Bab 10

1873 Kata
Ara terisak sembari mengusap layar ponsel yang menampakkan foto dirinya bersama Samudera, galeri tersebut dipenuhi oleh foto kebersamaan mereka dan beberapa ada foto candid yang Ara ambil tanpa sepengetahuan sang pemilik wajah. Hembusan napasnya terdengar jelas, berusaha menahan sesak yang kian menggebu, jarinya terulur menyeka air mata yang kian membahasi pipi. Pikirannya melayang pada suatu masa, dimana setahun yang lalu Samudera menyatakan perasaannya karena Ara yang memang menyukai cowok itu langsung menyambutnya dengan senyuman merekah. Setahun mereka menjalin hubungan hanya kesakitan yang sering Ara dapatkan tapi ia berusaha menikmatinya. Namun, sekarang Ara memilih mengakhiri karena hatinya tidak kuat lagi berpura-pura bahagia padahal sebenarnya terluka. Pandangan Ara terhenti saat menatap foto dirinya bersama Oceana, ia memandangi foto tersebut dengan tatapan kesal. Dengan cekatan Ara menghapus semua foto yang tampak wajah Oceana tanpa tersisa sedikitpun. "Gue bakal bikin hidup lo menderita." Setelah itu Ara meletakkan ponselnya di atas nakas dan memejamkan matanya hingga terbang ke alam mimpi. ♥ ♥ ♥ "Non, sarapan," ujar asisten rumah tangga. Oceana menarik salah satu kursi di meja makan dan ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, hanya kehampaan yang ia rasakan. Memiliki Ayah seorang workaholic dan Bunda yang setia menemani sang suami melakukan perjalanan bisnis ke mana saja, sudah pasti yang menjadi korban kesepian adalah Oceana. Ditambah Adrian memilih kuliah di Bandung, semakin membuat rumah ini tampak sepi. Oceana menikmati sarapannya seorang diri tanpa ada yang menemani. Ah, Lebih tepatnya berusaha menikmati. Tetapi senyuman Oceana mengembang saat melihat seorang cowok yang menarik kursi di hadapannya seraya menampilkan senyuman manis. "Ayo sarapan, Sam." "Udah sarapan, gue temani lo makan aja." "Lo datang di saat yang tepat." "Kan semalam lo yang bilang kalau orangtua lo ke luar kota makanya gue datang buat nemenin lo sarapan." Siapa yang tidak bahagia memiliki sahabat seperti ini, selalu ada saat kita membutuhkan, selalu menjadi penyemangat dalam keadaan pelik dan selalu menjadi penawar di kala duka. "Udah selesai, ayok." Oceana bangkit dari tempat duduknya diikuti oleh Samudera yang meyamai langkahnya. Digenggamnya lembut jemari milik sahabatnya itu, hati Oceana sempat speechless saat mendapat perlakuan tiba-tiba tapi Oceana berusaha terlihat baik-baik saja karena ini bukan pertama kali Samudera bertindak seperti ini. "Sekarang udah rajin bawa motor ya," ujar Oceana seraya memasang helm ke kepalanya. "Iya, enak duduk berdua di atas motor apalagi sambil dipeluk." "Modus." "Sama sahabat ini." Oceana naik ke atas motor dan duduk di belakang Samudera, ditariknya kedua tangan Oceana agar melingkar di perutnya. "Sekarang kalau peluk gue gak apa-apa, status gue jomblo jadi aman." Oceana tersenyum dan menyandarkan kepalanya ke punggung Samudera dan semakin mengeratkan pelukannya. Motor Samudera membelah kota Jakarta dengan kecepatan sedang padahal matahari sudah mulai meninggi dan Jakarta seperti biasa selalu dilanda kemacetan. Lampu di perempatan itu berubah warna menjadi merah, dengan sabar sang pengendara menunggu lampu berubah hijau. "Sam, udah terang ini bisa-bisa kita telat." "Sekali-sekali bandel gak apa-apa biar ada kenangan nanti pas kita lulus." Ketika lampu itu berubah menjadi hijau, semua kendaraan kembali melintasi jalanan. Tak peduli matahari sudah tinggi atau bel masuk sudah berbunyi, Samudera masih enggan menambah kecepatan motornya atau menyalip kendaraan yang melintas di depan, padahal Oceana sudah mewanti-wanti agar Samudera lebih cepat lagi. "Lo sengaja pengin telat, Sam?" "Emang." "Samudera, bisa dihukum nanti." "Gak apa-apa gue kangen telat bareng lo." "Sinting lo, telat itu jangan diulangi, ini malah kangen." "Iya, gue kangen dihukum berdua bareng lo." "Apa salahku Tuhan sampai punya sahabat yang minta dicium pakai sepatu ini." "Pakai bibir aja kalau mau cium mah." "Ogah." "Gue kiss-able lho." "Bodo." "Yakin?" "Iya." "Ntar nyesel, bibir gue masih aman belum pernah nyentuh bibir cewek." "Terus apa? Nyentuh bibir cowok?" "Gak gitu, gue pengin kasih first kiss gue buat lo." "Kenapa gue?" "Entah." "Kalau mau, halalin gue dulu." "Kode?" Oceana terdiam, intinya ia tidak menolak kalau seandainya suatu saat nanti mereka menikah. "Yaudah jaga juga first kiss lo, kali aja kita jodoh," ujar Samudera yang menatap Oceana melalui kaca spion. Setelah itu motor Samudera berhenti di depan gerbang sekolah yang sudah tertutup rapat. Samudera dan Oceana turun dari motor dan meminta satpam untuk membuka gerbangnya. Satpam itu mendelik kesal. "10 menit telat masih bisa masuk walaupun dihukum dulu, karena kalian telat 15 menit jadi gak bisa masuk." "Izinin masuk, Pak. Abis dihukum suruh keluar juga gak apa-apa." Satpam dan Oceana menganga mendengar ucapan konyol Samudera. "b**o, kalau disuruh keluar lagi mending gak usah masuk sekalian daripada dihukum." "Justru gue kangen dihukum bareng lo." "Cabut aja yuk, gak bakal dibukain." Samudera mengangguk dan kembali ke motornya bersama Oceana. "Besok-besok kita telat 10 menit deh biar diizinin masuk." Oceana memukul pundak Samudera pelan. "Gak usah telat!" "Iya deh." "Sam, bolosnya ke makamnya Rasya mau?" "Na...," "Please, Sam. Gue kangen dia." "Oke." ♥ ♥ ♥ Lutut Oceana bertumpu pada tanah, tangannnya terulur membelai lembut nisan itu, air matanya selalu saja menetes saat menatap pusara yang bertuliskan nama kekasihnya dulu, sekarang hanya kenangan yang tersisa. Sebagai manusia biasa Oceana sangat merindukan sosoknya. "Rasya, aku ke sini gak sendirian tapi bareng sahabat aku. Kamu udah kenal 'kan?" Samudera menampilkan senyum tipis. "Sya, dia yang minta aku buat move on dari kamu. Kamu gak marah 'kan?" Samudera menatap Oceana, ternyata sampai detik ini sahabatnya itu belum bisa move on dari kekasihnya yang telah tiada. Kehilangan karena kematian memang sangat berat karena kita tidak dapat melihat wajahnya lagi atau sekedar bartegur sapa. Tetapi, terus berlarut dalam kesedihan juga bukan solusi terbaik. Tangan Samudera mengusap pundak sahabatnya itu, dirangkulnya pelan mencoba memberi kekuatan, air mata Oceana semakin mengalir deras dan isakan tangisnya terdengar jelas, Samudera ikut merasa sesak melihat Oceana seperti ini. "Jangan nangis lagi, Rasya pasti gak suka lihat lo serapuh ini." Tidak ada jawaban dari Oceana, hanya isakan tangis yang terdengar. "Na," Samudera menoleh dan mengangkat wajah Oceana, ditatapnya dalam kemudian jarinya mengusap air mata di pipi gadis itu. "Gue gak suka lihat lo sedih, hati gue juga ikut sakit lihat lo seperti ini." Diusapnya lembut kepala Oceana. "Jangan nangis lagi. Ada gue, gue yang akan selalu ada di samping lo. Walaupun gue cuma sahabat lo tapi gue gak akan pernag ninggalin lo dalam keadaan apapun." Samudera memeluk sahabatnya, "Gue sayang banget sama lo, jangan nangis lagi. Pokoknya ini terakhir kali lo tangisi Rasya." Oceana mengangguk. "Makasih, Sam. Lo selalu ada buat gue." Samudera melepas pelukannya. "Dalam persahabatan gak ada yang namanya terima kasih karena itu tugas seorang sahabat." "Iya," tiba-tiba Oceana teringat sesuatu. Ia menepuk jidatnya. "Selesai istirahat nanti gue ada ulangan harian Biolongi." "Yaudah balik ke sekolah, nanti juga gue pelajarannya guru killer, kalau alfa bisa digantung." "Gimana caranya masuk?" "Banyak jalan menuju Roma." ♥ ♥ ♥ Samudera menitipkan motornya di kafe depan sekolah dan mereka berjalan ke belakang sekolah. Oceana meneguk salivanya, membayangkan dirinya harus memanjat tembok yang tinggi. "Sam, gak bisa." "Naik di punggung gue." "Tapi nanti jatuh." "Gak bakal." "Tapi-" "Ah banyak tapinya, buruan naik." "Tapi gue pakai rok kalau lo ngintip gimana?" "Gak bakal nafsu juga." Samudera jongkok dan Oceana naik ke punggungnya. "Nah, lo duduk di atas tembok abis itu loncat ke bawah." "Nanti gue jatuh gimana?" "Yaudah lo duduk dulu di tembok, biar gue naik." Dengan cekatan Samudera panjat tembok lalu ia loncat ke bawah. "Nah lo loncat sekarang, biar gue tangkap." "Beneran gak bakal kenapa-napa guenya?" "Iya, bawel. Hitungan ketiga lo loncat ya. 1, 2, 3." Brak. Oceana jatuh di atas tubuh Samudera, mereka saling bertatapan. Ada perasaan janggal yang mereka rasakan saat berada sedekat ini. Tidak ada yang ingin bangun atau sekedar mengalihkan tatapan. "Kaliaaaaaaaan!" Refleks Oceana dan Samudera langsung berdiri. "Kalian mau berbuat m***m?" Oceana dan Samudera menggeleng secara bersamaan. Guru BK tersebut membawa Samudera dan Oceana ke ruangan yang paling anti mereka masuki, di ruangan mencekam itu, mereka akan disidang oleh guru BK yang memiliki tatapan setajam silet. Guru BK yang bernama Pak Yanto itu menatap Samudera dan Oceana secara bergantian, ditatapnya dari atas sampai bawah. "Wakil ketua OSIS dan kapten basket HarBang ketahuan berbuat m***m, apa kata dunia?" "Bapak salah paham, kami gak berbuat m***m," Oceana mencoba menjelaskan tapi Pak Yanto tetap yakin pada presepsinya. "Untung saya lihat tadi, kalau nggak mungkin kalian udah naked." "Astaga Bapak bahasanya, ya kalau mau n***d atau buat anak lihat-lihat tempatlah, Pak." Oceana langsung memukul lengan Samudera karena asal bicara. "Benar kalian mau bikin anak?" "Nggak." "Iya." Balas Oceana dan Samudera secara bersamaan. "Nggak, Pak, jangan dengarin si Sam. Dia ngaco." Pak Yanto manggut-manggut. "Iya sih, lagian kalian masih kecil mana ngerti buat anak." "Yah si Bapak ngece, saya tuh gini-gini ahli." "Udah pernah emang?" "Belum sih tapi saya tahu lah. Sebentar lagi saya juga 18 tahun, Pak." Pak Yanto memijat pelipis karena dibuat pusing oleh Samudera yang selalu mencari alasan. "Yasudah, kali ini saya maafkan, kalau kalian kecyduk lagi, saya akan memanggil orangtua kalian." Oceana dan Samudera mengangguk secara bersamaan. "Iya, Pak." Setelah itu mereka kembali ke kelas masing-masing karena waktu istirahat telah usai. ♥ ♥ ♥ Oceana melenggang keluar kelas hendak ke toilet. Biasanya dulu kalau Samudera masih ada pelajaran tambahan ia akan ditemani oleh Ara, Gea dan Gia sampai Samudera keluar kelas. Sekarang ia hanya bisa menghela napas pasrah dan menerima takdirnya. Ia menatap dirinya depan cermin, hampa itulah yang dirasakan oleh Oceana, ia membasuh wajah lalu meraih tisu mengeringkannya. "Gak apa-apa, lo bisa." Oceana menyemangati diri sendiri lalu ia berjalan meninggalkan toilet. Semenjak kelas 12, Samudera sering ada pelajaran tambahan, jadwal kelas 12 memang padat. Belum lagi saat sore ada bimbingan belajar. Andai saja tidak perlu ada ujian nasional untuk anak sekolah atau skripsi untuk mahasiswa. Sekolah sudah tampak sepi karena bel pulang sudah berdering 30 menit yang lalu. Saat Oceana berjalan melewati koridor tiba-tiba ada yang membekap mulutnya, ia meronta berusaha melepaskan tapi tenaga orang tersebut jauh lebih kuat. Dibukanya pintu gudang dan tubuh Oceana ia dorong hingga tersungkur. Cowok itu mendorong meja dan kursi di depan pintu agar tidak bisa kebuka karena ia tidak memiliki kunci gudang ini. Oceana berdiri dan menatap cowok asing ini, sebelumnya ia tidak pernah melihatnya. "Lo pasti gak tahu kan siapa gue?" Cowok itu tertawa hambar. "Oh jelas lo gak tahu, gue 'kan emang bukan most wanted." "Lepasin gue, gue mau keluar." Oceana berjalan mundur hingga tubuhnya menabrak dinding." "Main dulu lah, gak bakal sakit kok." Cowok itu berusaha mendekatkan wajahnya ke bibir Oceana tapi ia langsung menamparnya. "Berani lo tampar gue hah?" Murka cowok itu. Cowok itu balas menampar Oceana hingga menimbulkan suara yang keras dan tanda bekas di sana. Diraihnya tubuh Oceana hendak memeluk tapi Oceana langsung berlari menghindar. "Lo gak akan bisa lepas dari gue." "Mending lo lepasin gue atau gue bakal teriak." "Lo tahu 'kan jarang ada yang lewat gudang ini bahkan gak ada, jadi mau lo teriak sampai mampus juga gak bakal ada yang dengar." Oceana berusaha merogoh ponsel di dalam tas tapi cowok itu langsung merampasnya. Cowok itu mendekatkan bibirnya ke telinga Oceana. "Terima aja nasib lo, gue yang akan rebut mahkota lo!" "Please, jangan." Oceana menangis, ia takut kalau hal itu sampai terjadi. Tangannya berusaha menarik seragam Oceana tapi gadis itu langsung menghindar. "Lo mau apa hah?!" "Gue mau lo!" Ia menyeringai dan mendorong tubuh Oceana hingga tertidur di lantai dan cowok itu pun menjatuhkan tubuhnya di atas Oceana. "Tolonggggggg." "Percuma." "Brengsek." Cowok itu mengunci tangan Oceana yang memukul dadanya. "Santai, gue mainnya pelan kok." Oceana hanya bisa menangis dan berdoa semoga ada yang menolongnya. ♥ ♥ ♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN