Shania menarik napas dalam-dalam, melirik malas pada pemandangan di hadapannya sekarang ini. Ingin rasanya gadis itu meruntuhkan dunia agar seseorang yang ia sebut 'kebo' di hadapannya itu segera bangun dari tidur yang sudah kepalang hari itu. Bayangkan saja, setelah dirinya selesai mandi, berganti pakaian, sampai sudah siap untuk berkerja pun, masih tidak terlihat satupun tanda kalau Fika akan bangun.
"Fika, bangun?!" Ujarnya yang sudah keberapa kali. Namun, yang benar saja sahabatnya itu masih tidak menunjukkan adanya pergerakan secuilpun selain hanya menarik napas dan menghembuskannya dengan sangat santai. Pikir Shania, Fika sudah sangat layak disebut mayat hidup.
Kalau saja di sini adalah rumahnya sendiri, Shania tidak akan secerewet itu kepada Fika, malahan mungkin saja Shania akan ikut bergabung dengan gadis itu. Namun, karena ini adalah rumah Jean sekaligus tempat kerjanya, Shania tidak ingin melakukan itu karena memikirkan posisinya di sini sebagai apa.
Andaikan di kamarnya ini memiliki jendela yang menghubungkan mereka ke dunia luar, dapat dipastikan kalau matahari sekarang ini pasti telah berada di atas dan sinarnya dapat menembus kamar kecil Shania. Dengan begitu, Shania yakini sinar tersebut pasti dapat membantunya untuk mengusik kegiatan tidur Fika.
"Fika, bangun dong. Udah hampir jam delapan pagi tahu ini," ujarnya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Fika. Namun, sayangnya hal itu masih tidak dapat membuat Fika terusik. Gadis itu malah menutup sekujur tubuhnya menggunakan selimut.
Dengan hati yang geram, Shania kemudian menarik kasar bantal yang digunakan Fika kepada kepalanya. Ternyata ia membuahkan hasil ketika melakukan itu, meskipun ujungnya malah membuatnya jadi sedikit terpelanting ke belakang. Sayangnya, tidak berakhir di situ saja karena Fika tetap masih terlihat enggan untuk terbangun.
Bruk ... Bruk ...
Berkali kali Shania mendaratkan pukulan menggunakan bantal itu kepada tubuh sahabatnya, sembari berkata.
"Bangun, bangun gua bilang. Lo mau bikin gua kena darah tinggi ya," ujarnya tanpa henti memukuli Fika menggunakan bantal tersebut. Meskipun pukulan yang diberikan oleh Shania terkesan tidak menggunakan terlalu banyak tenaganya atau bisa dikatakan pelan, tapi hal itu nyatanya sukses membuat Fika menjadi terusik lantaran Shania terus menghujani gadis itu pukulan tanpa henti sampai dirinya benar-benar mendapatkan pergerakan dari gadis berpiyama Doraemon hasil pinjaman sang pemilik kamar itu.
"Shania, hari ini 'kan akhir pekan. Karena Lo adalah seorang gadis yang sangat baik, dan gua adalah sahabat Lo. Jadi, beri gua ijin buat nikmatin hari libur ini, dong. Please, ya" ujarnya masih dengan wajah bantal yang tebal.
Shania terlihat manggut-manggut setelah mendengar penuturan dari Fika barusan. "Ohhh ... Sekarang gua jadi ngerti. Lo milih nginap di sini dan rela bersempit-sempitan dengan gua di tempat yang kecil ini ternyata karena Lo punya maksud terselubung, 'kan. Ternyata Lo cuma mau ngehindarin omelan Mak Lo yang pasti gak bakalan biarin Lo tidur sampai siang, 'kan. Lo ternyata cuma mau manfaatin gua di saat gua lengah," ujar Shania dengan tatapan nyalang kepada Fika, dan berhasil membuat gadis yang tidak lagi merasa mengantuk itu jadi susah payah menelan salviyanya.
Dengan segera Fika meloncat dari atas kasur hanya untuk mendekat kepada Shania. Salah satu tangannya langsung meraih lengan Shania. "Shania, gak gitu. Lo salah paham, gak mungkin lah gua lakuin hal rendahan kayak gitu. Sumpah demi Upin Ipin, gua ke sini murni karena pengen ngabisin waktu sama Lo. Kalau gua bohong, gua gak akan pernah lagi nontonin kartun Upin Ipin," ujarnya sampai-sampai mengangkat kedua jari tangannya yang membentuk tanda piece tinggi-tinggi.
Shania langsung memalingkan mukanya, membelakangi Fika. "Gak nyangka gua, ternyata gua cuma dijadiin tempat pelarian aja sama sahabat gua sendiri. salah gua juga karena terlalu berharap sama orang yang gak pernah nganggap diri gua berarti," ujar Shania dengan tatapan sendu. Seolah tidak pernah mendengar sedikitpun pembelaan dari Fika itu.
Raut di wajah Fika semakin menunjukkan ketakutan, bahkan mungkin saja ia akan menangis di detik itu juga. "Shan, jangan ngomong gitu. Gua gak pernah berpikiran kalau Lo itu cuma tempat pelarian gua aja. Gua gak bohong," ujarnya yang mencoba mendekati Shania kembali tapi langsung ditepis oleh gadis itu.
Sama seperti Fika, Shania juga dekat dengan keluarga sahabatnya itu. Shania seringkali bertegur sapa dengan keluarga Fika saat dirinya berkunjung ke rumah gadis itu, ibu Fika rupanya sangat menyukai Shania. Mulai dari perangainya, sifatnya dan tutur katanya yang sopan terhadap orang tua, sehingga dia sangat percaya dan mendukung hubungan persahabatan Shania dengan anaknya itu, terlepas dari latar belakang keluarga Shania yang lumayan terpandang.
Berkat hubungan persahabatan Shania dan Fika yang semakin erat terbina, maka tidak jarang untuk ibu Fika sering meminta tolong kepada Shania untuk mengajari anaknya itu agar bersifat lebih feminim atau setidaknya dapat mencontoh setengah sifat baik yang dimiliki Shania itu.
Awalnya Fika merasa risih akan itu semua karena merasa dirinya selalu dibanding-bandingkan dengan Shania. Tapi lama kelamaan karena merasa nyaman terus diperhatikan oleh Shania seperti dianggap sebagai adik oleh sahabatnya itu, Fika pun merasa fine fine saja. Akan tetapi, hal itu bukan berarti Fika langsung mengubah sifat dan gayanya ke arah yang lebih baik sesuai yang dimiliki oleh Shania. Gadis itu hanya akan berperilaku seperti feminim di depan ibunya saja, meskipun itu sedikit. Tapi, ibunya tidak lagi merasa masalah karena berpikir perlahan-lahan Fika pasti akan mendalami perannya yang sebenarnya.
Namun, apabila Fika bersama dengan Shania, Gadis itu malah bersikap sebaiknya. Fika sering kali melakukan apa yang tidak bisa ia lakukan apabila dirinya berada di dalam rumahnya sendiri dan berusaha merayu Shania agar tidak bersikap seperti layaknya ibunya sendiri. Seperti tidur sampai siang ini misalnya. Sebenarnya Shania tidak ingin terlalu keras kepada Fika lantaran ia juga memahami bahwa Fika itu memiliki kehidupannya sendiri yang tidak baik apabila ada orang yang ikut campur terlalu jauh dalam menata kehidupannya, karena hal itu dapat membuat seseorang lupa akan jati dirinya sendiri. Namun, setidaknya Shania bisa memahami itu semua ketika ia masih berada di rumahnya, jauh sebelum insiden tentang perjodohan konyol itu menerpa kehidupannya.
Tapi, sekarang Shania tidak ingin memahami itu karena pikirnya orang yang harus memahami itu adalah Fika sendiri. Harusnya Fika paham betul tentang kesulitan dirinya, bukan malah memanfaatkan kesulitan itu untuk kepentingan diri sendiri. Selain alasan itu, sebenarnya Shania tidak mau Fika menjadi menganggap apa yang ibunya inginkan dan Shania lakukan adalah suatu hal sepele yang tidak terlalu penting untuk dilakukan. Walaupun Fika tidak benar-benar melakukannya, setidaknya Fika harus memiliki keinginan untuk melakukannya. Hanya itu saja.
"Di saat gua dalam keadaan sulit kayak gini pun, sahabat gua masih sempat-sempatnya berusaha buat manfaatin gua," ujar Shania lagi yang semakin menyayat hati Fika.
"Shania. Please jangan marah gitu dong. Iya gua ngaku kalau gua salah karena udah lakuin ini sama Lo. Jujur aja, tujuan gua gak sepenuhnya buat tidur nyenyak di sini kok, gua juga pengen dan kangen banget tidur bareng Lo lagi seperti yang kita sering lakuin dulu," ujar Fika yang nada suara seperti seseorang yang hendak ingin menangis, ia mencoba mengayunkan tangannya di lengan Shania, tapi lagi-lagi gadis yang sedang berada dalam mood yang tidak baik itu langsung menepisnya secara kasar dan terkesan bodoh amat dengan perkataan jujur yang dilontarkan oleh Fika.
"Gak sepenuhnya, berarti ada. Itu gak beda jauh sama orang yang manfaatin keadaaan demi kepentingan sendiri dengan dalih kalau itu adalah kepentingan bersama," kata Shania tanpa sedikitpun membalas tatapan Fika.
"Please, Shania. Maafin gua, gua mohon. Gua ngaku kalau gua salah, please jangan marah sama gua kayak gini."
Fika terlihat menunduk dalam. Fakta tentang Shania yang marah kepadanya membuat Fika sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Yang ia tahu adalah meminta maaf secara terus menerus agar Shania dapat melihat ketulusannya bahwa dirinya benar-benar merasa menyesal. Percaya saja satu hal, jika orang baik hati yang biasanya kalem pasti terlihat sangat menyeramkan apabila sudah marah dan itu berlaku untuk Shania.
"Udahlah, lo gak perlu minta maaf sama gua karena sebenarnya kesalahan Lo itu bukan ke gua tapi sama diri Lo sendiri. Sekarang Lo tenang aja, Gua gak bakal lagi terus-terusan jadi penasehat Lo yang pastinya buat Lo jadi gak nyaman. Gua sekarang bakalan bersikap bodoh amat sama apa pun yang Lo lakuin, karena percuma aja apa yang selama ini gua lakuin gak pernah ngaruh sama Lo. Mau Lo tidur sampai siang atau Lo tidur selama-lamanya pun, gua gak bakal lagi ngasih komentar," ujar Shania yang seperti benar-benar melakukan apa yang ia katakan.
Secara otomatis, perkataan Shania itu langsung saja menyebabkan cairan bening pada mata Fika menjadi keluar. Gadis itu menangis. "Shania ...." ucapnya lirih.
Tok ... Tok ... Tok ...
Suara pintu yang diketuk dari luar itu seketika berhasil menginterupsi interaksi mereka. Tanpa bertele tele, Shania segera berjalan mendekati muka pintu kamarnya untuk mencari tahu siapa yang telah mengetuk pintu tersebut.