helen bertanya dengan kening mengerut. Ia tak mengerti dengan apa yang dikatakan Juna.
Juna berdecak. Mempunyai sahabat yang mempunyai otak lemot ya seperti ini. Helen itu cantik, juga pintar. Hanya saja daya tangkapnya sedikit lambat. Apalagi dengan kata-kata kias seperti yang baru saja diucapkan Juna.
"Maksud gue lu itu tepos, Len. Depan belakang sama aja kayak tripleks. Datar!"
Mata sipit Helen memicing melihat kedua tangan Juna bergerak vertikal secara bersamaan, menyamakan Helen seperti papan yang rata. Sialan memang Juna. Sahabatnya ini sepertinya memang perlu dirukyah. Baik mulut dan otaknya penuh dengan virus kemesuman. Helen membuang muka.
"Biarin!" sahut Helen ketus. "Yang penting aku sehat!"
Juna memutar bola mata. Untuk kali ini ia mengalah, terlalu banyak mata yang mengawasi mereka. Bukannya Juna tak terbiasa, hanya saja ia merasa kurang bebas. Seolah ia diawasi. Juna bukan orang yang dingin seperti Arsyi. Ia akan membalas sapaan orang-orang selagi orang itu sopan. Tapi tidak dengan mata-mata para gadis yang seperti ingin memakannya. Padahal mereka teman sekelas.
"Lu udahan?" tanya Juna melihat Helen menjauhkan piring batagor yang sudah kosong dari hadapannya.
Helen tak menjawab, hanya kepalanya saja yang mengangguk sebagai respon. Gadis itu masih menghabiskan es teh miliknya.
"Ya udah, lu tunggu di sini bentar, gue bayar dulu."
Tanpa menunggu Helen mengangguk untuk yang kedua kali, Juna langsung berdiri dan meninggalkan meja mereka, berjalan ke arah Ibu kantin untuk membayar makanan Helen dan minuman mereka. Juna masih menambahkan sekaleng minuman dingin lagi ke dalam tagihannya. Setelah membayar semuanya, Juna kembali ke meja Helen dan menarik tangan gadis itu untuk segera meninggalkan kantin. Sungguh ia tak nyaman duduk di bawah tatapan lapar gadis-gadis terhadapnya.
Juna memang playboy. Ia sangat menyukai perempuan. Tapi tak sembarang perempuan juga. Juna memiliki kriteria sendiri untuk gadis yang akan dijadikan mangsanya. Juna paling anti pada gadis yang genit dan suka bergonta-ganti pacar. Ia selalu ingin menjadi yang pertama bagi gadis-gadis itu. Selain itu Juna juga tidak suka pada gadis yang mengejarnya. Juna lebih suka kalau ia yang mengejar gadis itu. Semakin sulit gadis itu didapatkan, Juna akan semakin menyukainya. Menurutnya gadis seperti itu sangat menantang, ia tidak akan cepat bosan.
"Kok cepat banget sih kita ke kelasnya, kan sepi, Jun," protes Helen sambil duduk di bangkunya. Helen melirik ke arah bangku Hilda yang kosong. "Hilda aja belum balik ke kelas," ucapnya dengan tampang memelas.
"Males gue di kantin lama-lama," sahut Juna tak acuh. "Lu nggak liat apa tadi cewek-cewek sekantin ngeliat gue kayak yang mau makan gue gitu." Juna bergidik ngeri membayangkan tatapan gadis-gadis teman sekelasnya.
Helen hanya mengangkat bahu. Ia tak menyalahkan gadis-gadis teman sekelasnya, tapi juga tak menyalahkan Juna. Wajah tampan Juna lah yang membuat gadis-gadis itu menatapnya dengan tatapan bernapsu seperti itu. Selain itu juga, mereka sudah mengenal sifat playboy Juna. Mungkin mereka pikir, Juna akan tertarik kalau mereka menatap Juna dengan tatapan menggoda seperti itu. Tak tahu kalau sebenarnya Juna justru takut dan jijik melihat tatapan itu.
"Mending di kelas lah, Len. Lu kan bisa tidur sepuasnya." Juna duduk di bangkunya di samping Helen. Merebahkan kepalanya di bahu gadis itu.
"Kalo mau tidur puas-puas kenapa nggak di rumah aja? Kan bisa tuh izin sakit atau apa lah gitu," ucap Helen enteng.
Juna menoyor kepala Helen gemas. "Enak banget sih kalo ngomong?" omelnya. "Kalo libur kan lu bakalan ketinggalan pelajaran, b**o!"
Helen cemberut kesal, bibir mungilnya mengerucut. Sudah kepalanya kena toyor, ditambah lagi dengan mengatainya b**o. Punya sahabat sok pintar ya seperti ini.
"Iya deh yang pintar. Ngalah aja dedek mah."
Juna terkekeh, menusuk-nusuk pipi porselen Helen menggunakan hari telunjuknya. Sekilas orang melihat mereka akan mengira mereka sepasang kekasih, sebagian lagi menduga mereka kakak-adik yang manis. Pendapat kedua yang dibenarkan Juna dan Helen. Meskipun Helen lebih tua darinya, tapi Juna menganggap Helen sebagai adiknya. Sikap Helen yang menjabdan sedikit kekanak-kanakan sangat tidak cocok untuk menjadi kakak bagi Juna yang tengil. Lagipula Helen hanya lebih tua beberapa jam darinya.
"Juna, ngantuk!" Helen menguap. Perutnya yang kenyang membuatnya ingin tidur.
Juna menegakkan tubuh menatap Helen. "Ya udah tidur aja," usulnya.
"Jangan ditinggalin tapi!" pinta Helen dengan wajahnya yang memelas. Mata kecil Helen sudah setengah terpejam.
"Iya, bawel amat lu!" sungut Juna. "Udah, tidur sana!"
Tak menunggu lama sudah terdengar suara napas Helen yang teratur. Juna kagum dengan kecepatan tidur Helen yang sangat cepat baginya. Juna melirik pergelangan tangan kirinya, mengecek jam. Napas lega terembus dari mulut pemuda itu, masih ada waktu sekitar satu jam lagi sebelum bel istirahat kembali berbunyi. Berarti Helen masih bisa tidur sampai waktu istirahat nanti. Juna menyandarkan punggung, mengambil ponsel dari saku seragamnya. Ia akan memotret Helen yang sedang tidur dan akan mengirimkan fotonya pada Arsyi. Selain playboy, Juna juga terkenal usil. Meski sifat itu hanya orang-orang terdekatnya saja yang tahu, termasuk Arsyi dan Helen.
Dengan tampang tak berdosa, Juna mengirimkan foto itu pada Arsyi yang sekarang masih sedang dalam pelajaran. Juna terkikik sendiri membayangkan bagaimana reaksi sahabatnya itu ketika tahu pacarnya yang sembrono tidur di dalam kelas.
***
Arsyi mengernyit. Ponsel di saku seragamnya bergetar menandakan ada pesan yang masuk. Entah siapa yang iseng mengiriminya pesan pada saat jam pelajaran seperti sekarang. Konsentrasi Arsyi terpecah antara pelajaran fisika yang sedang dijelaskan oleh Pak Cahyo di depan sana, dan ponselnya yang bergetar beberapa kali.
Rasa penasaran akan siapa yang mengiriminya pesan lebih dominan, sehingga Arsyi mengambil ponselnya diam-diam dan membuka kunci ponsel. Mata cokelat gelap Arsyi membelalak melihatnya. Juna mengiriminya foto Helen yang sedang tertidur. Sepertinya mereka di dalam kelas, kepala Helen di meja hanya beralaskan tangan gadis itu. Astaga!
Arsyi memang sudah menduga, pasti Juna yang mengiriminya pesan di saat jam pelajaran. Siapa lagi yang berani selain dia. Yang tak Arsyi duga adalah isinya. Arsyi tak menyangka gadisnya akan tertidur di sekolah saat jam pelajaran. Ponselnya bergetar lagi, satu pesan lagi yang masuk dari Juna. Arsyi kembali membukanya.
'Kita lagi santai dong. Jam kosong, bro!
Pesan disertai emoticon tertawa guling-guling itu tampak sangat menyebalkan. Pantas saja Helen tidur, ternyata mereka sedang jam kosong. Tapi tetap tak bisa dibiarkan. Ia akan menegurnya nanti saat istirahat.
***
Bel tanda istirahat memekik nyaring. Helen yang sedang tidur nyenyak terkaget-kaget saking nyaringnya. Untung saja ia tidak latah. Kalau ia habislah sudah, imagenya akan semakin tidak baik di mata teman-teman sekolahnya.
Helen menoleh ke sebelahnya. Tampak Juna memainkan ponselnya santai. Helen heran bagaimana Juna tidak terpengaruh dengan bunyi bel yang sangat keras. Ia yang sedang pulas saja terbangun, lalu apa kabar Juna yang terjaga?
"Juna," panggil hejen. Gadis itu menarik-narik ujung lengan seragam Juna.
"Hn."
Respon yang paling menyebalkan bagi Helen. Karena ia tidak tahu arti dua buah huruf konsonan itu. Ambigu.
"Kok nggak kaget sih sama bunyi bel?" tanya Helen. "Kan kencang banget tuh."
"Nggak lah!" Juna mengangkat bahu tak acuh. Tatapannya masih fokus pada permainan di ponselnya. "Masih lebih kencang teriakan lu kok, Len," jawab Juna santai tanpa menatap Helen.
Helen yang masih mengantuk hanya memutar bola mata. Mata sipit ya menyapu seluruh ruangan kekasnya yang masih kosong. Hanya ada ia dan Juna di kelas mereka. Apa jangan-jangan ia hanya bermimpi bangun saja, padahal sesungguhnya ia masih tertidur. Helen mencubit pipinya. Sakit ternyata, berarti ia tidak bermimpi. Ditambah dengan kemunculan pangeran es di pintu kelasnya, membuat Helen yakin kalau ia memang tidak sedang bermimpi.
"Arsyi!" seru Helen sambil merentangjan kedua tangannya meminta pelukan.
Arsyi tersenyum tipis. Menghampiri Helen dan membiarkan gadisnya itu memeluk pinggangnya.
"Kangen!" Helen yang masih duduk mendusalkan hidungnya di perut rata Arsyi, membuat pemuda itu meringis geli.
"Tadi tidur ya?" tangan Arsyi dengan tangan mengusap pucuk kepala Helen.
Helen mendongak mendengar pertanyaan itu. Matanya mengerjap. Dari mana Arsyi tahu kalau ia tadi tidur? Apa Juna yang memberitahukannya? Helen menatap Juna yang masih asyik dengan ponselnya sekilas kemudian kembali mendongak untuk menatap Arsyi yang berdiri.
Arsyi mengangguk membenarkan dugaan Helen. Helen segera menoleh pada Juna, menatap pemuda itu dengan tatapan membunuh. Juna yang membolehkannya tidur, Juna juga yang mengadukannya pada Arsyi. Juna memang menyebalkan! Ingin sekali Helen mencakar wajah sok tampannya itu. Agar gadis-gadis tak lagi mengejar sahabatnya itu. Dan Juna akan berhenti besar kepala.
"Lain kali jangan tidur di kelas lagi. Kalau ketahuan guru bahaya," ucap Arsyi lembut. Kelembutan yang hanya ditunjukkannya di depan Helen dan Juna. "Kamu mau masuk ruang BK?"
Helen menggeleng cepat. "Nggak mau," ucapnya manja.
"Emang gimana sih tadi ceritanya, kok bisa tertidur?" Arsyi melepaskan tangan Helen dari pinggangnya. Menarik sebuah kursi terdekat dan mendudukinya. "Kan aku udah bilang jangan tidur di sekolah, apalagi di kelas."
"Kebanyakan makan dia, Arsy, makanya ngantuk!" lapor Juna tanpa menatap Arsyi. Matanya masih fokus pada game ponsel yamg sedang dimainkannya.
Arsyi mengernyit, mengagumi Juna yang masih bisa berkonsentrasi memainkan game sementara ada dua orang di depannya yang sedang berbicara.
"Kebanyakan makan?"
Helen menggeleng cepat, menyangkal tuduhan Juna. "Nggak kok. Makannya tadi biasa aja."
"Biasa bagi lu, kelewatan bagi gue." Juna mematikan permainannya, mengembalikan ponsel ke saku seragam. "Lu tau nggak seberapa banyak cewek lu ini makan?" tanya Juna pada Arsyi.
Arsyi mengangkat bahu, karena ia memang tidak tahu. Tapi karena Juna tampak serius, Arsyi yakin kalau kali ini sahabatnya itu tidak sedang bercanda.
"Semangkuk soto ditambah sepiring batagor!" lapor Juna semangat. Kapan lagi ia bisa menistakan Helen? "Belum lagi minumnya, dua gelas teh es."
Arsyi mengerjap. Rasanya tak percaya, bagaimana mungkin Helen segembul itu? Helen kan kurus.
"Gue tadi juga kaget lho, Arsy. Kan dia kurus nih, kok bisa makannya sebanyak itu." Juna makin menjadi melihat Helen yang cemberut. "Makanya gue tadi curiga."
"Curiga apa?" tanya Arsyi tak sabar. Ia khawatir jangan-jangan Helen mengidap suatu penyakit atau sindrom.
"Jangan-jangan Helen cacingan!"
Juna tertawa keras setelah mengucapakan kata-kata itu. Ia berhasil mengerjai Arsyi. Puas rasanya melihat wajah penasaran sahabatnya yang biasanya datar itu.
"Astaga, Jun. Lu nggak lucu!" sentak Arsyi dengan gaya datarnya. "Gue kira lu nggak bercanda, muka lu kelihatan serius banget tadi."
Sadar Arsyi tak tertawa bersamanya, Juna segera menghentikan tawanya. Wajah ceranya tiba-tiba berubah kesal.
"Payah lu, Arsy!" sewot Juna. "Gue udah ngakak kayak gini cuma lu tanggepin datar doang. Ya ampun, Arsyi, di mana selera humor lu?" tanya Juna dramatis.
Arsyi memutar bola mata bosan. Juna the king of drama. Arsyi selalu mengacungi jempol untuk bakat akting sahabatnya ini. Selain playboy dan tengil, Juna juga sangat pandai berakting. Tidak akan ada yang sadar kalau ia hanya berpura-pura sebelum ia yang membongkarnya sendiri. Karenanya Juna sukses menjadi seorang playboy.
"Basi!" Helen membelalak kesal, tangannya terulur memukul bahu Juna. "Dasar nyebelin!"
"Nyebelin gini juga gue kakak lu, Len!" geram Juna tertahan. Gemas, Juna mengacak rambut Helen. Bukan hanya mengacak rambut, tapi juga menggoyang-goyangkan kepala gadis itu. Tak berhenti sampai terdengar teriakan Helen menggelegar di dalam ruang kelas yang kosong.
"Junaaaaaaa!"