Airin termenung melihat acara televisi yang menampilkan seorang Ibu yang berprofesi sebagai artis sedang mengasuh anaknya yang masih balita. Sang anak terus saja menangis dan sang ibu kewalahan kemudian seorang pria yang merupakan ayahnya datang dan mengambil alih anaknya dan ibunya untuk ia gendong. Ajaibnya anak itu terdiam dan kembali tenang.
Apakah anaknya juga akan seperti itu? Menangis dan kemudian terdiam ketika Ayahnya menggendongnya?
“Waktu kecil Tendi juga seperti itu. Menangis terus-menerus dan terdiam ketika Bakti menggendongnya. Jangan-jangan semua anak juga akan seperti itu?” ucap Endang yang sedang ikut menonton di samping Airin.
Airin tidak bisa menjawab. Ia tidak tahu apakah semua anak seperti itu atau tidak. Dia belum punya anak dan tidak tahu bagaimana rasanya mengasuh seorang anak. Kata Nagita sih merepotkan apalagi dengan drama tengah malam yang membuatnya tidak bisa tidur karena anaknya menangis semalaman minta digendong.
“Aduh lihat bayi jadi ingat Marvel,” sambung Endang sambil memasukkan keripik pisang ke dalam mulutnya.
Marvel adalah anak dari Theo kakak Tendi. Sudah lama mereka berdua tidak pulang ke Indonesia. Bahkan ketika lebaran pun mereka tidak pernah menginjakkan kaki di rumah ini. Jika sudah kangen Ibu akan menelepon dan sesekali mengirim kado untuk Marvel cucunya.
“Kalau di pikir-pikir Theo itu anak kurang ajar, dari Marvel berusia satu tahun dia belum pernah menginjak rumah ini.” Mengingat Theo ia juga teringat dengan kelakuan anaknya yang sangat kurang ajar itu. Theo dan Tendi walaupun mereka adik kakak sifatnya sangat berbeda. Apalagi ditambah Theo menikah dengan wanita biadab itu sifatnya semakin buruk kepada kedua orangtuanya.
“Ibu nggak mau gitu datang ke rumah Kak Theo yang ada di Singapur? Bisa sekalian jalan-jalan dan ketemu Marvel.” Airin tahu kisah antara Theo, mertuanya dan mantan kakak iparnya. Tendi yang cerita semua itu bagaiman sikap istri kakaknya yang tidak suka dengan kehadiran Endang.
“Ibu udah lelah kalau disuruh buat pergi jauh. Tahu sendiri kan ikut dinas luar kota bareng suami sendiri aja nggak mau apalagi ke luar negeri. Ibu tuh penginnya anak yang datang ke rumah orangtuanya bukannya sebaliknya.”
“Kalu Ibu punya cucu dari Mas Tendi pasti sekarang kita nggak akan kesepian seperti ini.” resah Airin karena merasa gagal sebagai menantu. Endang tentu saja tida ada maksud untuk menyinggung Airin, malahan sekarang ia merasa bersalah karena membuat menantunya tersinggung.
“Airin, jangan berpikiran seperti itu. Ibu sangat bersyukur karena Tendi memilih kamu sebagai istrinya. Harapan itu untuk memiliki anak perempuan juga terwujud karena adanya kamu. Kamu tahu Airin? Setiap pulang sekolah Tendi selalu menceritakan tentang kamu, makanan kesukaan kamu dan semua hal yang kamu tidak suka pun ia akan menceritakannya kepada Ibu.”
“Maka dari itu saat kamu menerima lamarannya Ibu sangat senang sekali. Ibu sangat yakin Tendi bisa bahagia bersama dengan kamu.” Endang memeluk Airin dari samping dengan lembut.
“Jadi jangan pernah salahin diri kamu karena tidak bisa menuruti permintaan Tendi. Semuanya sudah ada waktunya. Ibu yakin Tendi juga tidak merasa sedih di sana karena keinginannya tidak bisa terwujud. Karena menurut dia kebahagiaan kamu adalah yang terpenting.”
Airn sangat beruntung karena mertuanya adalah Endang dan Bakti. Hanya saja ia masih menyesal karena tidak bisa memenuhi keinginan Tendi yang ingin memiliki seorang anak.
Divisi keuangan saat ini tidak terlalu sibuk dikarenakan Pak Ahmad sedang rapat dan pekerjaan tidak menumpuk seperti akhir bulan. Teman kantor Airin juga memilih untuk nongkrong di kantin bawah menikmati es Americano dan sibuk membaca isu panas yang ada di media sosial. Dulu Airin seperti itu hanya saja untuk saat ini ia hampir tidak bisa mengembalikan kehidupannya seperti dulu lagi.
“Airin, di kantin bawah ada menu baru. Kata orang-orang sih enak,” ucap Revan saat ini hanya tinggal mereka berdua yang ada di ruangan ini.
“Mumpung Pak Ahmad lagi nggak ada. Kalau ada boro-boro bisa ke kantin, makan cemilan aja nggak bisa.”
Airin menggelengkan kepalanya. Ia sudah lelah bahkan untuk berjalan ke lantai bawah pun rasanya tidak kuat. Apalagi pikirannya selalu teringat dengan keinginan Tendi yang ingin memiliki anak. Jika ia tidak pernah menunda kehamilan, jika tahun lalu ia hamil mungkin Tendi tidak akan mengalami kecelakaan ini, mungkin mereka masih bersama dan hidup bahagia.
“Pak Revan! Ayo ke bawah Bu Nadia kepala HRD mau traktir kita semua,” panggil seorang wanita yang Airin tahu dari suaranya adalah Luna junior di divisi keuangan yang merupakan primadona di kantor ini.
“Airin ayo.” Revan tidak pernah menyerah ia ingin Airin ikut bersamanya dan menikmati waktu luang dengan bahagia.
“Nanti gue nyusul. Lo duluan ya,” usul Airin, ia tahu sahabatnya itu pasti tidak akan pernah pergi jika ia terus menolak.
“Pak Ayo.”
Revan menatapnya dengan sangat dalam, seperti menyakinkan Airin bahwa wanita itu benar akan pergi menyusulnya.
“Iya. Gu eke toilet dulu. Lo duluan aja.”
Revan berdiri kemudian mendekati Luna yang sudah menunggu di depan pintu. Ia menghela napas ketika menyadari jika Airin masih belum bisa merelakan kematian Tendi. Bisa di ibaratkan sekarang hanya raga Airin yang ada di sini akan tetapi raganya entah dimana. Jika tidak ada Luna ia ingin sekali menemaninya dan mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja.
Setelah kepergian Revan Airin mneyandarkan punggungnya dan menatap langit-langit ruang kerjanya. Kedua matanya mnegerjap dan linangan air mata keluar dari kedua matanya. Airin menutup matanya dan membiarkan perasaan sedihnya keluar. Jika ia Nobita dia ingin memohon kepada Doraemon agar mengembalikan waktu atau membawanya pergi dan memberitahukan Airin yang ada di masa lalu untuk mempunyai anak dan melarang Tendi untuk tidak pergi ke Medan. Sayangnya ia bukan Nobita dan di dunia nyata tidak ada Doraemon.
“Kak Revan mau kemana?” tanya Luna ketika melihat Revan membawa dua es Americano dan berjalan menjauh darinya.
“Bukan urusan lo,” jawab Revan tegas. Jika bukan karena Airin menyuruhnya untuk ke bawah ia tidak akan menginjakkan kakinya di sini.
Revan terdiam ketika lengannya ditahan loh Luna. Kedua matanya menatap tajam seperti burung elang yang menatap mangsanya. “Lepasin!”
Luna menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau Revan dan Airin berduaan apalagi setelah kematian Tendi menyebar di kantornya ia merasa memiliki musuh yang sangat kuat. “Nggak! Kakak harus di sini!”
Revan berdecak keras. “Lepas!” suaranya lantang dan membuat mereka menjadi pusat perhatian. Luna bergetar terkejut karena baru pertama kali ini ia melihat Revan marah seperti ini.
**