Endang sangat senang melihat menantunya duduk di tengah-tengah mereka berempat. Airin terlihat segar walaupun dengan mata yang masih bengkak karena terlalu lama menangis. Akan tetapi meliahatnya bisa keluar dari kamar membuat hatinya gembira. Sepertinya ini pertanda jika menantunya bisa merelakan kematian Tendi.
Kekuatan seorang ibu memang tidak bisa dikalahkan. Endang senang karena Jihan bisa membujuk anaknya unutk keluar dari kamar. Apa yang dilakukan Jihan? Entahlah, yang penting sekarang Airin memakan masakan buatannya walaupun tidak sebanyak dulu.
Setelah makan Airin bersikeras untuk mencuci piring Endang tidak bisa menolak permintaan menantunya apalagi Jihan sedari tadi sudah memberika kode agar anaknya bisa melakukan apa yang dia inginkan.
Airin juga mendadak menjadi anak rajin, ia menyapu seluruh rumah kemudian mengepelnya bahkan ketika Endang ingin membantunya Airin menolaknya dan itu membuatnya merasa aneh.
“Airin. Kamu mau siram tanaman?” tanya Endang yang melihat Airin sedang memegang selang panjang yang ada di belakang rumah.
“Iya bu. Mulai sekarang biar Airin saja yang menyirami tanaman Ibu.”
“Tapi siang-siang seperti ini nggak baik siram bunga Rin, nanti sore aja ya?” Endang bisa melihat raut Airin menekuk wajahnya dan membuatnya merasa semakin aneh.
“Airin nonton televisi aja ya. Atau mau pergi ke mall?”
Airin menggelengkan kepalanya, semua orang tidak tahu bahwa jika ia hanya berdiam diri kenangannya dengan Tendi akan terputar di benaknya dan membuatnya merasa sedih kembali.
“Yaudah kalau gitu aku masak aja buat makan siang.” Airin memutuskan untuk pergi ke dapur untuk memasak makan siang hari ini. Apa yang harus ia masak ya? Kayaknya ikan bakar kecap yang dicampur dengan cabai rawit akan jadi makanan enak siang nanti. Kalau tidak ia akan menelepon ayah dan papah agar memberikan ide makanan apa yang harus ia masak siang ini.
Endang hanya mengikuti langkah Airin ke dapur, pikiranny tidak tenang apalagi dengan sikap Arin yang aneh seperti ini. “Rin, biar Ibu saja. Kamu maskeran aja. Udah lama Ibu nggak lihat kamu maskeran.”
“Nggak Bu, Airin masak aja.”
Jika jawabannya seperti itu maka sudah dipastikan ada yang aneh ada apa dengan putrinya? Airin tidak mungkin bisa menolak untuk maskeran karena kegiatan itu sangat amat penting untuknya bahkan di dalam kulkas ada beberapa masker yang senagaja dibeli banyak untuk stok di rumah.
“Airin…. Katakan pada Ibu kenapa kamu seperti ini?”
Airin tidak menjawab ia hanya diam sambil membelakangi Endang. Tubuhnya gemetar menahan tangis yang sebentar lagi akan kembali turun. Dia harus bisa menahan air matanya jika mertuanya melihat kesedihannya ia takut jika Endang malah muak dan pergi meninggalkannya sendirian atau bisa saja kembali bersedih dan berusaha untuk menyusul Tendi karena sudah tidak kuat melihatnya selalu terpuruk seperti ini.
“Airin, Ibu tidak akan marah. Malah Ibu tidak apa-apa jika kamu ingin bersantai di dalam kamar, hanya saja jika waktunya makan kamu harus turun dan makan bersama kita atau jika kamu tidak ingin makan di meja makan Ibu bisa antar kan ke kamar.”
Airin terpaku mendengar semua penjelasan dari mertuanya. Endang memang tidak mungkin berubah secepat itu. Sepertinya Mamah berbohong agar ia sadar bahwa dia harus kuat karena mertuanya saja bisa dengan cepat merelakan Tendi untuk pergi selama-lamanya. Ia berbalik dan menatap Endang dengan mata berkaca-kaca. Ia memeluknya dan menangis dengan sekencang-kencangnya. Mencurahkan semua kesedihannya agar lenyap dan bisa membuka kembali lembaran hidup yang baru. Tanpa Tendi suaminya yang paling ia cintai.
Hidup Airin kembali, dia pergi ke kantor mengerjakan berbagai laporan dijemput oleh Ayah atau Papah bahkan ia akan pergi ke mall sendirian untuk membeli kemeja atau berbelanja bahan makanan agar mertuanya bisa memasaknya dengan enak.
Kedua matanya menatap kalender yang ada di sudut meja kerjanya. Sudah dua minggu Tendi meninggalkannya dan ia masih tetap tidak bisa percaya dengan semua itu. Kenapa musibah ini terjadi kepadanya? Pertanyaan itu masih ada di dalam benaknya dan tidak bisa dijawab oleh siapa pun termasuk dirinya sendiri. Airin menghela napas dan menyandarkan punggungnya menatap Revan yang sedang sibuk dengan komputernya.
“Airin saya minta file yang kamu kerjakan kemari ya. Saya mau rapat dan harus bawa laporan itu,” ucap Pak ahmad ketua divisi keuangan. Airin hanya mengangguk dan mencetak laporan yang ketuanya inginkan.
“Biar gue aja. Gue punya filenya.” Revan menawarkan diri untuk mengerjakan tugasnya. Airin tentu saja menolak. “Nggak papa Van, gue bisa kok.”
Revan tidak memaksa ia hanya sedikit khawatir dengan kondisi sahabatnya yang belum pulis sepenuhnya, kadang Airin akan melamun dan terdiam lama di depan komputer tanpa melakukan apa pun.
“Hari ini pulang bareng gue ya.”
“Nggak bisa. Gue udah janjian sama Ayah. Lain kali aja ya.” Tolak Airin secara halus, memang benar ia akan dijemput oleh Ayah mertuanya. Mereka akan pergi ke mall untuk membeli oleh-oleh yang akan dibawa Mamah Papah Airin ke Yogyakarta.
Mesin printer menyala setelah Airin mengklik tombol print yang ada di layar. Kertas-kertas mulai ditarik ke dalam dan membuat suara bising di telinganya. Maklum printer tua yang sudah diperbaiki beberapa kali.
“Mau kemana?” tanya Revan penasaran dengan kegiatan Airin setelah pulang bekerja.
Airin hanya menatap Revan dalam diam. Kenapa sahabatnya ingin tahu sekali dengan kegiatannya? Ia sedikit merasa risih ditanya seperti itu.
“Kepo.” Airin langsung menyusun laporan yang sudah selesai dicetak dan bangkit berdiri dan berjalan menuju meja kerja Pak Ahmad.
Hari ini mereka tidak lembur. Mungkin besok, karena Pak Ahmad baru saja pergi untuk rapat. Maka dari itu sore ini ia bisa menemani Ayah mertuanya untuk ke mall.
“Beli apalagi ya untuk orang tua kamu Rin. Kain batik sudah, selimut sudah. Apa ya? Masa hanya dua? Ibu kamu juga malah ada alasan nggak mau ikut lagi.”
Airin hanya terkikik geli mendengar ocehan Bakti. Ia tahu Endang tidak ikut karena sama bingungnya maka dari itu Ibu mertuanya menyerahkan semuanya kepada Bakti.
“Kayaknya sudah cukup Yah. Mending kita pulang aja. Papah dan Mamah juga akan menolak jika dikasih terlalu banyak barang.”
Bakti setuju dan memutuskan untuk pulang. Akan tetapi ketika sampai di rumah mereka berdua terkejut melihat koper Airin tergeletak di ruang tamu bersama dengan koper kedua orangtunya.
“Mah kenapa koper Airin ada di sini?” tanya Airin sambil memandang Jihan dan Andi yang sedang sibuk mengemasi barang-barang mereka.
“Coba kamu cek lagi Rin, takut ada yang ketinggalan.”
“Mah!” Airin tidak suka jika Mamahnya malah menghindar dari pertanyaannya.
“Kamu ikut pulang bersama kita, apalagi Tendi juga sudah tidak ada jadi nggak ada alasan untuk kamu tinggal di rumah ini Airin.”
**