Tidur yang terganggu

1508 Kata
Brak!!! "Akhhhh ...." Erang Shania yang merasa kesakitan. Untuk yang kedua kalinya, Shania terlempar lagi dari tempat tidurnya sendiri. Dan ini adalah untuk yang terakhir kalinya Shania akan mengalah, ia tidak bisa terus menerima perlakuan seperti ini terus. Shania tidak mau menahan kesabarannya lagi, ia akan bertindak tegas menangani penistaan yang dilakukan oleh Fika kepadanya itu. Sembari mendengus dan bersungut-sungut, Shania perlahan bangkit dari posisi terjatuhnya tadi. Gadis itu masih merasa sangat mengantuk karena sekarang juga waktu masih menunjukkan jam 1 dini hari, tapi di awal hari baru ini Fika sudah membuat emosinya tersulut. "Dasar kebo?!" Umpat Shania dengan guratan di lehernya. Gadis itu memandang begitu lekatnya posisi Fika yang menguasai ranjang tidurnya, bagaimana kaki dan tangan gadis itu melebar dengan begitu bebas di atas tempat yang bisa dikatakan tidak terlalu besar itu. Kalau saja ia tahu bahwa Fika belum mengubah kebiasaan tidurnya yang frontal, Shania pasti tidak akan merasa ragu untuk menolak permintaan sahabatnya itu yang ingin menginap di sini. Di kasus pertama, rasa nyeri di tangannya masih belum tuntas menghilang, tapi sekarang Fika sudah menambah rasa nyeri itu lagu pada lutut kakinya. Dapat dipastikan ketika pagi nanti, warna biru yang keunguan pasti akan menghiasi lengan dan kakinya itu. Kemudian, dengan sedikit langkah kasar ia berjalan mendekati ranjangnya kembali. Tangannya terulur menyentuh tubuh Fika, bukan bermaksud untuk membalaskan dendamnya kepada gadis itu dengan cara menjatuhkannya juga melainkan menggesernya sedikit lebih ke dalam. Meskipun tubuh Fika itu bisa dikatakan tidak terlalu besar dan berisi, akan tetapi percayalah kalau Shania kini terlihat sedikit merasa kepayahan untuk menggerakkan tubuh gadis yang tidurnya sambil ngorok itu. "Huhhhh ...." Shania menghela napas sebentar setelah berhasil membuat sahabatnya itu menjadi tergeser menjadi dua senti dari tempatnya semula. "Benar-benar deh. Makan apa sih nihh anak, berasa lagi mindahin dua gajah aja gua," ujarnya sembari memutar bola mata dan menggelengkan kepalanya. Setelah beristirahat setidaknya lebih dari dua puluh detik lamanya, Shania kembali melanjutkan aksinya yang belum terselesaikan tadi. Sebelum itu ia mengumpulkan semua tenaga yang ia miliki dengan satu kali tarikan napas. Dan ... "Berhasil juga!" Sebuah garis panjang langsung melengkung di bibir mungil milik Shania, gadis itu merasa senang atas pencapaian yang baru saja ia dapatkan. Kini, wajah Fika terlihat bertempelan dengan tembok dinding, hampir seperti mencium material itu saja. Namun, yang membuat Shania merasa kagum adalah karena gadis itu tidak menjadi terbangun atas apa yang telah Shania lakukan pada tubuhnya. Kalau saja Shania yang berada ke dalam posisi Fika, dapat di pastikan gadis itu pasti langsung memelekkan kedua matanya di detik itu juga. Membuat Shania berpikir kalau Fika itu benar-benar pantas didefinisikan sebagai tidur kebo. Lupakan tentang Fika, karena sekarang Shania telah mencapai tujuannya yang sebenarnya. Dengan sebuah senyuman yang terpatri, gadis itu menarik semua bantal dan selimut yang berada di atas ranjang yang telah terbebas dari kuasa Fika, kemudian gadis itu tempatkan di atas tikar yang baru saja ia hamparkan di samping ranjang tidur itu. Ya, Shania lebih memilih menjadikan tikar sebagai alas tidurnya walaupun hal itu mungkin terasa kurang nyaman, tapi yang terpenting bagi Shania dengan begitu ia bisa menghindari cedera-cedera lain yang mungkin ia dapatkan lagi apabila terus bergabung dengan Fika yang bahkan sampai sekarang belum juga menyadari apa yang telah dirinya perbuat pada orang yang sudah menampungnya di kamar ini. Sebelum ia benar-benar merapikan tempat tidur barunya itu, Shania terlihat terkekeh kecil ketika mendapati bagaimana posisi Fika yang tertidur dengan nyenyak. Bibirnya memang mencumbui dinding, tapi nyatanya hal itu tidak berhasil untuk membuat gadis itu untuk berhenti mengorok. Lucu saja, bahkan kedua kakinya saja di tekukkan, tampak seperti bayi yang tertidur. Sepertinya Shania harus bangun lebih pagi lagi nanti untuk membersihkan alas kasur yang mungkin ditetesi oleh genangan air liur milik Fika. Kemudian Shania mengambil kembali selimut yang telah berada di atas tikarnya tadi untuk di tempatkan kembali dengan benar di atas tubuh Fika. Shania tidak mungkin sejahat itu kepada sahabatnya sendiri. Meskipun ia sedikit merasa kesal pada Fika yang walaupun sedang tidur, itu bukan berarti rasa kasih sayang Shania padanya akan menghilang. Barulah setelah itu Shania menyamankan dirinya di atas tikar yang sudah ia hantarkan dan rapikan tadi. Gadis itu tidur dengan memeluk tubuhnya sendiri untuk mengurangi rasa dingin yang sedikit menjalar pori-pori kulit tubuhnya. Shania lebih rela dirinya yang merasa kedinginan dibandingkan membuat Fika yang menderita. Shania hanya berharap, semoga saja setelah ini ia bisa tertidur dengan nyenyak tanpa adanya dorongan dari Fika lagi yang membuatnya jatuh dari ketinggian ranjang, serta suara Fika yang mengorok karena sekarang Shania telah menutupi habis wajah Fika menggunakan selimut tadi. Biarkan saja Fika kesulitan bernapas, toh ujung-ujungnya pun gadis itu nanti pasti bisa terbangun dengan sendiri untuk memperbaiki posisi tidurnya. ***** Drett ... Drett ... Suara dering dari sebuah ponsel yang berada di atas nakas tersebut secara otomatis berhasil membuat Fika tertarik dari mimpi indahnya, sebenarnya ia sudah berusaha mengabaikan bunyi yang diciptakan oleh benda pipih itu untuk membiarkan Shania sendiri yang mematikannya. Namun, sudah berselang selama bermenit-menit tapi tidak terlihat juga adanya pergerakan dari Shania. Sehingga, mau tidak mau terpaksa Fika sendiri yang harus mengatasi permasalah itu agar ia bisa melanjutkan mimpi tidurnya walaupun gadis itu yakin kalau fajar sebenarnya sudah meniba. Dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya, gadis itu meraih handphone yang tidak ia ketahui milik Shania atau miliknya. Namun, ketika ia sudah menyentuh benda itu terasa berbeda dari miliknya sendiri yang artinya handphone itu adalah milik Shania. Baru saja ia hendak mematikan dering yang ia pikir adalah sebuah alarm itu, tangan Fika seketika menggantung di depan layar bertepatan dengan dirinya yang telah dipenuhi oleh kesadaran. "Alfin Karenda," ucapnya, membaca sebuah nama yang tersemat di layar handphone milik Shania. "Ini bukannya cowok yang kemarin, 'kan? Ngapain nihh anak nelpon sepagi ini. Gangguin tidur aja," ucapnya dengan nada malas dibumbui dengan sedikit kekesalan yang kentara. Awalnya ia berniat untuk mematikan telpon tersebut, tapi setelah ia pikir matang-matang sebenarnya ia cuma harus membangunkan Shania yang baru disadari olehnya ternyata tertidur di lantai dengan beralaskan sebuah tikar yang tipis. "Shan, bangun. Ada telpon buat Lo," ujarnya sembari menggoyangkan tubuh orang yang sedang ia bangunkan. "Ukhhh ...." Shania cuma meresponnya dengan menyingkirkan tangan Fika jauh-jauh dari tubuhnya dan dalam keadaan mata yang masih terpejam. Fiak mencebik, tapi tidak membuatnya menyerah. Tangannya kembali menggoyang-goyangkan tubuh Shania, kali ini dengan sedikit bertenaga. Dan, alhasil Shania berakhir benar-benar menjadi terbangun. "Apaan sihh, Fik. Dari semalam Lo gak pernah biarin gua tidur dengan nyenyak," ujar Shania menggunakan nada dan raut yang kentara sekali dengan kekesalan. Namun, meskipun begitu ujung-ujungnya Shania tetap mau bangun dari tidurnya. "Ini, ada telepon buat Lo," ujar Fika kemudian. "Telepon?" tanyanya sedikit bingung, Fika mengangguk. Setelah Shania menerima benda pipih tersebut, Fika tahu-tahunya melanjutkan kembali mimpinya yang sempat tertunda kembali dan hal itu membuat Shania mencebik. Shania kembali menatap layar ponselnya, melihat nama 'Alfin Karenda' yang terpampang jelas di layar handphonenya itu membuat gadis itu lagi dan lagi menggerutkan keningnya. Dengan segera, ia menggeser ikon panggilan ke warna hijau. "Hallo, Shania. Lo sekarang ada di mana? Apa ada sesuatu yang terjadi sama Lo? Atau Lo ada dalam masalah?" Baru saja Shania hendak menempelkan benda tersebut pada kupingnya, suara Alfin di sebrang sana langsung menusuk-nusuk telinga gadis itu dengan sangat tajam. "Alfin, maksudnya apa? Gua gak kenapa-kenapa kok dan sekarang gua juga ada di rumah," ujarnya yang masih menahan efek samping dari telinga yang berdengung tadi. 'Malahan jujur aja telepon Lo yang buat gua ngerasa gak baik-baik aja karena ganggu tidur gua' batin Shania yang sangat ingin ia lontarkan kalau saja tidak memikirkan perasaan Alfin. "Lo ... Gua pikir sesuatu terjadi sama Lo karena gak balesin chat yang gua kirim semalam," balas Alfin kemudian yang kali ini menggunakan nada yang lumayan bersahabat. Kening Shania menggerut. Seketika itu ia langsung mengingat pesan yang sempat ia baca dari Alfin semalam, tetapi lupa untuk dibalas olehnya. Shania jadi tahu kesalahan apa yang telah ia perbuat makanya kesalahpahaman inipun jadi muncul. Tapi ... Tunggu dulu, kenapa Alfin bisa berpikiran seperti itu hanya karena dirinya tidak membalas pesan yang dikirim olehnya. Apakah ini tidak terlalu berlebihan? Sebelum menjawab, Shania menguap terlebih dahulu. "Ohh ... Maaf, Alfin. Gua semalam ketiduran, jadi lupa buat balesin chat Lo," bohong Shania yang sebenarnya tidak ingin memperumit keadaan yang malah bisa membuatnya harus menjelaskan sedetail mungkin tentang apa yang terjadi. "Ohh ... Begitu ya. Gak apa-apa, seharusnya gua yang minta maaf karena terlalu overthingking jadinya malah gangguin tidur Lo," ujar Alfin terdengar adanya nada penyesalan di sana. "Ya udah. Karena Lo udah tahu yang sebenarnya, jadi gua matiin telponnya ya. Gua masih ngantuk." Setelah mendengar balasan dari Jean yang menyetujui permintaannya itu, Shania lalu mematikan sambungan telepon mereka. Baru saja ia hendak menyimpan kembali benda elektronik itu di atas nakas nya, mata gadis itu mendadak saja terbelalak dengan sempurna. Empat angka yang berada di layar handphonenya lah yang menjadi pelaku utamanya, di mana angka-angka tersebut menunjukkan jam 05.35. Gadis itu harus segera bangun karena sekarang ini ia sangat terlambat. Shania langsung saja membuang handphonenya dan beralih kepada Fika untuk membangunkan gadis itu juga. Jujur saja, semenjak berkerja di sini Shania tidak pernah bangun seterlambat ini. Jadi, wajar kalau ia merasa dunia seperti akan runtuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN