cuma bercanda

1086 Kata
Shania keluar dari ruangan Jean, tentunya dengan hati yang sudah melega. Ternyata ia tadi hanya menghawatirkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu ia khawatirkan. Tidak sedikitpun Jean memiliki niat untuk memecat Shania, gadis itu sudah memastikannya dengan bertanya langsung kepada sang tokoh utama. Jean tahu kalau sebelum Shania bekerja sebagai pengasuh untuk anak nya, sebenarnya gadis itu adalah seorang mahasiswa yang terpaksa menghentikan pendidikan nya karena permasalahan ekonomi dan Shania sendiri yang menceritakan kisah itu. Padahal cerita aslinya sama sekali tidak berkaitan dengan masalah perekonomian. Meskipun ada rasa bersalah karena telah berbohong, tapi tidak pernah sekalipun Shania duga kalau Jean memiliki niat baik untuk membiayai kuliahnya. Jean memang definisi manusia yang sangat baik. Namun, meskipun begitu Shania terpaksa menolak niat baik dari laki-laki itu, karena membayangkan akan ke kampus saja sudah membuat Shania sangat takut sebab besar resikonya untuk ketahuan apabila ia berada di tempat tersebut. Jean sempat memaksa, tapi Shania bersikukuh untuk menolak dan tentunya menggunakan kata-kata yang halus agar tidak membuat Jean tersinggung. Ketika berjalan keluar, Shania melihat keberadaan pak Orman yang berjalan mendekat dari ujung lorong. Seketika itu Shania berkacak pinggang, menatap dengan fokus dan tajam orang tua itu. Shania ingin membuat perhitungan kepada pak Orman, lantaran orang tua itu tadi sengaja membohonginya tentang masalah pemecatan. Sambil tertawa Jean menjelaskan kepadanya kalau sebenarnya pak Orman sendiri tahu alasan kenapa Jean memanggil Shania ke ruang kerjanya, jadi fiks orang tua itu menganggap senam jantung yang Shania alami hanya sebatas candaan saja. Namun anehnya si pak tua tersebut tahu-tahunya berjalan berbelok ke kiri, padahal jelas-jelas Shania rasa kalau orang tua itu ada melihatnya tadi. Shania terkekeh kecil dalam hati, berpikir apakah sebenarnya orang tua itu takut menemuinya setelah Shania tahu kebenaran yang sesungguhnya? ***** Andi terlihat duduk tegap dengan mata yang fokus memerhatikan guru yang menjelaskan materi pelajaran matematika dasar. Namun, anak perempuan yang duduk tepat di bangku belakangnya itu tampak tidak ingin membiarkan Andi merasa tenang dalam meresapi ilmu pengasihan dari ibu guru mereka. Andi sudah berusaha untuk mengabaikan kelakuan Adel yang tanpa henti-hentinya mengajaknya berbicara meski tahu kalau guru yang mengajar itu sebenarnya adalah tipe guru yang garang. Andi tidak ingin terkena masalah hanya karena anak cerewet yang duduk di belakangnya itu. Untuk menarik perhatian Andi, usaha yang dilakukan Adel lumayan beragam. Mulai dari menggoyang-goyangkan kursi Andi agar anak laki-laki itu mau meresponnya, menarik kerah belakang baju seragamnya, sampai pada tahap menulis di kertas yang kemudian digulung dan dilemparkan ke depan meja Andi. Sayangnya Andi masih bersikap tenang dan dingin. "Prince, liat sini dong. Aku mau nanya tahu," kata Adel dengan bibir yang mengerucut. Semua meja dan kursi murid di tempatkan oleh masing-masing satu murid, jadinya tidak ada murid lain yang merasa terganggu atas perbuatan Adel selain hanya Andi saja. Adel belum menyerah, disobek nya lagi lembaran buku miliknya sendiri. Dengan lancar, tulisan seperti ceker ayam khas seorang anak SD berhasil Adel cantumkan di satu lembar kertas yang ia sobek tadi. Ia buat lembaran tersebut menjadi gulungan, kemudian dilemparkan ke meja Andi. Namun, tanpa membaca Andi melemparkan kembali gulung tersebut ke arah Adel. "Adelia Asyila dan Andi Abirama, kenapa tidak memperhatikan penjelasan ibu? Kalian malah sibuk sendiri, maju kalian berdua dan kerjakan soal di papan tulis!" Rupanya Bu Kartina menyadari perbuatan Andi dan Adel. Dengan wajah garangnya ia meminta kedua anak itu untuk maju dan menjawab soal pecahan desimal yang menjadi materi pengajarannya hari ini. "Ini gara-gara kamu, Andi. Coba aja kamu langsung dengerin kata aku, Ibu kucing garong itu gak bakalan marahin kita," ucap Adel yang malah melimpahkan kesalahannya kepada Andi, tapi Andi tidak membalas perkataan anak perempuan itu. Ia hanya menatap Adel dengan ekor matanya, kemudian bangkit berdiri untuk melaksanakan perintah dari ibu Kartina. Hal itu membuat Adel tambah mengomel. "Adelia Asyila! Kamu gak denger Ibu bilang apa tadi!" tegur guru perempuan yang tubuhnya gembul itu. Karena takut dengan wajah seram yang ditunjukkan oleh guru tersebut, segeralah Adel bangkit dari kursinya, menyusul Andi di depan. Termasuk ke dalam jejeran anak pintar, bukan masalah besar bagi Andi untuk menyelesaikan persoalan pecahan desimal yang ada di depannya. Padahal belum juga Adel selesai mengamati soal yang harus ia kerjakan, tapi Andi sudah menyelesaikan soalnya dengan sangat cepat dan baik. Anak itu kemudian menghampiri Bu Kartina yang duduk di kursinya untuk melapor. Bu Kartina menilai jawaban Andi, dan itu seratus persen benar. Guru dengan rambut sebahu itu tersenyum ke arah Andi. "Kamu memang gak pernah buat Ibu kecewa, Andi. Sekarang kamu boleh duduk," kata guru itu dengan sangat ramah. Andi lalu menganggukkan kepalanya, berlanjut menghampiri mejanya sendiri. Sudah menjadi hal biasa bagi Andi dipuji seperti itu, sehingga ia tidak merasa terbang melayang. Sementara itu, Adel melihat Andi dengan iri karena sudah dibolehkan duduk sedangkan ia tidak. Anak itu sama sekali belum membuat spidol di tangannya menyentuh papan tulis. Ia sendiri dibingungkan dengan angka-angka di depannya. Jika di suatu kelas ada murid yang paling pintar, pastinya akan diikuti oleh murid yang berlawanan dari itu, dan sayangnya murid yang seperti itu didefinisikan untuk Adel. Selama ini anak itu tidak terlalu pandai dalam bidang ilmu pengetahuan, tapi hal itu masih berada di dalam batas kewajaran karena kebanyakan anak kecil biasanya lebih suka bermain dari pada belajar. "Kenapa bengong? Ayo kerjakan soalnya," kata Bu Kartina memerintah lagi. Adel kemudian mulai mencoret papan tulis itu. Ia tulis kemudian hapus, tulis lagi kemudian hapus lagi, begitu seterusnya. Melihat apa yang dilakukan Adel, membuat Bu Kartina menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dihapus melulu, kapan selesainya coba? Sudah tahu tidak pandai, tapi beraninya gangguin anak terpandai di kelas ini. Pasti kamu yang duluan merusak konsentrasi Andi tadi?" Ucap guru itu, bertanya tapi lebih ke arah menuduh. Adel hanya menundukkan kepalanya. Ingin rasanya ia menangis, karena dimarahi seperti itu. Tapi karena takut dikatain cengeng oleh teman-teman sekelasnya, Adel berusaha agar air mata yang ia bendung tidak keluar. "Sudah-sudah. Kamu kembali saja sana, di tempat duduk kamu. Membuang-buang waktu saja," lanjut Bu Kartina. Dengan masih menunduk, ia berjalan menuju mejanya. Ketika melewati Andi, ia menatap anak laki-laki itu dengan menyeringai. "Anak-anak, Ibu tegaskan kembali ya. Kalian jangan contoh perilaku seperti Adel karena itu tidak baik, kalian mau hidungnya dicucuk kayak kerbau? Tapi kalau kalian pintar dan sering juara kelas seperti Andi itu tidak akan terlalu jadi masalah." Ucapan Bu Kartina seketika memicu tawa semua murid dan itu membuat Adel tambah menunduk juga malu. "Ini semua gara-gara kamu tahu. Coba aja dari awal kamu mau dengerin aku, aku pasti gak bakalan dimarahin sama diketawain kayak gini." Seolah-olah tidak mendengar kalimat Adel yang menyalahkan nya, Andi fokus menulis di bukunya yang artinya ia tidak ikut tertawa seperti teman-teman nya yang lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN