Bab 3

2051 Kata
Helen meletakkan ponselnya di atas nakas sebelum turun ke lantai bawah. Ia tak ingin Bunda kembali meneriakinya seperti yang sudah-sudah. Sekali-sekali Helen ingin menjadi gadis baik bagi Bunda. "Tuh orangnya turun." Pemandangan menyebalkan menyambutnya begitu Helen sampai di bawah. Sungguh pemandangan itu mata indahnya sakit. Juna duduk bersama Papa di meja makan, sementara Bunda menyiapkan makan malam. "Dihh nggak pagi nggak malam, kok ngeliat kamu terus ya, Jun?" tanya Helen mencibir Juna. "Lama-lama bosan nih sama kamu kalo ketemu terus tiap hari tiap malam." "Syukur banget gue mah kalo lu bosan, Len," sahut Juna. "Kan asyik tuh nggak ada yang bakalan ganggu hobi gue." Helen memutar bola mata kesal. Kemudian mengadu kepada Papanya. "Papa tau nggak apa hobi Juna?" tanya Helen dengan mata memicing menatap Juna. Tapi yang ditatap tetap cuek seolah Helen sedang tidak menatapnya. "Apa coba?" Robby Darmawan, Ayah Helen, berpura-pura menanggapi. Wajah pria berusia empat puluh lima tahun itu terlihat sangat serius. "Juna tuh playboy, Papa. Dia suka banget mainin cewek." "Dih nggak sopan banget dirimu, ngomongin orang di depan orangnya," cibir Juna sambil melempari Helen dengan potongan kentang goreng. "Biarin lah! Daripada aku ngomongin kamu di belakang, emang mau?" belalak Helen galak. Juna tersenyum sinis. "Awas lu besok-besok ngintilin gue lagi. Gue nggak mau ya kalo lu nempelin gue lagi, kayak lintah aja!" sungut Juna. Helen cemberut. Bibir mungilnya mengerucut. "Bunda, liat deh Juna. Masa Helen dikatain lintah?" adunya pada Bunda yang masih sibuk mengatur meja makan. "Kamu daripada diam ngegosip sama Papa, mending bantuin Bunda biar makan malamnya cepat," sahut Bunda mengacuhkan aduan Helen. "Katanya mau jadi koki, lah ini masak aja nggak bisa." Tawa keras menghambur dari mulut Juna. Sementara Helen semakin cemberut saja. Apalagi saat dilihatnya Juna menjulurkan lidah mengejeknya. Bibir mungil Helen semakin maju. Bukan cuma Juna yang tertawa, tapi Papa juga menertawakannya. Memangnya salah kalau ia bercita-cita menjadi seorang koki profesional kalau ia sudah dewasa nanti? Tidak kan? Pekerjaan koki tidak buruk, malah kelihatannya sangat menyenangkan. Helen sangat mengagumi Bunda yang sangat hebat di dapur. Hampir semua masakan dikuasai Bunda. Jujur, Helen iri. Ia juga ingin seperti Bunda. Tapi, ia sangat takut memegang pisau, juga pada cipratan minyak panas. Pernah sekali sewaktu ia kecil, hatinya teriris pisau. Rasanya sangat perih, bahkan setelah berhari-hari. Begitu juga cipratan minyak panas, ia juga pernah terkena cipratan itu. Saat itu ia ingin membantu Bunda. Selain itu juga ia tak dapat menahan rasa penasarannya pada ikan yang berada dalam penggorengan. Bagaimana ikan goreng bisa menjadi garing, ia masih belum tahu. Karenanya Helen mengamati saat Bunda memasukkan ikan ke dalam penggorengan. Dan tanpa sengaja, minyak goreng yang panas itu menciprati pipi mulusnya. Helen seketika berteriak. Rasa perih dan panas serasa terbakar membuat matanya berair. Kulit pipinya yang seputih porselen langsung memerah. Esoknya kulit pipi Helen yang terkena cipratan minyak melepuh. Helen menangis sejadi-jadinya. Ia menolak pergi ke sekolah dan meminta Papa menuliskan surat keterangan sakit untuknya. Helen juga meminta Bunda untuk membawanya ke dokter spesialis kulit untuk menangani luka bakarnya. Helen bergidik ngeri memgingat hal itu. Dua hal yang sampai sekarang membuatnya takut untuk menjamah dapur dan segala perabotannya. Meski takut pada dapur, Helen tetap ingin menjadi seorang koki. "Bukannya nggak bisa, Bunda. Helen cuma takut," sahut Helen membela diri. "Sama pisau aja takut!" ledek Juna. Tawa kembali menghambur dari mulutnya. Helen membelalakkan mata sipitnya. Kesal pada Juna yang selalu bisa membalikkan keadaan. Padahal tadi ia yang ingin memojokkan sahabat paling menyebalkannya itu, sekarang malah ia sendiri yang terpojok. Helen kembali cemberut. "Nggak usah pake acara cemberut-cemberutan, bantuin Bunda aja, ayo!" Dengan malas Helen bangun dari duduknya. Ia tak ingin lagi berurusan dengan benda-benda dapur, benda-benda itu sangat berbahaya menurutnya. Helen memegang piring berisi ikan dengan takut-takut. Melihatnya, Juna segera merampas piring itu. "Nggak usah mau jadi koki kalo megang piring aja takut gitu!" omel Juna kesal. "Gemes gue sama lu, lama-lama pengen gue jitak!" Helen membelalak kesal pada Juna. Ingin sekali ia mencakar wajah yang sok tampan itu, agar gadis-gadis tidak ada lagi yang tertarik pada sahabatnya yang tengil itu. Eh, tapi Juna kan memang tampan. Helen mendengus kesal. Juna meletakkan piring ikan di meja, kemudian kembali ke meja pantry untuk mengambil peralatan lain. "Udah semua ini, Tan?" tanya Juna sambil tangannya mengambil alih teko berisi air putih dari tangan Amara, Ibu Helen. Perempuan keturunan Tionghoa itu mengangguk, mengambil beberapa gelas dan menyusunnya di meja makan. "Taruh di tengah-tengah aja, Jun, biar nanti nggak repot ngambilnya." Juna meletakkan teko di tengah-tengah meja seperti yang diminta oleh Tante Amara, kemudian kembali duduk ke kursinya. Juna menatap Helen dengan tatapan mengejek. "Dasar penakut bwe!" Juna menjulurkan lidah mengejek Helen. "Kalah sama gue lu. Padahal kan gue cowok." "Wajarlah cewek kalah sama cowok. Yang nggak wajar itu kalo cowok kalah sama cewek," balas Helen tak mau kalah. "Wajar juga kalo cowok kalah sama cewek pas lomba masak, yang nggak wajar itu cewek yang nggak bisa masak malah mau jadi koki." Juna tetap mengejek Helen. Dan kali ini ejekannya sangat mengena. "Ya nggak, Om?" "Betul itu!" Robby yang ditanya mengangguk mengiyakan. Membuat Helen semakin terpojok saja. Ingin rasanya meminta bantuan pada Bunda, tetapi rasanya percuma. Bunda pasti akan ikut membela Juna, dan ia akan semakin terpojok saja. Helen menggeleng, ia tidak mau itu. Sampai Bunda bersuara yang membuat Helen dapat bernapas lega. "Udah ah menggoda Helen, kita makan dulu." Sesaat Helen merasa kalau Bunda adalah pahlawannya. Ia yakin kalau Bunda akan menolongnya dari keterpojokan yang ditimbulkan oleh dua orang lelaki menyebalkan di depannya ini. Itu sebelum Bunda melanjutkan ucapannya. "Lanjutin nanti sesudah makan. Kalian perlu tenaga ekstra untuk membuat Helen sadar." Anggapan Helen tentang Bunda adalah pahlawannya buyar seketika. Nyatanya Bunda juga ikut-ikut menggodanya. Helen memekik kesal. "Bundaaaaaaa!" *** "Besok jangan bangun siang lagi, gue males nungguin lu!" omel Juna. Pemuda itu sudah berada di atas motor ninjanya. Yang dikategorikan sebagai lebay. Karena rumah mereka itu masih di komplek perumahan yang sama. Jaraknya hanya satu blok dan Juna menggunakan motor ninja untuk ke rumahnya. Padahal pemuda itu masih bisa menempuhnya dengan berjalan kaki. "Males apaan, orang kamu juga sambil sarapan." Helen memutar bola mata jengah. "Sarapan apaan? Gue cuman minum s**u doang!" sahut Juna tak terima. "Lah itu bukannya juga sarapan?" Helen bersikeras. "Nggak lah. Sarapan itu paket komplit, s**u mah kurang!" Helen tak menjawab, hanya matanya saja yang menatap Juna dengan tatapan membunuh. "Mata lu itu kecil, Len. Nggak cocok buat ngancam kayak gitu. Soalnya orang-orang nggak bakalan takut." Juna terkikik geli dengan omongannya sendiri. Helen mengangkat sebelah alisnya, kedua tangannya bersedekap. "Mending mata kecil lah darpada punya mata gede cuman buat mandangin cewek!" semburnya. "Lha ini anak, gue pites juga lu, Len!" ancam Juna kesal. "Bodo bwe!" Helen meleletkan lidah mengejek Juna. "Suka-suka lu aja, Len. Yang penting besok lu nggak telat atau beneran gue tinggal!" Helen kembali memutar bola mata. Mereka memang sudah bersahabat sejak dalam kandungan, karenanya mereka berdua sangat akrab seperti kakak-adik. Saling menggoda ataupun saking mengejek itu sudah biasa bagi mereka. "Gue pulang dulu deh, ntar kemalaman gue dikira kekayapan kemana-mana nanti sama ortu gue." Juna menstater motornya. "Ya udah sana!" Helen mendorong motor besar itu kuat, membuat Juna yang berada di atas motor agak oleng. Helen terbahak melihatnya. Wajah Juna yang menggerutu sangat menggelikan baginya. Juna segera meninggalkan halaman rumah Helen yang luas. Helen segera memasuki rumahnya begitu Juna sudah keluar pagar. Langsung menuju kamarnya setelah itu. Tangan Helen terulur untuk mengambil ponselnya dari nakas. Senyumnya mengembang begitu membuka kunci ponsel. Ada sebuah pesan dari Arsyi dari salah satu banyaknya pesan yang masuk. 'Udah makan malam belum? Jangan sampai telat makan ya, nanti kamu sakit lho. Habis makan langsung tidur ya? Selamat tidur, Sayang.' Helen duduk di tempat tidur, menyenderkan punggung pada kepala ranjang. Ia akan membalas pesan Arsyi dulu sebelum berkelana ke alam mimpi. Untuk belajar, Helen sangat jarang melakukan hal wajib bagi seorang pelajar itu. Kedua jagoannya merupakan pangeran sekolah yang selain tampan juga memiliki otak encer. Jadi Helen tidak terlalu kesulitan saat ulangan ataupun pekerjaan rumah. Malah kadang kalau ia sedang dalam keadaan malas semalas-malasnya, pekerjaan rumah yang seharusnya ia yang mengerjakan akan dikerjakan oleh salah satu dari jagoannya. Helen menarik selimut tebal dengan motif kelinci kesukaannya sebatas pinggang sebelum menarikan jari-jarinya di keypad ponsel. Entah kenapa dan sejak kapan ia mulai menyukai kelinci dan segala pernak-perniknya, Helen tidak tahu. Yang pasti sejak ia dapat mengingat semua barang-barang di kamarnya bertemakan hewan pengerat bertelinga panjang itu. Helen juga sangat ingin memelihara kelinci hidup, tapi tak pernah dibolehkan. Bunda yang menentang keras. Alasan Bunda tentu saja karena Helen ceroboh, Helen juga malas merawat kelinci peliharaannya. Jadilah Helen tidak pernah mendapatkan seekor pun kelinci yang masih bernapas. Semua kelincinya adalah boneka. 'Baru mau tidur, Sayang. Ini udah masuk selimut kok. Juna tadi baru aja pulang.' Tak lama ada balasan pesan dari Arsyi. Sangat singkat. Dengan senyum lebar Helen membalas pesan itu. 'Kenapa?' 'Biasa, Juna kan paling nggak suka makan sendiri. Bokap Nyokapnya belum pulang, jadi dia makan di sini.' 'Oh, ya udah sekarang kamu tidur. Nggak belajar kan?' 'Nggak, besok nggak ada ulangan.' Kebiasaan buruk Helen. Ia tidak akan mau belajar kecuali akan ada ulangan keesokan harinya. Padahal Helen sangat suka membaca, tapi ia paling tidak suka membaca buku pelajaran. Hampir semua buku yang ada di raknya adalah buku n****+ dan resep masakan. Untuk resep masakan, Helen memang sangat kecanduan membacanya. Ia akan lupa waktu kalau sudah membaca buku itu. Sayangnya, Helen hanya membacanya saja tanpa pernah dipraktekkan barang sekali pun. 'Tidur sekarang ya, Sayang. Biar besok nggak kesiangan.' Arsyi memang pacar yang sangat pengertian dan perhatian. Pemuda itu selalu mengingatkannya untuk makan dan tidur pada waktunya. Khusus untuk tidur, Helen memang sangat kebo. Helen juga mudah mengantuk dan akan tertidur kalau tidak ada yang mengajaknya bicara. Diajak bicara pun kadang Helen juga bisa tertidur tanpa sadar. Memiliki kekasih seperti Arsyi, Helen seperti mendapatkan durian runtuh. Arsyi itu paket komplit yang diharapkan semua perempuan untuk menjadi pasangan mereka. 'Ketemu besok di sekolah, bunny. I love you.' Senyum lebar kembali menghiasi wajah cantik Helen. Tergesa gadis itu mengetikkan pesan balasan. 'Love you more, my prince.' Helen menyentuh tombol send setelah menambahkan emoticon kiss yang entah berapa jumlahnya. Helen menatap ponselnya beberapa saat sebelum mengembalikan ponsel ke atas nakas. Ia harus memastikan Arsyi membaca pesannya dulu, baru ia akan tidur. Dua tanda centang berwarna biru menghiasi pesan yang tadi dikirim Helen, yang artinya pesannya sudah dibaca oleh Arsyi. Helen mengembalikan ponsel ke atas nakas, mematikan lampu, berbaring dan memejamkan mata. Tak sampai lima menit, dengkuran halus terdengar dari mulut Helen yang menandakan gadis itu sudah pulas. *** Sudut bibir Arsyi sedikit terangkat melihat banyaknya emoticon kiss yang menghiasi layar ponselnya. Helen memang selalu seperti itu. Emoticon alay itu selalu menghiasi layar ponselnya setelah mereka selesai berkirim pesan. Arsyi menyentuh layar ponsel, menggulirnya ke arah bawah. Ia akan membalas pesan Juna. Sejak tadi ia juga berbalas pesan dengan sahabatnya itu. Pesan-pesan dari Juna dan Helen selalu disematkan Arsyi agar pesan-pesan itu tidak tertumpuk untuk kemudian menghilang diantara pesan-pesan lain yang juga masuk. Arsyi heran, kenapa masih saja banyak pesan lain masuk. Padahal ia sudah sangat sering berganti nomor. Dalam seminggu ia bisa sampai tiga atau empat kali berganti nomor. Tapi tetap saja perempuan-perempuan yang kata Juna cabe itu dapat mengiriminya pesan. Entah dari mana mereka mengetahui nomornya, dari Juna dan Helen tidak mungkin. Helen tidak akan memberikan nomornya kepada perempuan lain. Sementara Juna juga tidak akan memberikannya, karena Juna juga sering melakukan hal yang sama dengannya. Juna juga keteteran menyembunyikan nomornya dari para perempuan-perempuan itu. Arsyi mendesah pelan. Juna yang suka bermain perempuan saja kelimpungan dengan nomor ponselnya yang selalu tersebar dengan mudahnya. Apalagi ia yang selalu memegang teguh kesetiaan. Bagi Arsyi, Helen adalah satu-satunya. Seluruh hidupnya berpusat pada gadis itu. Helen yang lucu, terlihat garang padahal sebenarnya lembut dan rapuh, sangat menarik di mata Arsyi. Helen yang selalu menempeli Juna kemana pun pemuda itu bergerak juga sangat menggemaskan. Arsyi jatuh cinta pada Helen saat mereka pertama bertemu di acara perkenalan sekolah. Sejak itu, Arsyi selalu berusaha mendekati Helen. Arsyi yang tahu kalau Helen dan Juna hanya bersahabat, tak gentar saat gosip yang menyebutkan kalau ia menjadi orang ketiga berembus kencang. Akhirnya setelah berjuang beberapa bulan, Helen luluh juga padanya. Dan Arsyi tidak akan melepaskan Helen selamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN