Semuanya seperti mimpi buruk, kematian Tendi, kegagalannya untuk membahagiakan suaminya dan tentunya ia menjadi satu-satunya wanita bodoh yang menunda kehamilan. Kenapa ia melakukan hal tersebut? Mengejar karir? Bodoh! Ia benar-benar menyesal karena telah melakukan semua itu. Apakah waktu bisa diulang kembali? Jika bisa ia ingin sekali kembali ke masa di saat ia baru menikah dengan Tendi. Memutuskan untuk mempunyai anak dan menjadi ibu rumah tangga seperti ibu mertuanya.
Melihat peti jenazah Tendi yang ada di tengah rumah membuat ia membisu. Mereka semua tidak bisa melihat mayat Tendi karena mayat tersebut dalam keadaan tidak utuh, jika Airin memaksa maka dia akan jatuh pingsan dan membuat semuanya khawatir.
“Jika kamu mau kamu bisa sentuh peti itu Airin,” ucap Endang yang sedang duduk di sebelah Airin. Dia pasti tahu jika menantunya ingin sekali melihat Tendi untuk terakhir kali akan tetapi dengan keadaannya yang rapuh seperti ini mungkin Airin ragu untuk melakukannya.
Airin menggelengkan kepala, anehnya ia tidak menangis sedikit pun. Kemana air matanya? Setelah jasad Tendi tiba mendadak air matanya kering tidak mau keluar sedikit pun.
Kemudian banyak laki-laki yang merupakan tetangga rumahnya datang dan meminta izin untuk menyolatkan Tendi. Bakti pun mengizinkannya dan ikut menyolatkan anaknya. Airin bersyukur sekali karena banyak orang yang mendoakan agar jenazah Tendi tenang di alam sana.
“Airin,” panggil Revan yang mengenakan setelah hitam. Lelaki itu memandang Airin dengan tatapan khawatir apalagi dengan tatapan kosong Airin yang semakin membuatnya cemas.
“Aku solat dulu ya,” sambungnya kemudian berdiri di barisan belakang. Revan tidak menyangka jika sahabatnya bisa dengan cepat pergi meninggalkan mereka semua.
Airin tidak bisa membalas ucapan Revan. Bibirnya berubah menjadi kelu tidak mampu menjawab satu kata pun. Kemana Airin yang cerewet? Sepertinya kepribadiannya yang satu itu lenyap terbawa arus bersama dengan kepedihannya.
Airin tidak sadar jika sedari tadi Jihan menatapnya dengan tatapan sendu. Dari semalam anaknya tidak makan atau minum dan itu membuatnya khawatir. Bagaimana jika Airin pingsan? Apalagi wajah anak itu sudah mulai terlihat pucat.
Semua yang mendoakan Tendi sudah keluar, Revan memutuskan untuk diam di dalam rumah sambil memperhatikan Airin yang sangat terlihat kacau. Meskipun wanita itu menggunakan setelan hitam yang membuatnya terlihat cantik akan tetapi kesedihannya tidak bisa ditutupi. Ingin sekali dia merengkuhnya dan membuatnya melupakan mimpi buruk ini hanya saja ia tidak bisa apalagi dengan statusnya yang hanya sebagai sahabat.
“Sepertinya Tendi akan segera dimakam kan, kamu siap Airin?” kata Bakti setelah berbincang dengan ketua RT di kompleks rumah.
Airin membisu wajahnya yang pucat membuat semua orang yang ada di sana menjadi sangat khawatir. Dalam hati paling dalamnya tentu saja ia tidak mungkin bisa siap melihat suaminya dikubur di dalam tanah yang gelap dan penuh binatang di dalam sana. Apakah tidak ada keajaiban untuk Tendi? Apakah suaminya tidak bisa mendadak bangun dari dalam sana dan tersenyum manis kepadanya? Kedua matanya meneteskan linangan air mata, menangis histeris dan membuat semua yang ada di sana ikut merasakan kesedihannya.
Kebiasaannya yang selalu cerewet kepada semua orang kini lenyap tidak bersisa. Dia berubah seperti boneka hidup hanya bisa melihat dengan diam prosesi pemakaman suaminya. Tendi benar-benar terkubur di dalam sana gelap dan panuh sesak. Sepertinya ini akhir dari semua kebahagiaan yang ada di hidupnya.
Endang menyajikan nasi beserta sayur bayam dan ayam goreng di atas meja makan, Jihan membantunya membawa piring-piring. Sudah satu minggu mereka berada di sini ia tahu mereka tidak bisa meninggalkan Airin dengan kondisi tidak baik seperti ini.
“Saya panggilkan Airin terlebih dahulu ya Han,”
Jihan hanya mengangguk ia merasa tidak enak karena anaknya berprilaku seperti ini atau mungkin biar ia saja yang mengajaknya untuk makan? Dia juga sudah kesal dengan tingkah anaknya yang terus menerus bersedih seperti ini.
“Bu, biar saya saja. Ibu ajak para lelaki untuk makan saja,” ucap Jihan sambil tersenyum simpul kedua kakinnya pun melangkah menaiki tangga, Endang hanya mengangguk dan berbalik untuk memanggil suami dan Andi untuk makan bersama ia berharap Jihan bisa membujuk Airin agar bisa makan bersama mereka.
Jihan menghela napas kesal melihat Airin dengan tubuh yang tertutup oleh selimut tebal. Suasana di kamar ini sangat gelap bahkan gorden kamar tidak dibuka sedikit pun tidak membiarkan satu cahaya masuk sedikit pun. Bahkan tadi ia akan jatuh karena menendang benda yang tidak terlihat olehnya.
Kedua tangannya bersedekap sambil menatap Airin yang sedang tidur di ranjang. “Sampai kapan kamu mau seperti ini? Kamu itu harus sadar semua orang yang ada di dunia itu akan meninggal.”
“Nggak malu sama mertua kamu Rin? Mereka udah berjuang menutupi kesedihannya karena ingat kamu dan kamu malah seperti ini!” sambung Jihan dengan suara yang sudah mulai meninggi.
Tidak ada satu pun jawaban dari Airin, bahkan posisi anaknya itu masih tetap sama seperti ia baru masuk ke kamar ini. “Tendi juga akan sedih lihat kamu kayak gini Rin.”
“Kamu harus tahu yang merasa kehilangan atas kematian Tendi itu bukan hanya kamu. Mertua kamu juga sedih, Mamah dan Papah pun sama sedihnya tapi kamu bisa merelakan karena tidak mau kamu terus-menerus bersedih.”
“Jangan berlagak kamu yang paling kehilangan di sini! Semuanya juga!”
Jihan bisa mendengar isakkan Airin, ia hanya memejamkan mata sambil memegang pangkal hidungnya karena pusing yang ada di kepalanya. Semakin tua ia tidak mampu untuk memarahi anaknya, jika dipaksa kepalanya akan sakit seperti ini.
“Kamu udah dewasa, harus tahu bahwa semua yang ada di dunia ini nggak ada yang abadi. Sekarang kamu keluar dan makan.”
“Nggak, Airin nggak mau!” kata Airin sambil terisak di bawah selimut. Sedari tadi wanita itu sudah terbangun. Walaupun perutnya sudah minta di isi hanya saja otaknya tidak mampu menelan makanan sedikit pun.
“Terus kamu maunya apa? Kamu mau Mamah ke rumah sakit karena terus mikirin kamu yang seperti ini? Tega ya kamu.”
“Pokoknya Airin akan tunggu Mas Tendi pulang!”
“Airin!” Jihan tidak bisa menahan amarahnya. Ia terlalu kesal mendengar perkataan Airin. “Makanya kamu itu banyak-banyak dengerin ceramah! Manusia itu nggak ada yang abadi!”
Airin mulai terisak dan menjerit karena tidak bisa menahan sakit hatinya. Dia hanya berharap Tendi masih hidup di luar sana. Apakah itu salah?
“Kamu pikir pakai otak kamu yang cerdas itu. Mana mungkin ada orang yang selamat dari ledakan sebuah pesawat! Percuma sekolah tinggi tapi nggak bisa terima musibah seperti ini.”
“Kalau kamu begini terus bukan hanya Tendi yang meninggal tapi Mamah Papah, dan mertua kamu ikut nyusul Tendi karena pusing lihat sikap kamu yang seperti ini.”
**