Nentuin Permainan

1480 Kata
Kini sesi piknik mereka telah beralih dari makan siang menjadi bersenang-senang dengan berbagai macam permainan yang biasa dilakukan oleh orang saat tengah melakukan kegiatan piknik. Namun, itu masih menjadi bentuk sebuah ekspetasi saja. Mereka belum benar-benar melakukanya, hal itu dikarenakan terhalang suatu kendala yang membuatnya menjadi buntu. Sudah hampir bermenit-menit lamanya mereka duduk dengan membuat lingkaran, untuk memikirkan sebaiknya permainan apa yang harus mereka lakukan pertama karena setiap orang punya pilihannya masing-masing. "Gimana kalau kita sama-sama mancing aja?" ucap Fika, mengajukan apa yang ingin ia main bersama dengan ketiga orang itu. Menurut Fika, memancing adalah suatu keseruan yang tiada tara. Pikirnya juga, rugi kalau ketiga orang itu tidak mau mencobanya barang sekali saja. "Gak mau. Gara-gara Bika, Andi jadi trauma buat pegang cacing," tolak Andi mentah-mentah. Sebenarnya, Andi tidak pernah takut sama hewan yang bernapas menggunakan kulit itu, tapi pada hari ini di mana Fika dengan sengaja dan teganya menaruh hewan tersebut di atas buku gambar tanpa sepengetahuan dari Andi sendiri, sontak hal itu tentu saja membuat Andi jadi benar-benar merasa terkejut. Jantung anak itu berdebar tak karuan, akibat ulah Fika yang jail tersebut. Kalau beneran bisa, sudah sedari dulu Andi menaruh bibinya itu untuk dipajang di aplikasi belanja online berwarna oranye itu. Biar tahu rasa sekalian. Dari sini dapat disimpulkan bagaimana diawal pertemuan Andi dengan Shania, gadis itu sempat dikerjain oleh Andi, hal itu sebenarnya karena diberi ajaran sesat oleh Fika sendiri. Jadi, jangan lagi salahkan Andi untuk hal itu, karena Shania yang menjadi korbannya saja mungkin sama sekali sudah tidak mengingatnya lagi. "Eittt ... Itu bukan salah Bika sepenuhnya, kalau kamu memang beneran berani kamu pasti gak akan bisa goyah ketika Bika ganggu," ujar Fika yang tidak ingin dirinya disalahkan, karena tujuannya bersama cacing tanah tadi itu cuma untuk mengejutkan Andi saja bukan membuat anak itu menjadi sungguhan takut. "Iya, memang gak sepenuhnya tapi yang dilakukan oleh Bika itu berperan besar tahu. Delapan puluh lima persen berbanding lima belas persen," balas anak itu yang berhasil mengembalikan perkataan Fika dengan tepat sasaran. Lihat saja, gadis itu sekarang ini terlihat bungkam karena belum menemukan kalimat yang pas untuk menyerang Andi balik. "Umm ... T-tahu d-ari mana kamu kalau angka perbandingannya segitu banyak?" ujar Fika beberapa detik kemudian, walaupun sebenarnya nada bicara gadis itu sedikit gagu. Fika tidak ingin dirinya kalah telak oleh Andi. Ayolah! Usianya sekarang ini sudah bisa dikategorikan sebagai wanita dewasa, Fika tidak ingin sebutan 'dewasa' itu dianggap tidak pantas untuk ia terima hanya karena tidak mampu untuk menjawab perkataan dari seorang anak kecil yang notabennya adalah keponakannya sendiri. Namun, dengan entengnya anak multitalenta itu menjawab pertanyaan Fika dengan hanya menunjuk otaknya saja, seolah otaknya itu adalah otak yang mirip sekali dengan Albert Einstein, seorang yang terkenal akan kecerdasannya. Fika hampir tidak percaya karena ternyata Andi benar-benar telah meremehkan dirinya, sedangkan di sebelahnya Shania dan Jean mati-matian menahan tawa menyaksikan bagaimana seorang Fika telah berhasil dinistakan oleh seorang anak kecil seperti Andi. Sungguh kejadian yang amat sangat mengenaskan. "Ahhh ... Tau ahhh ... Bika memang gak pernah bener di mata kamu," ujar Fika kemudian, seperti tengah merajuk. Namun, di dua detik kemudian raut wajah yang cemberut itu seketika menjadi cerah. Gadis itu mendapat ide yang menurutnya sangat menarik untuk mereka coba. "Gimana kalau kita main turth or dare aja," aju Fika lagi dengan sedikit antusias, seperti sebelumnya tidak pernah terjadi apa-apa pada dirinya. "Gak. Gua gak mau main yang gituan," tolak Shania menggunakan cara yang sama seperti Andi yaitu menolak mentah-mentah. "Kenapa gak? Seru tahu, udah lama juga 'kan kita gak main permainan ini lagi," ujar Fika sembari mengambil sebuah botol kosong bekas minuman mereka yang sudah di simpan di dalam ranjang tadi. Akan tetapi, mendadak saja Shania menghentikan itu sembari memberikan pelototan tajam padanya yang seketika itu berhasil membuat Fika susah payah salam menelan salviyanya. "Iya-iya. Gak bakal main deh. Sekarang udah bisa 'kan lepasin tangan gua, dan matanya itu gak usah terlalu sering melotot, ntar keluar sendiri baru tahu rasa Lo," putus Fika yang pada akhirnya memilih mengalah terhadap kemauan Shania. Fika tidak ingin mendapatkan tamparan transparan lagi seperti yang ia dapatkan dari Andi barusan karena ia hanya memiliki satu wajah saja. Itu tidak cukup apabila ia memberikan juga kepada Shania yang pastinya akan menampar dirinya dengan begitu keras. Shania seketika bernapas dengan lega karena telah berhasil memprovokasi Fika agar membatalkan pengajuan permainannya. Sebenarnya alasan Shania menolak permainan tersebut adalah karena ia takut Fika akan berulah lagi. Seperti yang terkahir kali ketika Shania dan Fika bermain truth of dare bersama dengan teman-teman kampus mereka dulu. Shania memiliki pengalaman tentang Fika dan permainan ini. Oleh karena itulah Shania takut apabila botol tersebut malah mengarah kepadanya. Bayangkan saja, jika Shania memilih untuk jujur Fika tentunya pasti akan menyudutkan dirinya menggunakan pertanyaan perihal orang yang disukai atau yang sejenisnya, tapi kalau dirinya memilih dare tentunya tantangan yang diberikan pasti tidak akan jauh berbeda dari pertanyaan seputaran kejujuran itu. Membayangkannya saja sudah membuat Shania merasa sangat merinding, apalagi kalau mereka benar-benar melakukan permainan itu. Apalagi mengingat ketika Fika yang memergoki aksinya saat tengah mengagumi Jean beberapa menit yang lalu, maka Fika nanti pastinya akan semakin menjadi jadi untuk mempermainkan dirinya. Sebenarnya Shania memiliki satu alasan lagi untuk menolak permintaan Fika barusan, alasan itu sangat mendasar. Menurut Shania sebuah permainan dapat dikatakan permainan apabila hal itu membuat mereka yang memainkan mereka menjadi senang. Bukan malah membuat orang yang memainkannya menjadi merasa tertekan karena terus dipaksa untuk mengatakan atau melakukan sesuatu yang menurut mereka sangat lah memberatkan. "Ini gak mau, ini juga gak mau. Yang kalian mau itu apa sih, bisa-bisa kita gak akan lakuin apa-apa kalau kalian kayak gini terus. Percuma jadinya kita jauh-jauh pergi piknik ke tempat ini tapi yang ada kita malah berdebat tanpa hasil untuk nentuin apa yang bakalan kita mainin, tapi kalau kayak gini terus, ujung-ujungnya malah bakal jadi sia-sia saja," ujar Fika panjang lebar seperti sebuah teks pidato yang panjang namun nyatanya hanyalah sebuah kalimat yang lumayan terbelit-belit. "Kak Jean?" Gadis itu menghadap ke pada Jean karena sedari tadi hanya laki-laki itu saja yang tidak mengeluarkan sepatah komentar pun. Jean hanya berbicara sekali saja dan satu kalimat saja, itu pun pada saat dia mengajukan untuk bermain catur meski pada akhirnya pendapat tersebut langsung ditolak karena menurut Fika itu adalah permainan yang membosankan dan dia tidak bisa memainkan permainan yang banyak melibatkan kemampuan otak tersebut. "Maaf mengganggu diskusi kalian, tapi kakak cuma mau mengingatkan kalau waktu kita di sini cuma tersisa satu jam aja. Karena di jam itu tempat ini akan di tutup dan kakak juga gak mau kita semua jadi harus pulang saat matahari sudah tenggelam," ujar Jean memberi tahu kebenaran ketika dirinya baru saja selesai melihat angka-angka di jam tangan yang ia kenakan. Tentu saja penuturan Jean itu membuat raut di wajah ketiga orang itu menjadi mengerut, tapi jika diukur pastinya Fika lah yang merasa paling kecewa. "Ya udah ... Sebaiknya kalian cepet nentuin mau main apa, biar gak keburu nanti," ujar Jean, berusaha membangkitkan suasana lagi. "Udahlah kak, aku rasa satu jam itu waktu yang dikit banget. Kita gak bisa lakuin apapun diwaktu yang singkat itu, belum lagi kita juga 'kan harus berkemas," ujar Fika, masih dengan raut kecewanya tadi. Andi cuma manggut-manggut saja, anak itu tidak merasa terlalu kecewa karena tadi ia sempat melukis tempat ini untuk di jadikan sebuah kenangan-kenangan. Sedangkan Shania sendiri tidak memberi komentar, karena ia merasa ucapan Fika itu ada benarnya. Sebuah kegiatan piknik menyenangkan yang ia idam-idamkan semenjak ia masih berada di rumah tadi tampaknya hanya akan berakhir seperti ini saja tanpa ada klimaksnya sama sekali. Sungguh amat sangat mengecewakan. Jean sebenarnya juga merasa menyayangkan tentang hal ini. Laki-laki itu terdiam sejenak. Sebelum sedetik kemudian ia berkata, "Laras, tolong ambilkan tas saya yang berwarna biru laut itu," ujar Jean sembari menunjuk pada Shania letak tas yang ia maksud karena kebetulan benda tersebut berada tepat di samping Shania. "Ini, Tuan," ujar Shania sembari menyerahkan benda itu kepada Jean. Melihat dari bentuk benda itu, Shania jadi tahu kalau isi di dalamnya pastilah sebuah alat musik yang bernama gitar. Namun, Shania tidak tahu kalau Jean juga membawa benda tersebut ke sini. Semua yang di sana memerhatikan secara seksama apa yang hendak dilakukan oleh Jean. Ketika Jean mengeluarkan alat musik itu dari dalam tasnya, sontak saja semuanya terlihat menyunggingkan sebuah senyuman yang amat manis sebagai pertanda kalau mereka tertarik dengan apa yang hendak dilakukan oleh Jean. "Kakak mau nyanyi?" tanya Fika begitu antusiasnya, jujur saja selama ini salah satu hal yang sangat ingin didengar oleh Fika itu adalah sebuah suara nyanyian dari kakaknya itu. Dulu, Fika pernah mendengar cerita kalau semasa SMA Jean pernah membuat sebuah grup band bersama dengan teman-temannya. Namun, tidak pernah sekalipun Fika mendengar kakaknya itu bernyanyi. Makanya hal itu menjadi sebuah misteri untuk Fika mengetahui seberapa baguskah suara yang dimiliki oleh seorang Jean Abirama. "Gak, kakak gak pengen nyanyi," ujar Jean dengan sebuah gelengan, sembari sibuk mengatur urutan nada gitarnya itu. Jawaban Jean tentu saja membuat Fika kebingungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN