Airin masih ingat bagaimana ekspresi Endang dan Bakti ketika pertama kali ia menginjak rumah ini dengan status sebagai istri sah dari anaknya Tendi. Senang dan bahagia, tidak pernah ia melihat rona cerah dari orang ketika melihatnya kecuali kedua orangtuanya dan Tendi. Dia sangat terharu dan merasa beruntung mempunyai mertua seperti mereka. Apalagi kata Tendi Endang dan Bakti sangat ingin memiliki anak perempuan, saat Tendi menginjak SD Endang hamil kembali hanya saja mengalami keguguran dan membuat Bakti melarang istrinya untuk hamil kembali akan tetapi karena kejadian itu ayah mertuanya takut jika istrinya meninggal dan pergi meninggalkannya selamanya.
Airin seperti hidup di dalam sebuah kerajaan, suami yang sangat sayang kepadanya, Bakti mertuanya yang memperlakukannya seperti anaknya sendiri dan Endang ibu mertuanya yang tidak pernah marah jika ia tidak membersihkan rumah, memasak atau pun menyiram tanaman di belakang rumah. Hidupnya sangat bahagia. Jika bisa memilih ia akan terus hidup dengan mertuanya meskipun ia dan Tendi tidak mempunyai hubungan apa pun.
“Airin ingin tinggal di sini,” ucap Airin tegas seperti ketika ia menjelaskan laporan keuangan di depan Pak Ahmad, jantungnya berdebar akan tetapi ada rasa lega yang ia rasakan.
“Kenapa? Karena kamu bekerja di sini jadi kamu nggak mau pindah ke Yogya? Kamu bisa bekerja di perusahaan Papa. Iya kan Pa?” Jihan tidak mau anaknya terperangkap di dalam rumah ini kemudian tidak menikah karena terus terbayang-bayang Tendi.
Andi hanya diam. Tidak mau ikut campur dengan keputusan anaknya. Airin sudah dewasa tidak boleh terus didikte oleh mereka. Ia berhak memilih jalannya sendiri. Semua pemikiran itu ia dapatkan dari kedua orangtuanya, ini hidup mereka dan orangtua hanya bertugas untuk mendukung dan memperingatkan jika anak mereka memilih jalan yang buruk dan menurutnya ini bukan jalan yang buruk.
“Papah terserah Airin.”
Jihan melotot tidak terima dengan jawaban dari suaminya. “Pokoknya kamu nggak boleh tinggal di sini! Nggak enak sama tetangga apalagi Tendi kan punya kakak cowok kalau jadi fitnah bagaimana?”
Endang yang sedari tadi diam buru-buru memikirkan sesuatu yang bisa membuat Airin tetap tinggal di sini. “Theo nggak akan pulang Bu. Dia lagi fokus dengan bisnisnya. Saya jamin Theo nggak akan pulang.”
“Theo itu kan anaknya Bu Endang masa nggak akan pulang sih. Nggak mungkin!”
“Bu, Kak Theo memang jarang pulang. Selama aku tinggal di sini juga dia memang nggak pernah pulang.”
“Jadi aku mohon ya Bu izinin aku tinggal di sini. Aku mohon,” sambung Airin dengan wajah memelas yang membuat Jihan sedikit terbujuk.
“Kalau Airin tinggal sendirian di luar lebih tinggi resikonya Mah, mending di sini ada yang jagain. Kalau di luar dia bisa keenakkan. Dugem sampai malam, mabok-mabokkan bahkan bisa saja dia malah tidur sama cowok lain.”
“Papah! Jaga bicaranya. Airin itu anak baik-baik, Kalau kamu seperti itu Mamah akan bunuh diri karena nggak becus didik kamu.”
Airin memeluk JIhan dengan erat, ia sangat nyaman mencium aroma vanilla yang ada di tubuh ibunya tidak pernah berubah dari ia kecil. “Airin nggak mungkin kayak gitu Mah. Kayaknya Papah punya anak lagi deh solanya Airin kan nggak pernah seperti itu. Wah, Papah nikah lagi ya?”
Andi melotot tajam niatnya membantu Airin malah jadi boomerang untuknya. “Mana bisa Papah nikah lagi. Banyak CCTV.”
Airin tertawa apalagi ia tahu CCTV yang dimaksud Papahnya. Keluarganya tinggal di Yogyakarta di sana merupakan kampung halaman Mamahnya. Kakeknya merupakan seorang kepala Kecamatan dan memiliki banyak kenalan. Suatu hari Papah kepergok makan oleh teman Kakek Airin bersama dengan seorang wanita yang mana wanita itu adalah sekertaris Papah dia lapor kepada Kakek dan Mamahnya waktu itu Mamah sedang mengandungnya. Kata
Papah sepulang ia bekerja bukannya disambut dengan rona cerah malah disambut dengan wajah kesal bahkan koper milik Papah sudah ada di tengah rumah.
Jihan yang sedang hamil berubah menjadi sangan sensitif, bahkan Mamahnya tidak mau mendengar penjelasan suaminya dan memilih untuk percaya kepada sang pelapor. Papah diusir hanya saja tidak mau meninggalkan rumah maka dari itu drama yang sering ia lihat di telivisi ternyata pernah dialami oleh kedua orangtuanya. Papah berdiri di depan gerbang untungnya tidak hujan dan menelepon sekertarisnya agar menjelaskan semuanya kepada Mamah.
“loh, jadi yang dilihat temen Papah tuh kamu Nis. Kirain bukan kamu kalau tahu kamu aku nggak mungkin berprasangka buruk seperti ini. Dia tuh sekertarisnya Andi Pah, Nisa udah menikah kok bahkan suaminya juga kerja di kantor Andi. Temen Papah tuh gimana sih kasih info yang salah seperti ini,” ucap Mamah dengan tidak ada rasa bersalah sedikit pun. Papah hanya senyum saja menanggapi tingkah istri dan mertuanya. Karena kejadian ini jika Andi makan bersama dengan teman kantor atau mitra kerjanya ia akan lapor kepada sang istri, berlebihan sih akan tetapi ia rela melakukannya asalkan kejadian seperti itu tidak akan terjadi lagi.
Cerita ini sudah menyebar bahkan mertua dan Tendi tahu akan hal ini, penyebarnya adalah Airin. Menurutnya cerita ini bagus untuk diceritakan untuk mengisi waktu luang. Maka dari itu Bakti dan Endang ikut tertawa mendengar kata CCTV.
“Jadi beneran kamu nggak mau ikut sama kami?” Jihan tidak lelah untuk membujuk anaknya agar keluar dari rumah ini.
Airin menggelengkan kepalanya. “Benar kata Papah, Airin lebih aman di sini. Mamah tahu kan bagaimana kondisi Jakarta? Airin juga takut kalau tinggal sendirian.”
JIhan tidak bisa berkata apa pun lagi. Ia juga tidak mungkin menemani Airin terus menerus ketika Andi memiliki pekerjaan di Yogyakarta. Suaminya tidak mau ia tinggalkan bahkan saat ini ia memaksa ingin ikut walaupun pekerjaannya sedang menumpuk di kantor.
“Bu Endang, saya titip Airin ya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi saya. Jika Airin bandel pukul aja.” Jihan tidak ada pilihan lain selain mengizinkan Airin untuk tinggal bersama mertuanya.
“Airin anak yang baik Bu, saya janji akan jaga Airin dengan baik. Airin juga sudah kita anggap sebagai anak sendiri,” jawab Endang sambil tersenyum dan kedua matanya berkaca-kaca karena Airin tetap tinggal di rumah mereka.
JIhan pun membalas senyuman Endang dan tertegun melihat kedua mata Endang yang berkaca-kaca karena merasa bahagia Airin tinggal di rumah mereka. Dia merasa bersyukur karena anaknya bertemu dengan mertua baik seperti Endang dan Bakti.
Andi yang sudah berada di dalam mobil menyalakan klakson memberi kode kepada Jihan agar cepat masuk ke dalam mobil. “Mamah berangkat, awas kalau kamu bandel. Jangan pulang terlalu malam, dan kamu harus bantuin Bu Endang jangan bisanya makan aja.”
**