Wyvern, 05

3774 Kata
Suara decakan mengalun berulang kali dari mulut Algren, ini karena dia kesal meskipun sudah mengguyur tubuhnya dengan air berkali-kali tapi aroma tak sedap yang menguar dari tubuhnya yang terkena air liur Eldron, sulit sekali untuk dihilangkan. Padahal Algren juga sudah mengenakan sabun beraroma wangi bunga yang menyengat, tapi hasilnya tak sesuai harapannya. Aroma tak sedap itu masih tetap tercium meski tak sekuat tadi sebelum dia membersihkan diri. Kesal karena sudah hampir satu jam dia membersihkan diri, Algren pun memutuskan untuk menyudahi. Dia mengenakan seragam barunya dengan cepat dan memutuskan membuang seragam lama yang basah kuyup oleh air liur Eldron karena dia yakin pasti seragam itu tak mungkin bisa dibersihkan. “Hah, dia benar-benar menyusahkan,” gerutunya seraya memasukan pakaian kotornya ke tong sampah yang tersedia di kamar mandi tersebut. Algren pun keluar dari kamar mandi dan terenyak begitu menemukan seseorang sedang berdiri sambil bersandar pada dinding, menunggunya. “Drew, kau masih di sini?” Ya, pria itu adalah Drew yang tadi mengantar Algren ke kamar mandi tersebut. Siapa sangka pria itu masih setia menunggunya di sana padahal Algren yakin dia sangat lama menghabiskan waktu di kamar mandi. “Iya. Aku sedang menunggumu.” Algren meringis, merasa tak enak hati. “Maaf, kau jadi menungguku lama. Aku tidak tahu kau sedang menunggu. Aku pikir kau sudah pergi.” Drew mengulum senyum, “Tidak. Mungkin kau butuh bantuan karena itu aku masih menunggumu di sini.” Algren semakin yakin Drew memang tulus begitu peduli padanya, dia jadi terharu karena baru mengetahui ada bangsawan sebaik pria itu. Algren berjalan menghampiri, tapi saat Drew tiba-tiba menekan hidungnya dengan jari tangan, dia tahu aroma tubuhnya yang tidak sedap tercium oleh Drew dan membuat pria itu tak nyaman. “Maaf. Aku sudah berusaha menghilangkan baunya. Tapi …” Drew tertawa, “Tidak masalah. Sekarang lebih baik dibanding tadi. Ayo, pergi.” Algren mengikuti langkah Drew yang berjalan di depan, jika saja dia tak berpapasan dengan seseorang di pintu masuk kamar mandi, mungkin kini mereka sudah meninggalkan area kamar mandi umum yang diperuntukkan semua siswa academy tersebut. Algren mendelik tajam begitu melihat siapa yang berpapasan dengannya, tidak lain adalah seseorang yang sejak menginjakkan kaki di kastil selalu saja mencari gara-gara dengannya. “Heh, kau masih berani mencari gara-gara denganku ya? Tadi itu apa maksudnya kau memprovokasi semua orang agar menganggapku sebagai penyusup?” Orang itu … yang tidak lain merupakan Lucian, hanya mengangkat kedua bahu dengan acuh tak acuh, seolah dia tidak kapok meskipun wajahnya menjadi babak belur karena ulah Algren. “Jangan salahkan aku. Bukan hanya aku yang mengira seperti itu. Tapi semua orang juga berpikir begitu, bukan? Bahkan Tuan Morgan juga.” Algren menggeram, semakin kesal karena alih-alih meminta maaf, Lucian tak mau mengakui kesalahannya dan justru menjadikan orang lain sebagai kambing hitam. “Tapi kau orang pertama yang mengatakan aku penyusup karena itu semua orang jadi berpikir sepertimu. Huh, rasanya aku ingin menghajar wajahmu lagi sampai gigimu rontok.” “Coba saja kalau kau berani.” Ditantang seperti itu, tentu saja membuat Algren geram bukan main, dia bersiap maju untuk melayangkan serangan pada Lucian, tapi gerakannya tertahan oleh Drew yang tiba-tiba mencekal lengannya dari belakang. “Sudahlah. Jangan meladeni dia. Lebih baik kita pergi dari sini.” Algren mendelik tajam pada Drew yang ikut campur urusannya. “Kau tidak dengar dia menantangku? Selain itu, aku mengalami kejadian tadi itu karena dia yang menyebarkan rumor tidak benar.” “Jika kau memukulnya berarti kau sama saja dengannya. Biarkan saja dia. Tidak ada gunanya juga kau memukulnya, yang ada justru kau yang akan membuat dirimu rugi sendiri.” Algren tak memahami maksud ucapan Drew, tapi karena pria itu menarik tangannya untuk pergi, meskipun enggan Algren akhirnya memilih mengalah. Sebelum melangkahkan kaki mengikuti Drew, dia menyempatkan diri melayangkan tatapan tajam pada Lucian dan berkata, “Awas kau. Urusan kita belum selesai.” Dia memberikan ancaman serius. Begitu mereka keluar dari area kamar mandi umum, Drew melepaskan cekalan tangannya pada lengan Algren. Mereka kini berjalan beriringan di lorong kastil. “Kau ini kenapa menahanku tadi?” “Jika kau memukulnya dan membuat kondisinya semakin terluka parah maka kau sendiri yang akan dirugikan.” Kedua alis Algren menyatu, “Kenapa begitu?” tanyanya, meminta penjelasan. “Itu karena ada peraturan di academy bahwa semua siswa RKA tidak boleh saling menyakiti secara fisik. Jika kau memukulnya berarti kau melanggar peraturan itu.” Algren mengerjapkan mata karena dia sungguh baru mengetahui ada peraturan seperti itu. “Benarkah? Aku baru tahu ada peraturan seperti itu.” “Wajar saja jika kau baru tahu. Tapi aku yakin semua bangsawan sudah mengetahui peraturan itu.” Algren seketika tertegun, seolah dia sedang memikirkan sesuatu. Dirinya melayangkan tatapan serius ketika baru menyadari sesuatu. “Jika kekerasan fisik itu memang dilarang lalu kenapa di ruang makan semalam, mereka semua bebas menyakitiku?” “Memangnya mereka menyakitimu secara fisik?” tanya Drew, yang lagi-lagi membuat Algren terdiam. “Bukankah mereka itu hanya menghinamu dengan kata-kata? Tidak ada yang memukulmu, bukan?” “Tapi Lucian, dia menghadang jalanku. Dengan sengaja menjulurkan kaki agar aku terjatuh. Menurutmu kenapa aku bisa tersandung dan menumpahkan makananku, tidak mungkin aku tersandung tanpa sebab?” “Sayangnya hanya kau yang mengetahui itu. Aku yakin siswa yang lain tidak ada yang melihatnya.” “Aku tidak mengerti maksudmu? Memangnya apa yang dilakukan Lucian padaku itu tidak termasuk penganiayaan secara fisik? Menurutku itu termasuk.” “Iya, jika ada yang melihatnya. Sayangnya, Lucian sangat cerdas melakukan kejahilan itu tanpa disadari orang lain. Dalam peraturan yang dibuat RKA, semua siswa dilarang melakukan kekerasan fisik jika disaksikan orang lain. Dengan kata lain harus ada saksi mata sebagai bukti bahwa kekerasan itu benar-benar terjadi dan bukan rumor semata.” Algren mengerti sekarang alasan Lucian yang dia pukuli sampai babak belur tidak dianggap sebagai pelanggaran. Itu karena hanya ada mereka berdua di dalam kamar sehingga tak ada yang bisa menjadi saksi mata. Namun, apabila tadi dia sampai memukul Lucian maka semuanya akan berbalik memberikan kerugian padanya karena ada Drew yang akan menjadi saksi mata. Kini Algren menyadari niat busuk Lucian yang sengaja menantangnya, mungkin dia sengaja agar Algren memukulnya di hadapan Drew, dengan begitu Drew akan menjadi saksi mata dan pemukulan itu akan menjadi masalah yang serius karena Algren sudah melanggar peraturan di RKA. “Terima kasih, Drew. Tadi sudah menahanku. Jika tidak, mungkin aku akan terkena masalah sekarang,” ucap Algren karena merasa Drew untuk kesekian kalinya telah menyelamatkan dirinya. “Setelah mengetahui ini aku harap kau lebih berhati-hati lagi. Jaga emosimu. Jangan sembarangan memukul orang lain sekesal dan semarah apa pun kau pada orang itu.” Algren mengangguk yakin, “Baik. Aku akan selalu mengingat pesanmu ini. Eh, ngomong-ngomong hukuman seperti apa yang akan didapatkan orang yang melanggar peraturan?” Hal inilah yang membuat Algren penasaran bukan main. “Hm, karena jenis pelanggarannya kau menyakiti fisik siswa lain maka hukuman akan dilihat berdasarkan status orang yang kau sakiti. Pada bagian ini akan dilihat orang yang kau sakiti itu berada pada kasta apa. Apakah dia bangsawan kasta satu, kasta dua atau kasta tiga. Setahuku jika kau melakukan kekerasan pada bangsawan kasta tiga maka hukumannya kau akan dikurung di ruang bawah tanah selama satu bulan penuh. Hanya diberi makanan dan minuman sisa agar kau jera.” Algren meneguk ludah, bangsawan kasta tiga merupakan bangsawan yang berada di status paling rendah dari kalangan bangsawan. “Jika aku memukul Lucian tadi, menurutmu hukuman apa yang akan aku dapatkan? Apa kau tahu?” “Lucian Alcasia. Dia bangsawan kasta dua. Hukumanmu akan cukup berat, Algren. Selain kau akan dipukuli oleh algojo menggunakan cambuk sebanyak seratus kali cambukan, kau juga akan menjadi b***k Lucian selama tiga bulan. Kau tidak boleh melawan perintahnya karena jika kau melawan maka bersiaplah kembali merasakan hukuman cambuk.” Bukan hanya kedua mata Algren yang terbelalak, bahkan mulut pria itu pun kini menganga saking terkejutnya. “Jadi aku akan menjadi budaknya jika tadi sampai memukulnya di depanmu? Hah, untung saja. Terima kasih, Drew. Kau memang penyelamatku,” kata Algren seraya menggenggam erat tangan Drew. “Senang bisa membantu. Semoga kau belajar dari kejadian ini. Kutegaskan sekali lagi padamu, jangan melakukan kekerasan pada siswa lain. Setidaknya lakukan itu tanpa disadari orang lain seperti yang dilakukan Lucian padamu saat di ruang makan, semalam.” Algren berdecak, nyaris saja dia termakan jebakan Lucian yang ingin mencelakakannya lagi. “Ayo jalan.” Drew yang mengajak, pria itu menarik tangannya yang masih digenggam oleh Algren, dan berniat melangkah pergi jika saja suara Algren tak menahan gerakannya. “Drew.” Drew kembali menoleh, “Jika itu kau, bukankah kau ini bangsawan kasta satu karena masih keturunan kerajaan? Apa yang akan terjadi jika melukai fisik orang sepertimu?” “Kau ingin tahu?” Algren mengangguk tegas karena ya, dia ingin mengetahui hukuman berat apa yang akan didapatkan jika dia sampai melukai bangsawan kasta tertinggi di saat hukuman bagi mereka yang melakukan kekerasan pada bangsawan kasta dua dan kasta tiga saja sudah cukup berat. Drew mengulum senyum, “Maka bersiaplah merasakan kepalamu terlepas dari tubuhmu. Dan kepalamu nantinya akan dipajang di tempat umum seperti pasar sebagai peringatan untuk semua orang, bukan hanya peringatan untuk siswa RKA saja.” Algren mematung di tempatnya berdiri, walau dia merasa hukuman itu memang wajar diberikan pada orang yang berani menyakiti bangsawan kasta tertinggi. Sekarang dia paham alasan semua orang tak ada yang berani membantah ucapan Drew. “Mengerikan sekali. Aku akan berhati-hati mulai sekarang, terutama saat ada di dekatmu. Jangan sampai aku melakukan tindakan ceroboh yang tanpa sengaja membuatku melukaimu, Drew.” Drew tertawa lantang detik itu juga, “Jangan khawatir. Jika melukai karena ketidaksengajaan, itu namanya kecelakaan bukan sengaja melakukan kekerasan. Kau tidak akan dihukum.” Algren menggaruk kepalanya yang tak gatal, “Hahahaha, benar juga ya. Itu termasuk kecelakaan. Syukurlah kalau begitu.” Tawa itu lenyap dari bibir Algren ketika hal lain kembali terngiang di pikirannya. “Oh, iya. Aku jadi berpikir karena aku ini bukan bangsawan, hukuman apa yang akan diberikan pada mereka yang melukaiku secara fisik?” Seolah dia pun tak mengetahui jawabannya, kali ini Drew hanya tertegun dalam diam. “Jangan katakan mereka tidak akan dihukum?” “Hm, dalam aturan RKA hanya menyebutkan melukai keturunan bangsawan. Untuk rakyat biasa sepertimu tidak dicantumkan karena ya, kau tahu sendiri … dulu tidak ada r'akyat j'elata yang terpilih menjadi penunggang Wyvern. Tapi karena kau juga siswa di academy ini jadi kurasa mereka akan tetap mendapat hukuman walaupun hanya sekadar teguran.” Algren mengembuskan napas frustrasi, “Hidup terkadang memang tak adil ya. Aku merasa dicurangi.” Drew kembali tertawa walaupun raut wajahnya terlihat iba pada Algren yang bernasib kurang beruntung karena terlahir sebagai r'akyat j'elata yang selalu direndahkan di wilayah kerajaan mereka. “Berarti Lucian bisa sesuka hatinya menyakitiku kalau begitu.” “Kenapa memangnya?” tanya Drew heran mendengar gumaman pelan Algren, tapi masih bisa telinganya dengar. “Lucian itu sekamar denganku. Bisa kau bayangkan apa saja yang bisa dia lakukan padaku? Ck, menyebalkan.” “Hm, apa kau mau bertukar menjadi teman sekamarku?” Algren mengerjapkan mata, dia yakin telinganya tak salah mendengar, Drew baru saja menawarkan diri menjadi teman sekamarnya. “K-Kau yakin ingin menjadi teman sekamarku?” Drew mengangguk, “Kenapa tidak? Aku nyaman berteman denganmu.” Bola mata Algren seketika berbinar, senang bukan main karena memang itu yang dia harapkan, mendapat teman sekamar sebaik Drew. “Tapi memangnya bisa bertukar teman sekamar?” “Aku akan mencobanya. Aku akan meminta izin pada pihak pengelola RKA. Aku akan pergi ke lantai atas untuk meminta izin sekarang.” Melihat Drew yang tiba-tiba berjalan pergi, Algren bergegas mengikuti. “Eh, aku ikut denganmu.” Drew menghentikan langkah, menolak dengan memberikan gelengan pada Algren. “Jangan. Lebih baik kau pergi ke perpustakaan.” Kening Algren mengernyit dalam, “Pergi ke perpustakaan? Untuk apa?” “Kau lupa tadi sebelum kelas dibubarkan, Tuan Morgan mengatakan besok kita akan mengikuti ujian yang lain?” Algren ber-oh panjang. Benar, dia baru mengingat Morgan memang berkata demikian sebelum membubarkan kelas. “Memangnya besok ada ujian apa lagi? Apa kita harus berhadapan dengan Wyvern masing-masing lagi?” Drew kembali menggeleng, “Bukan. Ujian pembuktian hanya dilakukan satu kali. Besok itu seharusnya ujian untuk menguji pengetahuan kita. Karena aku yakin kau belum mengetahui apa pun tentang Wyvern, jadi kusarankan kau untuk banyak membaca buku tentang sejarah Wyvern. Karena itu aku menyarankan kau pergi ke perpustakaan.” “Harus membaca buku ya?” “Ya, pergilah ke perpustakaan. Di sana banyak buku sejarah tentang awal kedatangan Wyvern ke Planet Terrarum dan menjadi pelindung Kerajaan Regnum.” Karena melihat Algren hanya diam membisu, Drew menganggap pria itu sudah paham maksudnya menasihati seperti itu. “Kalau begitu aku pergi dulu untuk meminta izin pindah ke kamarmu. Jangan lupa pesanku tadi, perbanyak membaca buku sejarah Wyvern jika kau ingin lulus ujian pengetahuan besok.” Drew menepuk pelan bahu Algren sebelum melangkah pergi, meninggalkan Algren yang berdiri mematung sambil memasang raut frustrasi karena dia sedang tertimpa masalah yang sangat berat. Bagaimana bisa dia membaca buku sejarah Wyvern, anak petani sepertinya bahkan tak pernah belajar membaca. Ya, dia tak bisa membaca sehingga kini dia kebingungan mengikuti ujian pengetahuan besok. “Eldron … ini semua karena ulahmu? Kau membuat hidupku susah saja!” teriak Algren, mengutarakan kekesalannya pada sang Wyvern yang sudah sembarangan memilihnya padahal dia merasa tak memiliki keistimewaan apa pun. Lantas kenapa Eldron memilihnya? Sampai detik ini hanya pertanyaan ini yang begitu Algren ingin ketahui jawabannya. *** Sepertinya yang dikatakan Drew memang benar bahwa besok merupakan ujian untuk menguji pengetahuan para siswa tentang sejarah Wyvern karena saat tiba di perpustakaan, Algren menemukan hampir semua siswa kini sedang berada di perpustakaan yang sangat luas itu sehingga mampu menampung semua siswa. Algren menghela napas panjang berulang kali karena walau dia datang ke tempat ini mengikuti saran Drew, tetap saja dia merasa tak berguna. Tak akan berpengaruh apa pun karena kendalanya dia tak bisa membaca. Algren berdecak berulang kali, karena tak ingin hanya berdiri tanpa melakukan apa pun di saat siswa lain hilir mudik mencari buku yang tersusun di rak, bahkan di antaranya banyak yang mulai membaca buku dengan serius, Algren pun memutuskan untuk mencari beberapa buku. Berharap buku-buku itu mencantumkan gambar agar dia bisa menerka-nerka maksud dari gambar tersebut. Dia memang tidak bisa membaca, tapi bukan berarti dia sebodoh itu sampai tidak tahu cara mengartikan sebuah gambar. Algren pun mulai berkeliling menelusuri satu demi satu rak yang memajang banyak buku dengan sampul Wyvern. Dia mengambil beberapa buku, memeriksa isinya dan hanya bisa menghela napas panjang begitu melihat hanya deretan tulisan yang tidak dia pahami yang tercantum, tak ada penjelasan dalam bentuk gambar walau satu halaman pun. “Duh, bagaimana ini? Apa aku minta bantuan Drew saja untuk membacakan yang tertulis di buku-buku ini?” Algren memang sempat berpikir demikian, tapi mengingat sudah banyak bantuan yang diberikan Drew padanya, seketika dia menggelengkan kepala. Menepis jauh-jauh pemikiran itu. Dia cukup tahu diri sehingga tak akan lagi menyusahkan pria baik hati itu. Algren mengembalikan buku-buku itu ke tempatnya semula. Kini dia kembali menelusuri rak yang lain. Karena saat berpapasan dengan siswa lain, reaksi mereka selalu sama yaitu menutupi hidung, Algren tahu ini pasti karena mereka tak nyaman dengan aroma tubuhnya yang tak sedap. Lagi-lagi dia merasakan kekesalan pada Eldron yang menjadi sumber kesialan dalam hidupnya. Algren memutuskan untuk mendatangi rak yang sepi. Rak yang jarang didatangi siswa lain. Pilihannya jatuh pada rak yang terletak paling ujung, di sana sangat sepi. Dia bahkan tak melihat ada satu pun siswa sedang mencari buku di sana. Algren tersenyum, merasa sudah menemukan tempat yang tepat. Setibanya di rak tersebut, Algren mulai menggulirkan mata untuk mencari buku dengan sampul Wyvern. Cukup lama dia menelusuri rak itu karena berbeda dengan rak lain, di rak tersebut nyaris tak ada buku dengan sampul gambar Wyvern. Sekarang dia paham rak ini begitu sepi, dia jadi sangsi akan menemukan buku yang dicarinya di sana. Namun, Algren tak mau menyerah semudah itu, dia tetap menelusuri rak, berharap akan ada buku yang dia cari, tak peduli meski hanya satu. Harapan Algren terkabul ketika akhirnya dia menemukan satu-satunya buku dengan sampul gambar sesosok Wyvern. Dengan sumringah, dia berniat mengambil buku itu. Tetapi … Algren tertegun ketika ada tangan lain dari seberang rak yang juga hendak mengambil buku, membuat secara bersamaan mereka memegang buku. “Eh, maaf. Aku pikir tidak ada orang di seberang rak.” Algren tertegun karena dia yakin baru saja mendengar suara seorang wanita. Sekarang bisa dia tebak siapa pemilik suara itu walau wajahnya belum terlihat karena terhalangi buku. Awalnya ingin mengalah dan memberikan buku itu pada orang tersebut, Algren mengurungkan niat dan dengan gesit menarik buku itu sehingga kini berada dalam pelukannya. “Hei, sopan sedikit bisa, tidak?” Algren mendengus, sudah dia duga pemilik suara itu memang si gadis menyebalkan, Edrea. Jika dia harus memperebutkan buku dengan gadis itu, tentu saja dia tak akan mau mengalah. “Kau!” Edrea memekik terkejut setelah mengetahui orang yang merebut buku itu darinya adalah Algren. Si r'akyat j'elata yang sok baik dan perhatian padanya. “Kembalikan buku itu padaku!” bentak Edrea marah. Sudut bibir Algren membentuk kurva berupa senyuman sinis, “Aku yang lebih dulu mendapatkan buku ini. Jadi aku yang lebih berhak. Buku ini milikku sekarang.” “Aku yang lebih dulu menyentuh buku itu. Kau yang sembarangan merebutnya.” Edrea tak mau kalah. “Tapi sekarang buku ini berada di tanganku. Jadi kau cari saja buku yang lain.” Edrea menggeram, terlihat luar biasa kesal. “Hei, ingat posisimu. Kau ini hanya rakyat rendahan. Berani sekali kau melawan bangsawan sepertiku.” Algren yang awalnya berniat pergi karena dia malas meladeni wanita bar-bar seperti Edrea, kini mengurungkan niat. Tangannya terkepal erat karena lagi-lagi statusnya yang hanya seorang r'akyat j'elata dipermasalahkan dan menjadi kelemahannya sehingga orang lain bisa menjadikan hal itu sebagai senjata untuk menjatuhkannya. Algren melayangkan tatapan tajam seolah sinar laser bisa keluar dari matanya, yang tertuju sepenuhnya pada Edrea yang sepertinya tidak terintimidasi sedikitpun meski dia tahu ucapannya berhasil menyulut emosi pria itu. “Selama ini aku memilih mengalah karena kau ini wanita. Aku tidak ingin kasar pada wanita, aku juga sempat kasihan padamu. Tapi ternyata memang benar yang dikatakan siswa lain, wanita sepertimu tidak layak berada di sini. Kau mau tahu kenapa? Karena wanita lebih baik diam saja di rumah dan menunggu ada pria yang mau menjadikanmu istri. Walau aku ragu ada pria yang mau melamar wanita kasar dan bar-bar sepertimu.” Edrea terbelalak, terkejut bukan main karena Algren begitu berani menghinanya. Seorang r'akyat j'elata yang biasanya memuja keturunan bangsawan kasta dua sepertinya, kini dengan berani menghinanya, Edrea tak bisa tinggal diam. “Heh, berani sekali kau menghinaku. Sudah bosan hidup?” Algren mendengus keras, “Aku tidak takut. Kau mau tahu alasannya?” Walau Edrea tidak merespons, Algren tetap melanjutkan ucapannya, “Karena di sini status kita sama. Kau dan aku sama-sama siswa di academy ini. Jadi tidak ada tuh namanya bangsawan atau r'akyat j'elata lagi. Jika kau tidak mau dihina, maka kau lebih dulu yang harus menjaga sikap. Jangan sembarangan menghina orang lain karena dihina rasanya tidak enak, bukan?” “Kau …” “Yang dia katakan tepat sekali.” Baik Algren maupun Edrea tersentak kaget mendengar suara yang tiba-tiba menginterupsi pertengakaran mereka. Begitu menoleh pada si pemilik suara, ternyata itu adalah Drew yang entah sejak kapan sudah berada di perpustakaan. Pria itu melangkah menghampiri Edrea yang berdiri berseberangan dengan Algren sehingga hanya rak buku yang memisahkan mereka. Lalu menyerahkan beberapa buku yang dia peluk pada gadis itu, “Ini, kau membutuhkan buku-buku ini, kan? Ambil. Dan biarkan buku itu menjadi milik temanku. Dengan begini masalah kalian selesai, bukan?” Edrea geram karena ada orang yang membela Algren. Namun, mengetahui status Drew yang lebih tinggi darinya, dia pun tak berkutik selain hanya bisa mengalah. Dia menerima semua buku yang diulurkan Drew padanya. “Terima kasih,” ucapnya seraya sedikit membungkukan badan sebagai bentuk sopan santun seorang gadis terhormat sepertinya pada pria bangsawan yang berkedudukkan lebih tinggi. Edrea melayangkan tatapan tajam pada Algren sebelum dia melenggang pergi meninggalkan dua pria itu. “Drew, kenapa kau memberinya banyak buku?” “Aku kasihan padanya. Aku yakin alasan dia memilih rak ini karena dia tidak mau berbaur dengan siswa lain yang semuanya pria. Lagi pula, dia itu seorang wanita. Sebagai pria seharusnya kau mengalah, Algren.” Algren berdecak, “Jika wanita lain pasti aku akan mengalah. Tapi jika itu dia, mana mau aku mengalah. Kau tidak dengar dia sangat sombong dan terus saja menghinaku?” Drew terkekeh, sebenarnya dia sempat mendengar pertengkaran kedua orang itu. “Kau pernah dengar tidak, katanya semakin banyak bertengkar hubungan akan menjadi semakin dekat? Jangan-jangan nanti kau dan dia menjadi dekat dan kau suka lagi padanya.” Algren melongo, sebelum kepalanya menggeleng dengan cepat untuk menampik ucapan Drew yang terdengar mustahil di telinganya. “Itu tidak mungkin. Hahaha … aku dan dia itu bagai air dan minyak, Drew. Kami akan selalu bermusuhan. Melihat wajahnya saja membuatku kesal jadi mana mungkin kami bisa menjadi dekat.” Drew mengangkat kedua bahu dengan santai, “Ya, siapa yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan nanti. Oh, iya. Ini untukmu.” Algren mengernyitkan dahi melihat sebuah amplop diulurkan Drew padanya, “Apa itu?” “Surat izin dari pengelola RKA. Mulai malam ini aku akan bertukar kamar dengan Lucian.” Algren tak pernah merasa selega ini seumur hidupnya. “J-Jadi … mulai sekarang kau yang akan menjadi teman sekamarku?” “Ya, begitulah.” Algren senang bukan main sehingga dia menunjukannya secara terang-terangan dengan bertepuk tangan heboh. “Sssssttt, jangan berisik. Ingat, kita sedang di perpustakaan,” ucap Drew memperingatkan seraya meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya sendiri. Algren yang menyadari baru saja melakukan kecerobohan pun bergegas membekap mulut. “Kau ini ya ceroboh sekali. Sudah membuat Eldron marah padahal dia itu Wyvern-mu. Membuat seorang gadis jengkel dan menganggapmu musuh, sekarang kau malah membuat semua orang di perpustakaan ini terganggu.” “Maaf, aku tidak sengaja.” Drew hanya menggelengkan kepala, “Sudahlah. Sekarang lebih baik kau teruskan membaca buku itu. Ingat tujuanmu datang ke perpustakaan ini. Aku pergi ke kamar dulu. Aku harus memindahkan barang-barangku.” Drew pun melenggang pergi tanpa menunggu respons Algren yang kembali memasang raut frustrasi karena kini kembali teringat pada masalah berat yang sedang dia hadapi. Algren bergegas membuka buku dalam pelukannya. Buku yang dia dapatkan setelah memenangkan perebutan yang sengit dengan Edrea. Satu demi satu halamannya dia buka, dengan harapan akan ada satu saja halaman berisi gambar yang akan menjelaskan tentang Wyvern. Sayang beribu sayang karena yang didapatkan Algren hanya kesia-siaan. Meski dia membuka sampai halaman terakhir, yang dia temukan hanyalah deretan huruf yang melihatnya saja sudah membuat Algren pusing dan mual karena tidak bisa membacanya. “Jika aku gagal dalam ujian pengetahuan besok, bagaimana ya?” Yang bisa dilakukan Algren sekarang hanya pasrah menerima takdirnya besok.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN