Airin terpaku melihat keributan antara Revan dan Luna. Ia melihat wajah Luna yang berubah pucat, kedua tangannya gemetaran dan kepalanya ia tundukkan menghindari kontak mata antara ia dan Revan.
Revan tidak menyadari jika ia telah menjadi pusat perhatian bahkan ia tidak sadar jika Airin sudah berada di hadapannya. Kepalanya terasa meledak karena kesal dengan tingkah Luna yang seperti ini. Luna sudah keterlaluan dan ia tidak terima jika ada yang mengatur hidupnya.
“Jangan pernah ngatur hidup gue! Lo bukan siapa-siapa. Kita hanya rekan kerja, nggak lebih dari itu.”
Luna terlihat semakin tertekan bahkan ia menggigit bibirnya dan tetesan air matanya sudah membasari pipinya yang putih. Semua orang yang ada di sana pun hanya diam tidak mau ikut campur dengan masalah yang mereka alami.
“Revan.” Airin tidak bisa membiarkan Luna terus disakiti oleh Revan, maka dari itu ia mendekat sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.
“Kenapa lo marahin Luna? Kamu itu laki-laki nggak boleh bentak Luna tanpa alasan seperti ini. Lihat karena marah-marah kamu jadi pusat perhatian,” sindir Airin sambil tersenyum kepada rekan kerja yang lain.
“Maaf kan Revan udah menganggu waktu istirahat kalian,” ujar Airin sambil tetap mempertahankan senyumannya mereka semua hanya membalas senyumannya dan kembali bercengkrama seperti semula.
Kedua mata Airin menatap lekat Revan yang terus memadang ke sisi kiri, penglihatannya pun menatap es Americano yang ada di kedua tangan Revan. Kemudian melirik Luna yang terus saja menundukkan kepalanya. “Gue kan udah bilang, gue akan turun. Mana bisa gue lewatin traktiran dari Bu Nadia,” jelas Airin dengan kedua tangan membawa es Americano yang ada di tangan kanan Revan.
“Lo harus minta maaf ke Luna,” perintah Airin sambil berjalan menuju tempat rekan kerjanya.
“Bu, terima kasih atas traktirannya.” Airin menyapa Bu Nadia sekalian berterima kasih atas es Americano gratis yang ia bawa.
“Sama-sama Airin. Kamu mau kemana?” tanya Bu Nadia ia kira Airin akan bergabung dengan mereka akan tetapi wanita itu malah berjalan menuju pintu keluar.
“Mau ke luar sebentar.”
Airin memilih untuk duduk di taman sambil sesekali menyesap es Americano yang sedikit membuat kepalanya terasa membaik dari sebelumnya. Hembusan angin membuat sedikit rambut pendeknya bergerak ia bisa mencium bau tanah yang menandakan sebentar lagi hujan akan datang. Bulan Desember memang sudah waktunya musim hujan tiba, di bulan ini cuaca menjadi tidak mentu kadang paginya hujan kadang juga hanya ada panas matahari. Kata artikel yang ia baca perubahan iklim yang ekstrem itu karena faktor alam yang semakin memburuk maka dari itu di rumah Airin banyak sekali tanaman berharap bisa menyembuhkan alam yang sudah semakin tua ini.
Mengingat tanaman ia kembali teringat kepada Tendi. Suaminya itu selain pekerja keras juga sangat menyayangi tanaman, bahkan kebanyakan tanaman yang ada di rumah merupakan hasil beli Tendi di toko bunga. Akan tetapi terakhir ia lihat tanaman itu sudah ada yang mati, tidak terurus karena sang pemilik menghilang dari dunia ini.
Airin menegakkan kepalanya dan melihat langit yang berubah menjadi warna abu. Angin menggerakkan rambutnya ke sana ke mari kedua matanya ia pejam sambil menikmati hembusan angin. Linangan air matanya kembali turun menyatu dengan tetesan hujan yang semakin lebat membasahi tubuhnya.
Revan mengetuk-ngetukkan kakinya kepada lantai kantor tidak sabar menunggu Airin yang sedang mengganti bajunya. Ia tidak habis pikir wanita itu malah hujan-hujannan di tengah taman, untung saja Luna membawa dua baju jika tidak mungkin sekarang wanita itu akan kedinginan. Sepertinya ia juga harus meminta maaf kepada Luna atas sikapnya di kantin dan berterima kasih karena telah meminjamkan bajunya kepada sahabatnya.
“Lain kali jangan seperti ini lagi Airin, kalau nggak ada yang bawa baju ganti gimana?” ceramah Revan ketika wanita itu keluar dengan dress panjang selutut berwarna hitam milik Luna.
“Tinggal pulang aja ke rumah,” jawab Airin dengan singkat padat dan jelas.
Keduanya berjalan berdampingan menyusuri koridor kantor yang sepi. Para pegawai sudah kembali mengerjakan tugas-tugas mereka termasuk rekan kerjanya di divisi keuangan.
“Nanti pulang sama siapa Rin?” tanya Revan sambil berdiri menunggu lift terbuka. Hari ini ia berniat untuk mengantar Airin pulang sekalian melancarkan aksinya untuk mendaptkan hati Airin.
“Naik taksi, atau ojek.” Airin sudah lelah ia ingin sekali segera duduk di kursi kerjanya kemudian langsung pulang dan tidur dengan nyenyak di kasurnya yang empuk.
“Yaudah, pulang bareng gue aja.”
Pintu lift terbuka kemudian Revan masuk sedangkan Airin tetap di luar menatap Revan dengan lekat. Keduanya saling pandang. “Nggak. Gue mau naik taksi aja.” Lalu Airin masuk dan berdiri di belakang Revan.
Revan tidak mau kembali ditolak. “Gue juga lagi ada urusan dan kebetulan arah jalannya ke arah rumah lo Rin.”
“Nggak. Gue mau dijemput sama Ayah mertua sambil mau ada urusan juga.” Airin berbohong faktanya ia dan Bakti tidak janjian untuk pulang bersama.
Revan tidak bisa kembali memaksa, ia tidak bisa berkutik jika Bakti sudah akan menjemput Airin. Ia juga merasakan jika Airin sedang kesal kepadanya karena perbuatannya kepada Luna. Suasana di dalam lift pun menjadi hening ketika pintu terbuka mereka berdua keluar dengan keadaan saling diam tidak berniat untuk mengeluarkan suara.
Semua penghuni di divisi keuangan tahu bahwa terjadi perang dingin antara Revan dan Airin, keduanya saling terdiam meskipun sedang tidak mengerjakan apa pun. Menolak untuk saling pandang dan mencoba untuk bersembunyi di balik komputer masing-masing. Melihat semua itu membuat Luna bahagia, berarti rencananya lancar untuk membuat mereka berdua sedikit menjaga jarak satu sama lain.
Sampai jam pulang kerja mereka masih tetap bertahan untuk tidak saling mengobrol satu sama lain. membuat Luna semakin terbang ke angkasa. Gadis itu memilih untuk berjalan di belakang mereka berdua menunggu agar Airin menjauh dari Revan dan ia bisa pulang bersama dengan lelaki itu. Ia tersenyum sumringah ketika melihat Airin menjauh dari Revan begitu pun sebaliknya.
“Kak Revan,” panggilnya. “Boleh aku ikut pulang bareng Kak Revan? Mobil aku mogok dan belum selesai diperbaiki.”
Airin menghela napas, Bakti tentu saja tidak akan menjemputnya karena ia tidak memberitahu Ayah mertuanya terlebih dahulu. Bagaimana ia pulang? Apalagi taksi belum terlihat satu pun ia juga tidak bisa memesan ojek online karena tidak memiliki apalikasinya. Wanita itu memutuskan untuk beridiri di samping jalan agar memudahkannyaa untuk memberhentikan taksi.
“Aku tahu kamu bohong. Cepat naik Airin.” Mobil Revan berada tepat di depannya lelaki itu membuka pintu penumpang membuat Airin hanya terdiam sambil menatapnya. Suara klakson mobil pun terdengar dari mobil lain karena Revan menghalangi jalan mereka. Seorang pengumudi menurunkan jendelanya dan memandang Airin dengan wajah marah.
“Mbak! Cepat naik! Saya mau rapat, jangan menghalangi jalan seperti ini dong.” Airin tidak bisa menolaknya lagi, ia pun memutuskan untuk naik dan pulang bersama Revan
**