Kebiasaan buruk Juna dan Helen tetap tak berubah sampai sekarang. Mereka selalu datang di menit-menit akhir bel masuk akan berbunyi. Sama halnya hari ini, Arsyi harus duduk lebih dari tiga puluh menit di dalam mobilnya di tempat parkir sekolah hanya untuk menunggu kedua orang itu. Terlalu malas baginya untuk masuk ke sekolah seorang diri. Ia tak ingin melayani sapaan-sapaan tak berfaedah para gadis cabe sekolahnya. Ia memerlukan mulut pedas Juna untukenjauhkan gadis-gadis itu dari mereka.
Tepat lima menit sebelum bel masuk kelas berbunyi mobil yang sangat dikenalnya memasuki tempat parkir. Mobil itu langsung berhenti di sebelah mobilnya. Arsyi memang selalu menyediakan satu tempat kosong untuk mobil Juna. Semua penghuni sekolah sudah tahu hal itu. Dan mereka tak pernah mengambil tempat di sebelah mobilnya.
Arsyi membuka pintu mobil dan keluar dari mobilnya bertepatan dengan Helen yang juga keluar dari mobil Juna. Gadis itu langsung berlari ke arahnya dan menghambur ke dalam pelukannya. Helen selalu melakukan itu kalau mereka bertemu. Arsyi tak masalah dengan pelukan itu. Semalaman ia tak bertemu Helen rasa rindunya menggunung.
"Kangen!" Helen memeluk lengan Arsyi erat. Mendusalkan pipi di lengan yang tertutup jaket.
Arsyi sedikit membungkuk, mengecup pucuk kepala gadis itu sebelum mengusapnya sayang.
"Sok manja banget sih lu!" sembur Juna menoyor kepala Helen. Juna meringis karena Arsyi memelototinya. "Tadi malam dia nyiksa gue, Arsy. Dia beneran minta masakin dia makan malam!"
"Eh, tau nggak, Hon, Juna bisa masak lho." Helen menceritakan kemampuan Juna dalam mengolah bahan makanan semangat.
Arsyi mengangguk pelan. Menarik Helen memasuki sekolah. "Nanti aja sambung ceritanya pas istirahat ya, Honey. Keburu bel masuk bunyi kalo sekarang."
Helen mengangguk patuh seperti seekor anak kucing. Mengekor Arsyi masuk ke dalam gedung sekolah. Begitu mereka menaiki tangga menuju kelas mereka yang berada di lantai dua, bel masuk kelas berbunyi. Bergegas Juna yang masih berada di bawah menyusul kedua sahabatnya itu.
"Gue titip Helen, Jun."
Juna mengangguk. Mengambil tangan Helen dari genggaman Arsyi.
"Awas aja lu kalo noyor-nouor kepala Helen lagi!" ancam Arsyi galak. "Gue patahin tangan lu!"
"Dih sadis amat. Perasaan si Amat nggak sesadis itu deh."
"Suka-suka lu aja, Jun." Arsyi memutar bola mata. Bosan dengan drama Juna. "Hon, kalo Juna dorong kepala kamu lagi kasih tau aku ya."
Helen tak menjawab. Gadis itu hanya mengacungkan ibu jarinya saja kalau ia mengerti maksud Arsyi.
"Aku nggak bisa nganterin ya?"
Helen mengangguk manis sambil tersenyum lebar, sampai-sampai kedua mata sipitnya nyaris tak terlihat. Setelah memberikan ciuman jarak jauh Helen segera berbalik dan setengah berlari menyusul Juna yang tampak sibuk dengan ponselnya.
Arsyi menggeleng pelan menyaksikan tingkah kedua orang itu yang absurd. Setelah memastikan Helen dan Juna sudah berada di dalam kelas mereka, barulah Arsyi melangkah menuju kelasnya. Tak jadi soal ia terlambat memasuki kelas, selama guru belum masuk tidak apa-apa kan?
Sama seperti keadaan kelasnya lainnya kalau guru tidak ada, begitu pun dengan kelasnya yang selalu saja ribut. Masing-masing anak sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Ada juga yang duduk bergerombol menggosipkan tentang merek baju dan aksesoris terbaru yang sedang viral. Atau sedang membicarakan deretan para murid laki-laki tampan di sekolah mereka. Serta masih banyak yang lainnya. Dan keadaan seperti ini tidak akan berakhir sebelum guru yang bertugas mengajar pada jam pelajaran itu memasuki kelas.
Arsyi memasuki kelas dengan tenang. Tak peduli saapaan dari beberapa siswa perempuannya, Arsyi duduk di bangkunya santai. Pak Yan memasuki kelas, membuat kelas yang semula ramai seperti di pasar tradisional itu sepi seketika. Pak Yan adalah guru Fisika di sekolah mereka. Pak Yan mengajar dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas. Guru berkumis tebal itu terkenal dengan kegalakkannya. Hampir seluruh siswa takut pada Pak Yan, kecuali Juna.
Pak Yan berdiri di depan kelas. Di sebelahnya tampak seorang gadis berdiri dengan menundukkan kepalanya. Siswi baru mungkin. Arsyi tak mau tahu, ia tak peduli. Bahkan ketika siswi baru itu memperkenalkan diri, Arsyi masih asyik dengan buku bacaannya. Baru ketika siswi baru itu menyebut nama, Arsyi mengangkat kepala.
Tatapan datarnya bertemu dengan tatapan gadis itu. Arsyi mengernyit, rasanya ia pernah melihat gadis yang sedang tersenyum lebar padanya itu. Tapi di mana ia tak ingat. Yang berarti gadis itu bukan sesuatu yang penting untuknya. Hanya beberapa detik mata mereka bertemu, Arsyi kembali pada bukunya. Ia tak tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang gadis itu. Apalagi untuk menanyakan nomor ponselnya seperti yang ditanyakan oleh teman-teman lelakinya.
Setelah sesi perkenalan yang berlangsung selama kurang lebih sepuluh menit, Pak Yan menyuruh gadis itu untuk duduk di kursinya yang terletak di bagian belakang. Padahal tempat duduk gadis itu tidak di deretan kursinya, tetapi gadis itu malah melewati tempatnya untuk menuju bangkunya. Gadis itu kembali menyapanya saat lewat di sampingnya. Tapi dasar Arsyi cuek, pemuda itu tetap tidak menghiraukan.
Entah ini hanya perasaannya saja atau apa, sepanjang pelajaran berlangsung Arsyi merasa ada yang mengawasinya. Arsyi mencoba tak menghiraukan dan bersikap tak peduli seperti biasa. Namun tetap saja itu mengganggu konsentrasinya dalam menyerap pelajaran. Alhasil, begitu bel tanda istirahat berbunyi Arsyi langsung keluar kelas tanpa menunggu guru yang mengajar keluar lebih dulu. Ia tak peduli kalau dicap sebagai siswa yang tidak sopan. Sekali-sekali seperti itu tidak masalah kan? Toh ia tidak melanggar peraturan. Ia perlu mengembalikan moodnya yang sudah terlanjur hancur.
Arsyi memasuki kelas Juna dan Helen bersamaan dengan guru matematika mereka yang keluar dari kelas itu. Kedatangan Arsyi ke kelas mereka tentu saja mengagetkan Helen dan Juna, karena tak biasanya Arsyi menghampiri mereka lebih dulu. Biasanya juga mereka yang menghampiri Arsyi ke kelasnya.
"Tumben rajin, ada angin apa lu ke kelas gue duluan. Biasanya kan kita yang nyamperin. Ya nggak, Len." Juna memasukkan buku terakhirnya ke dalam tas dengan senyum usil menghiasi bibirnya.
Helen yang merasa Arsyi berbeda dari tadi pagi saat mereka bertemu di tempat parkir, tak menghiraukan candaan Juna. Helen malah memukul tangan Juna, menegur pemuda itu agar tidak mengajak Arsyi bercanda.
"Oops!" Juna meringis. "Sorry, Arsy. Gue tadi cuma bercanda."
Juna memang sangat suka bercanda. Pemuda itu jarang bersikap serius. Apalagi di depan kedua sahabatnya, sifat usilnya akan lebih mendominasi saat mereka berkumpul bertiga.
"Nggak apa-apa, Jun. Gue paham kok."
Juna hanya mengangguk, tak berniat berbicara. Arsyi yang sedang tidak dalam keadaan mood baik bisa saja membunuhnya kalau ia salah bicara.
"Kamu kenapa sih, Hon? Ada masalah ya di kelas tadi?" tanya Helen hati-hati. Helen meraih tangan Arsyi yang sedang berdiri dengan bersedekap di samping mejanya dan Juna. Helen tahu betul bagaimana watak seorang Arsyi Wiraatmadja. Arsyi tidak akan menjadi seperti ini kalau tidak ada apa-apa. Dan Arsyi akan seharian seperti ini kalau ia tidak menghiburnya.
Arsyi menggeleng. Menarik sebuah bangku terdekat, meletakkan bangku itu di dekat Helen untuk ia duduki.
"Nggak tahu, Hon." Arsyi mengembuskan napas panjang. Menyenderkan punggung dan mendongak. "Dari awal masuk kelas udah ngerasa nggak mood."
Helen tersenyum. "Kita ke kantin yuk, balikin mood kamu."
"Alah bilang aja lu yang mau ke kantin," sahut Juna. Tangannya terangkat mencubit pipi Helen. "Kayak tadi pagi nggak sarapan aja lu, Len."
Helen tak menjawab. Gadis itu malah menjulurkan lidah mengejek Juna.
"Awas lu meleletin lidah lagi ke gue. Gue tarik tu lidah, mau?" ancam Juna yang tak dihiraukan Helen.
Helen menggandeng Arsyi dan melangkah keluar kelas menuju kantin. Juna terpaksa mengekor di belakang mereka. Ia tidak mau ditinggalkan sendirian di dalam kelas. Juna tahu kalau Arsyi sedang dalam mode tidak ingin bercanda, karena pemuda itu memvatadi candaannya. Ia tak ingin memperburuk mood Arsyi yang sudah buruk lebih dulu.
Ketiga orang itu selalu menjadi pusat perhatian di mana pun mereka berada, termasuk di kantin. Puluhan pasang mata para siswa yang sudah lebih dulu memadati kantin tertuju pada mereka. Ketiga orang itu memang mencolok. Dua orang pangeran sekolah bersama seorang gadis cantik yang bisa disebut sebagai ratu sekolah. Tapi Helen selalu menolak gelar itu. Menurutnya ia tidak pantas, masih banyak gadis lain yang lebih pantas disebut ratu sekolah daripada dirinya.
Helen dan Arsyi menuju meja yang biasa mereka duduki, sementara Juna meneruskan langkah ke meja pantry. Juna akan memesan. Meja yang biasa mereka duduki itu memang selalu kosong, para siswa tahu kalau Juna dan teman-temannya sering duduk di meja itu. Sehingga mereka mengira meja itu adalah milik Juna dan kedua sahabatnya. Padahal tidak seperti itu. Ketiga orang itu tidak pernah mengklaim apa pun sebagai milik mereka. Mereka tahu kajau semua batang yang berada di sekolah adalah milik sekolah, mereka tak berhak atas apa pun. Hanya para siswa saja yang beranggapan demikian.
Tak lama Juna datang, dengan membawa nampan besar di tangannya. Bik Irah, petugas kantin, mengekor di belakang Juna. Kedua tangan Bik Irah juga memegang nampan, tapi jauh lebih kecil dari nampan yang dipegang Juna. Bik Irah meletakkan nampannya di meja sesuai dengan arahan Juna. Pemuda itu sendiri juga meletakkan nampannya di tengah-tengah meja.
Helen memandang hidangan yang tersaji di meja dengan mata berbinar. Ia sudah tidak sabar menyantap soto khas masakan Bik Irah. Kedua hidangan lainnya juga menggiurkan. Tetapi khusus untuk hari ini ia hanya akan memakan soto. Helen memang sangat menyukai makan. Makanya ia bercita-cita menjadi seorang chef profesional. Helen ingin memasak untuk dirinya sendiri dan keluarganya kelak.
Cepat Helen mengambil makanan pesanannya. Mengambilkan pesanan Arsyi juga. Hari ini Arsyi hanya memesan ketoprak, bukan makanan berat seperti milik Helen dan Juna yang memesan gado-gado. Juna tergoda untuk memesan gado-gado setelah mencicipi gado-gado milik Helen beberapa hari yang lalu. Menurut Juna rasa gado-gado buatan Bik Irah pas. Bumbu-bumbunya sempurna. Membuatnya ingin mencoba membuat gado-gado nanti.
Untuk hal memasak, Juna memang bisa. Ia memang bukan jago masak, hanya bisa memasak. Tetapi semua yang mencicipi masakannya selalu memuji. Juna mempelajari memasak tanpa sengaja. Ia yang sangat susah makan dan pemilih dalam hal makanan melakukan sebuah eksperimen. Dan berhasil setelah beberapa kali sempat gagal. Juna tidak hobi memasak, ia hanya bisa masak. Orang tuanya saja tidak tahu hal itu. Faktor kesibukan mereka yang sangat wah membuat mereka jarang berada di rumah dan Juna tidak bisa memasak untuk mereka.
Juna terkikik melihat Arsyi yang disuapi Helen. Bukan menertawakan Helen, melainkan menertawakan Arsyi yang tiba-tiba saja menjadi manja. Arsyi memang seperti itu, menjadi seolah bukan dirinya saat mood pemuda itu memburuk. Arsyi akan malas melakukan apa saja. Dan Helen akan menjadi gadis pengertian dan sabar saat seperti ini. Lihat saja bagaimana telatennya gadis itu menyuapi kekasihnya.
"Gimana kalo gue aja yang nyiapin ku, Arsy?" usul Juna dengan senyum usilnya. "Gue gemas liat lu yang manja kayak gini."
Arsyi membelalak galak kemudian menggeliat. "Astaga, Jun! Kok gue jijik ya dengernya?" Sekali lagi Arsyi bergidik.
Rasanya memang sangat menggelikan kalau Juna yang menyuapinya. Orang-orang pasti akan menganggap mereka dua pemuda dengan kelakuan menyimpang.
"Gue masih normal ya, ogah banget dikira menyimpang."
Juna menutup mulutnya yang hendak tertawa keras menggunakan tangan. Terlalu banyak orang di kantin dan Juna tak berminat menarik perhatian mereka kembali dengan tawanya yang tidak dibuat-buat. Tawa lepas bagi seorang Arjuna sangat mahal. Ia akan menunjukkannya hanya di depan orang-orang yang disayanginya.
Helen memberikan sebotol air mineral pada Juna ketika pemuda itu terbatuk karena menahan tawa. Segera saja Juna menenggak isi botol itu seperempat bagian. Kembali memberikan botol pada Helen setelah selesai minum.
"Gara-gara lu nih, Arsy, gue jadi batuk!" omel Juna sambil menyeka mulutnya yang basah menggunakan tisu yang tersedia di setiap meja.
Arsyi memutar bola mata. "Salahin aja gue terus sampe lu ketemu cewek yang bikin lu bertekuk lutut," sungut Arsyi mengangkat bahu tak peduli.
"Masih lama kayaknya itu, Arsy," sahut Juna setelah menghabiskan sisa gado-gadonya. "Mungkin pas gue dewasa nanti kali ya."
"Keburu gue sama Helen nikah dong."
"Ya nggak apa-apa, gue ikhlas kalo Helen nikah duluan dari gue," sahut Juna asal.
"Nggak nyambung, b**o!" sembur Helen kesal.
"Kata siapa nggak nyambung?" tanya Juna membela diri. "Lu kan adik gue jadinya lu ngelangkahin gue kalo lu nikah duluan."
Helen memutar bola mata. "Suka-suka Juna aja lah," ucapnya seolah pasrah. Malas meladeni Juna. Satu Arsyi saja yang menjadi bocah hari ini sudah cukup, jangan ditambah satu lagi. Ia akan tambah pusing nanti.
Juna terkikik lagi. Melihat Arsyi yang patuh ketika Helen memintanya untuk membuka mulut adalah sesuatu yang sangat menggelikan baginya. Membuatnya benar-benar ingin menyuapi sahabatnya itu.
Tak memedulikan kikikkan Juna, Arsyi mengunyah makanan di dalam mulutnya dan menelannya cepat. Diraihnya pinggang Helen, menarik gadis itu sampai Helen berpindah tempat duduk menjadi di pangkuannya. Kembali membuka mulut saat diminta. Beberapa saat seperti itu sampai sebuah seruan mengagetkan mereka. Bukan hanya mereka bertiga yang menoleh ke asal suara, tetapi juga seisi kantin.
"Arsyi, akhirnya ketemu juga!"