Bab 17

1073 Kata
Setelah kematian Tendi, Endang takut jika suatu saat Airin menikah kembali dan pergi meninggalkannya. Ia ingin Airin tetap menjadi bagian keluarga mereka selalu bersama dengannya. Jika suatu saat Airin mempunyai keluarga baru menantunya pasti akan tinggal bersama keluarga barunya dan Endang akan susah jika ingin mengajaknya untuk berkumpul bersamanya. Endang juga sangat sedih ketika Jihan mengajak Airin untuk keluar dari rumah ini. Hatinya terasa perih ketika mengetahui alasannya adalah kematian Tendi yang membuat menantunya tidak boleh tinggal bersama dengan mereka. Untung saja Airin meyakinkan kedua orangtuanya untuk mengizinkannya tinggal bersama dengannya jika tidak rasa sakitnya akan bertambah kali lipat karena selain kehilangan Tendi ia juga kehilangan Airin. “Diminum obatnya,” ucap Bakti ketika masuk ke kamarnya dan membangunkannya dari lamunan tentang menantunya. Rasa pening di kepalanya membuat Endang tidak terlalu merespon perkataan Bakti, tadi malam kepalanya mendadak seperti tertimpa batu ditambah flu membuat penderitaanya menjadi lengkap. Ia juga merasa bersalah kepada Airin karena tidak bisa memasak makanan kesukaanya. “Sayang, kamu harus minum obatnya,” ujar Bakti sambil mengangkat setengah badan Endang agar bersandar di bantal yang sudah di tumpuk. Wajah Endang sangat pucat hidungnya pun memerah. Bakti pernah merasakan yang saat ini dialami oleh istrinya, dan ia tidak mau lagi terserang penyakit flu dan panas lagi. Merepotkan. Kedua tangan Bakti dengan cekatan memberikan minum dan obat kepada Endang untuk ditelan. “Setelah ini kamu tidur.” Bakti lantas membaringkan Endang seperti semula dan menyelimutinya sampai ke d**a. “Untuk makan malam nanti kamu harus beli ke rumah makan. Kayaknya aku nggak kuat buat masak, kalau maksain takut bersin dan nempel di makanan. Nanti malah satu rumah yang sakit.” Meskipun ia sedang sakit Endang masih sempat mengingatkan Bakti untuk membeli makanan di luar. Dia sangat tahu bahwa di rumah ini yang pintar memasak hanya dirinya. “Tenang saja, jangan khawatir. Sekarang yang harus dikhawatirin itu kamu. Kamu harus sembuh,” ujar Bakti kemudian mencium kening Endang untuk menenangkannya. Endang tersenyum apalagi suaminya tetap memperhatikannya dan romantis seperti ini. Airin menatap tetesan hujan yang terus-menerus membasahi kaca mobil. Tetesan itu semakin banyak dan berubah menjadi guyuran air yang datang dari langit. Cuaca bulan ini memang sangat ekstrem di siang hari cuaca akan sangat panas kemudian ketika sore hari berubah mendung dan hujan lebat seperti ini. Kedua mata Airin terpejam ketika melihat kilatan petir datang begitu tiba-tiba, setelah itu bunyi suara guntur yang menggelegar dan membuatnya sangat terkejut. “Lo kenapa masih tinggal di rumah Tendi?” Revan memecah keheningan sejak mereka berada di dalam mobil Airin berubah menjadi es batu yang kerjanya hanya diam dan itu membuat suasana di dalam mobil dingin seperti di dalam kulkas. “Kenapa?” tanya Airin datar. Kedua matanya hanya menatap jalanan yang basah seperti hatinya minggu lalu. “Nggak. Cuma tanya aja.” Revan tidak berniat untuk bertanya lebih dalam lagi. Dari nada suara Airin yang datar seperti itu ia sudah menyadari jika wanita itu sedang dalam mode kesal. Sesekali kedua mata Revan melirik kepada Airin. Dia ingin sekali bertanya kenapa Airin kesal kepadanya akan tetapi lampu merah di jalan tidak mau menolongnya sedikit pun, sepertinya semua lampu lalu lintas berkerja sama untuk menampilkan lampu hijau ketika mobilnya lewat. Lima belas menit kemudian mobil pun sudah berada di depan rumah Tendi. Airin pun segera membuka pintu mobil akan tetapi mobil masih tetap terkunci dan hal itu membuat Airin kesal. Dia segera menatap Revan dengan raut wajah kesal. “Buka Van!” Revan menggelengkan kepala. “Kenapa lo dari tadi diam terus? Lo kesal karena gue tanya kenapa lo masih tinggal di rumah Tendi? “Gue kecewa karena lo mempermalukan Luna di depan semua orang! Puas?” Revan memejamkan kedua matanya. Mendengar nama Luna membuat kepalanya menjadi pening. “Iya, gue minta maaf. Nggak akan kayak gitu lagi deh.” “Yaudah buka pintunya.” “Lo maafin gue nggak nih.” Airin memutar bola matanya dengan malas. “Iya di maafin. Cepetan buka pintunya.” Revan tersenyum puas. “Bentar, jangan dulu keluar,” ucapnya kemudian membawa payung lipat yang ada di belakang dan segera keluar. Hujan masih turun ketika mereka sampai di rumah dan tentu saja dia tidak akan membiarkan Airin kehujanan sedikit pun. Airin terpaku melihat bagaimana Revan memperlakukannya. Mereka sahabatan kan? Tentu saja! Jika tidak mungkin sahabatnya itu akan membenci Tendi karena telah mejadi suaminya atau bisa saja kan Revan hanya iseng melakukan hal ini agar ia terhibur dengan kelakuan konyolnya? Pintu mobil terbuka. Kedua matanya bisa melihat Revan berdiri di sampingnya dengan tangan memegang payung berwarna hitam. “Mari tuan putri, saya antar ke istana.” Airin tertawa, sudah ia duga Revan hanya bermaksud untuk menghiburnya. “Terima kasih.” Dia keluar dan berdiri di bawah payung bersama dengan Revan. Keduanya berjalan berdampingan, mereka berdua hanya tertawa yang satu tertawa karena tingkah konyol sahabatnya dan yang satunya tertawa bahagia karena bisa berduaan dibawah guyuran hujan. “Boleh gue sapa Tante dan Om?” tanya Revan sesampainya di depan rumah kedua orangtua Tendi. “Nggak boleh. Langsung pulang aja sana.” “Yaudah gue pulang dulu.” Sebenarnya Revan kesal dengan perkataan Airin akan tetapi ini hanya masalah sepele dan ia tidak mau membuatnya marah kembali. Airin menngangguk dan langsung masuk tanpa melihat Revan pulang. Di dalam rumah ia disambut oleh Endang dengan tubuh yang diselimuti oleh selimut tebal. Seketika ia panik karena khawatir dengan kondisi ibu mertuanya. “Ibu kok ada di sini? Ayo istirahat.” Airin langsung merangkul ibu mertuanya dan berjalan ke sisi kanan menuju kamar mertuanya. “Yang barusan siapa? Temen kamu?” “Revan Bu. Tadi dia langsung pulang makanya Ibu nggak tahu kalau dia ke sini.” Endang terdiam. Pikirannya bercabang ke sana kemari. Kenapa Revan dan Airin akhir-akhir ini sering terlihat bersama? Dulu saat Tendi ada mereka tidak terlalu dekat seperti saat ini. Apakah Revan menyukai Airin? “Ibu istirahat, Airin ganti baju dulu setelah itu ke sini lagi buat temenin Ibu,” ujar Airin dan membuat Endang terbangun dari lamunannya. “Airin.” Endang tidak bisa membiarkan pikiran buruk menghantuinya, jika benar mereka ada hubungan spesial ia akan mempersiapkan diri untuk kehilangan Airin yang sudah ia anggap anak kandung senidiri. “Kamu dan Revan ada hubungan spesial?” tanya Endang dengan wajah penuh tanda tanya. Dia berharap Airin menjawab tidak dan jika ya dia akan beruaha untuk melepaskan menantu yang paling ia sayangi. Airin menggelengkan kepala. “Tidak ada Bu. Airin dan Revan hanya teman. Mas Tendi tidak bisa digantikan dengan mudahnya Bu.” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN