Pertemuan kedua kalinya

1560 Kata
Shania masih diam memaku, menatap lamat sosok pria di hadapannya ini. Sementara, pria itu masih setia tersenyum menatap Shania untuk menunggu respons dari gadis itu. Alih-alih mendapatkan respons, ia malah mendapati kalau wajahnya bersemu merah lantaran Shania masih menatapnya dengan serius. Mungkinkah ia malu? Andi yang berdiri di tengah-tengah mereka berdua meruncingkan matanya lantaran merasa tidak suka dengan tatapan yang diberikan oleh pria asing itu kepada kakaknya. Ia juga tidak menyukai karena Shania yang terlihat hanya diam saja. "Permisi, maaf. Kayaknya Kakak salah orang deh. Ini bukan Kak Shania tapi Kak Laras. Namanya Laras," ujar Andi mencoba membenarkan apa yang menurutnya salah. Shania? Ia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Alih-alih menatap Andi yang mengajaknya berbicara, pria itu malah masih memfokuskan dirinya pada Shania. "Shania, Lo gak ingat gua?" tanyanya lagi, seolah-olah tidak terpengaruh dengan penuturan anak kecil padanya tadi. Sontak Shania tertarik dari keterpakuannya. Dengan kening yang masih menggerenyit, gadis itu berlanjut berkata. "Maaf, Lo siapa ya? Gua rasa kita memang pernah ketemu, tapi gua lupa sama nama Lo," ujar Shania yang masih mencoba mengingat. Seketika itu senyum di wajah laki-laki itu perlahan memudar. Sedikit kecewa karena menyadari kalau orang yang selama ini terus mengisi ruang pikirannya, sampai ia sendiri kesulitan dalam melupakan orang tersebut, malah sama sekali tidak mengingat namanya. "Yahhh ... Padahal gua masih ingat banget sama Lo dan kejadian pertama kali gimana kita bisa ketemu, tapi ternyata Lo yang gak ingat sama gua," ujar pria itu sarat akan kekecewaan. Perkataan pria itu membuat Shania merasa tidak enak hati. "Gak, bukan gitu. Sebenarnya gua ingat sama muka Lo itu, tapi gua lupa sama nama Lo," ucapnya. "Inisial nama Lo itu 'kan A.... A.... A apa sih," lanjut Shania yang kesal pada dirinya sendiri karena sulit mengingat hal yang sederhana seperti ini. Ia tidak mau dirinya dianggap sebagai seseorang yang m sudah tua karena cepat melupakan sesuatu. "Alfin, gua Alfin Karenda," ungkap pria itu yang cepat tanggap, seketika berhasil menghilangkan rasa gusar di hati Shania. "Nahhh ... Iya, Alfin. Orang yang bilang gua maling sepeda itu 'kan?" Ujar gadis itu terlampau senang. Sedangkan si Alfin itu langsung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena malu mengingat fakta tersebut. Bisa-bisanya ia menuduh gadis yang baik hati serta cantik seperti Shania ini sebagai seseorang yang mengambil barang orang lain tanpa perijinan pemilik barang tersebut. "Heheh ... Iya. Sekali lagi gua minta maaf tentang kesalahpahaman itu," ujar laki-laki itu kemudian. Shania terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gak apa-apa, gua juga ngerti tentang posisi Lo waktu itu. Lagian kesalahpahaman itu 'kan udah kita selesain secara baik baik, kalau enggak kita gak bakalan bisa saling tegur sapa kayak gini," kata gadis itu. Alfin seratus persen menyetujui pendapat Shania tersebut. Jujur saja, kalau waktu terulang lagi laki-laki itu tidak akan pernah kapok untuk tetap menyebut Shania sebagai 'maling sepeda' karena dengan begitu ia jadi bisa mengenal dan dekat dengan gadis seperti Shania. "Ohh iya, tunggu dulu," ujar laki-laki itu yang langsung beralih tatapan dari Shania dan membuka resleting tasnya. Shania tahu kalau Alfin hendak mengambil sesuatu yang entah apa itu. "Ini," ujar laki-laki itu sembari menyerahkan sebuah benda yang berkilauan dan berwarna emas. Shania terhenyak menatap apa yang ada di tangan Alfin, ia langsung meraba lehernya, kemudian ia mendapati kalau leher jenjangnya itu sudah lapang, tidak ada apapun lagi di sana. "Ini 'kan liontin gua. Gimana bisa ada di Lo?" tanyanya yang langsung mengambil alih benda tersebut dari tangan Alfin yang masih setia mengarah ke padanya. "Lo masih ingat sama maskot yang nolong Lo saat Lo hampir jatuh tadi, 'kan? Nahh sebentar itu gua. Gua nemuin liontin ini di tanah bertepatan dengan Lo yang udah pergi," ujarnya, menjelaskan. Ia tadi sempat membuka liontin tersebut dan menjadi tahu kalau di dalam sana terdapat sebuah foto yang menurutnya sangat penting bagi Shania. Oleh sebab itulah ia tadi berusaha untuk mencari gadis tersebut, sehingga menyebabkan dirinya berakhir di sini. "Jadi, maskot yang nolong gua tadi itu Lo?" Ulang Shania hampir tidak percaya dengan fakta itu. Tapi ketika melihat sebuah kepala kostum boneka yang tengah dipegang cowok itu membuat Shania menjadi percaya karena kepala itu memang terlihat mirip seperti kepala maskot yang ia lihat beberapa menit yang lalu. Seketika Alfin tampak menganggukkan kepalanya sekali. Shania tidak bisa menutupi rasa bersyukurnya. "Ya ... ampun. Makasih banyak, Fin. Gua gak tahu gimana jadinya kalau gak ada lo tadi. Liontin ini pasti gak akan kembali sama gua lagi." Gadis itu terlihat memeluk erat liontin itu, seakan-akan ia tidak ingin kehilangannya barang sedetikpun. "I-iya, sama sama," ujarnya. Yang entah kenapa terus menunduk sedari tadi saat Shania mengajaknya berbicara. Kedua tangannya juga terus ia gosokkan. Bertepatan dengan itu, Fika yang sudah menyelesaikan permainannya langsung menghampiri Shania. Alisnya langsung terangkat kala ia melihat orang asing yang diajak oleh Shania berbicara. Gadis yang rambutnya terikat satu itu langsung saja melihat penampilan laki-laki itu dari atas hingga bawah. Memakai kacamata bulat, kulit yang putih yang teraliri oleh kering, bobot tubuh yang kelihatan tidak terlalu berisi, rambut yang tertata rapi melebihi jalanan aspal, serta gaya pakaian yang tidak terlalu mencolok dengan . Semuanya tidak ada yang luput dari perhatian Fika. Kemudian atensi Fika beralih pada sahabatnya sendiri, "Siapa?" tanyanya pelan, sembari menyikut tangan Shania. Shania menoleh pada Fika yang baru ia sadari sudah berada di sini. "Ohh ... Ini Alfin. Alfin kenalin ini Fika, sahabat gua," ujar Shania memperkenalkan keduanya secara bergantian. "Ohhh ... Alfin ya?" Fika terlihat menyeringai pada Alfin sedangkan Alfin sendiri mengangguk sambil sekali-sekali melirik pada Shania kembali. "Kalau gitu, kami permisi dulu ya, Fin. Soalnya masih mau lanjut main," ujar Shania yang berniat untuk pamit karena sesuai rencana mereka di awal bahwa permainan akan terus berlanjut. Namun sayangnya ucapan Fika malah menginterupsi niatnya itu. "Mumpung kita 'kan udah ketemuan dan kenalan juga... Kalau gak keberatan, gimana kalau Lo gabung main sama kita aja?" Tawar Fika yang seketika menarik perhatian Andi maupun Shania. Alfin seketika tersenyum sumringah mendengar tawaran yang diberikan oleh Fika tersebut. Baru saja ia akan menjawab, tapi Shania sudah mendahului dirinya. "Kek nya gak bisa deh, Fik. Soalnya Alfin di sini juga karena ada kerjaan, nanti malah ganggu kerjaannya dia," ujar Shania yang mengerti tentang keadaan Alfin sekarang ini. Namun, ujaran Shania itu malah memperoleh gelengan dari laki-laki berkacamata bulat itu. "Gak kok, gua gak masalah. Bentar lagi kerjaan gua udah selesai, kalian tunggu di sini sebentar ya. Gua mau ngembaliin kostum maskot ini dulu." Alfin langsung bergegas untuk cabut dari sana tanpa mendengar terlebih dahulu tanggapan Shania dan yang lainnya. Alhasil ketiga orang yang di tinggalkan hanya menatap cengo kepergian laki-laki itu dan mau tidak mau harus tetap berada di sini untuk menunggu Alfin yang katanya akan kembali lagi. Alfin tidak berbohong, ia sebenarnya memang sudah menyelesaikan pekerjaan paruh waktunya ini beberapa menit yang lalu. Namun, karena berusaha untuk mencari pemilik dari liontin inilah makanya laki-laki itu terpaksa menunda untuk mengembalikan kostum yang menjadi salah satu alat untuk ia mendapatkan uang itu. "Gebetan Lo ya?" Fika bertanya tetapi bermaksud menggoda. Pupil mata Shania seketika melebar ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut Fika. "Gebetan? Gebetan dari mana? Suka ngaco Lo kalau ngomong. Orang gua juga baru kenalan sama dia," ujar Shania mengatakan yang seadanya. "Tapi, gak menutup kemungkinan 'kan kalau Lo bakalan ada rasa su—" Ucapan Fika itu terpotong, tapi bukan Shania yang memotongnya melainkan seorang anak yang kehadirannya sudah seperti tidak dianggap lagi. "Kak Laras belum jelasin sama aku kenapa orang aneh tadi manggil Kakak dengan nama Shania?" Ya, akhirnya anak itu memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan yang sedari tadi mengusik hati dan pikirannya. Shania dan Fika kemudian saling melempar pandang. Merasa kebingungan harus menjawab apa mengenai pertanyaan Andi itu. "Ummm ... Gini sebenarnya, sebenarnya Kak Laras itu—" Shania segera menyela Fika yang hendak menjawab untuknya. "Tuan Muda, gak ada yang aneh dan yang kakak tutupi dari kamu tentang nama Kakak. Sebenarnya nama panjang kakak itu adalah Shania Laras Puji Prasetyo, jadi wajar saja kalau dia manggil Kakak dengan sebutan Shania karena itu nama depan kakak," jelas Shania. Setelah ia pikir-pikir lagi sebelumnya, tidak akan jadi masalah lagi untuk Shania mengatakan kepada Andi tentang nama aslinya karena tahu sendiri kondisi keluarganya sekarang seperti apa. Awalnya alasan Shania ingin menutup identitasnya karena tidak ingin tempat persembunyiannya diketahui oleh keluarganya, tapi ia rasa sekarang hal itu tidaklah penting lagi. Andi terlihat belum puas dengan jawaban Shania barusan. "Tapi, kenapa kakak gak pernah ngasih tahu itu sama Andi. Malah orang asing yang baru kakak kenal yang tahu itu." Shania dan Fika kemudian saling pandang lagi, mereka berdua sekarang sama-sama berpikir apakah anak di hadapan mereka ini sebenarnya sedang merasa cemburu kepada Alfin. Shania terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang bisa memuaskan Andi agar anak itu tidak terus mempertanyakan tentang ketulusannya lagi. "Tuan Muda, sebenarnya nama panggilan Shania itu umum dan banyak digunakan oleh orang lain kepada Kakak, sedangkan nama Laras itu hanya digunakan oleh orang-orang yang dekat dengan kakak saja, seperti kamu dan Bika kamu itu," ujarnya sembari menunjuk Fika. "Jadi, kamu gak perlu merasa khawatir lagi. Tenang saja, hanya orang tertentu yang kakak ijinin buat manggil kakak dengan nama Laras," lanjutnya. Sekarang, raut di wajah Andi tampak menghalus. Mungkin perasaaan cemburu itu sudah berangsur menghilang karena ucapan Shania barusan. "Berasa lagi liat seorang anak yang memergoki ibunya yang selingkuh, dan ibunya lagi berusaha buat jelasin kalau semua itu cuma kesalahpahaman aja. Terharu banget gua," ucap Fika yang mulai mendramatiskan suasana, sampai-sampai berpura-pura mengelap air mata yang sebenarnya tidak ada. "Fika!" "Bika!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN