Rasanya Oceana ingin pindah kelas saja atau bahkan pindah sekolah, ia malas mendapat tatapan sinis dari Gea, Gia dan Ara. Ralat, tidak dengan Gia. Cuma dia satau-satunya yang masih tersenyum kepada Oceana.
Bahkan Gea menyuruh Gia agar pindah tempat duduk tetapi saudara kembarnya itu menolak. "Udahlah, biarin gue duduk di sini," ujar Gia menatap Gea.
"Lo mau duduk sebangku sama penikung macam dia?"
Oceana tidak ingin ribut, lebih baik mengalah, ia menghembuskan napas lalu berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke arah bangku yang berada di belakangnya. "Nisa, tukaran tempat duduk, bisa?"
"Gue udah nyaman di sini, Na."
"Please."
Akhirnya gadis yang bernama Nisa tersebut mengangguk lalu ia mengambil tasnya di atas meja kemudian pindah ke tempat duduknya Oceana semula.
Oceana duduk di sebelah Gita yang sedang memainkan ponselnya. "Lagi ada masalah sama sahabat lo?" bisik Gita, menatap kearah Oceana.
Oceana mengendikkan bahu.
Tak lama kemudian ketua kelas XI Ipa2 berdiri di depan kelas. "Guys, pelajaran pertama kita kosong, Ibu Alma sakit. Beliau ngasih tugas meresensi n****+, kumpulkan minggu depan," ujar Bintang, sang ketua kelas.
Oceana tersenyum, lalu ia beranjak keluar kelas seorang diri. Itu lebih baik daripada ia harus berada di kelas yang seperti neraka. Ia berjalan ke ruang osis dan duduk di salah satu kursi, ditenggelamkan wajahnya pada meja di hadapannya kemudian terdengar suara isak tangis.
Ia menangis dalam diam, rasanya ia ingi berlari ke ujung dunia, melepas semua kesakitan yang melanda hatinya.
"Ternyata wakil ketua osis HarBang bisa nangis juga ya," ujar seorang cowok yang baru masuk ruangan, spontan Oceana menghapus air mata dan mengangkat wajahnya menatap cowok tersebut.
"Lo gak masuk kelas?"
"Gue mau ambil buku gue yang ketinggalan di sini."
"Yaudah ambil, gue mau sendiri."
Aldric menarik kursi di samping Oceana lalu menatap gadis itu seraya tersenyum simpul. "Daripada lo di atas meja, d**a gue siap kalau mau lo pinjam buat tumpahin air mata lo." Oceana menatap manik mata Aldric seolah bertanya apa yang terjadi dengan Aldric.
"d**a gue d**a-able lho, lo gak mau coba?"
"Emang lo siapanya gue? Sampai gue harus nangis di pelukan lo? Mending gue pinjam dadanya Samudera."
Senyuman Aldric memudar dari wajah tampannya kemudian ia menghela napas. "Itu salah satu alasan kenapa gue gak mau ungkapin perasaan gue yang sebenarnya."
Ia beranjak dari tempat duduknya kemudian Oceana mencekal tangan Adric. "Lo suka sama gue?"
Aldric menoleh kemudian mengangguk.
"Gue belum pengin pacaran Kak, gue malas jatuh cinta kemudian patah hati untuk kesekian kalinya, gue pengin selesaiin masa SMA gue dengan tenang."
"Lo gak mau ciptain kenangan bersama gue sebelum kita lulus nanti?"
"Gue sering dengarin curhat lo, gue sering dipaksa buat ikut rapat dan gue sering debat sama lo, emang itu gak cukup dijadikan kenangan, Kak?"
Aldric tersenyum kemudian ia meraih bukunya di atas meja. "Gue ke kelas dulu, kalau lo butuh tempat sandaran,hubungi gue aja," sebelum keluar dari ruangan, Aldric mengacak rambut Oceana terlebih dahulu.
"Ih berantakan rambut gue, Kak."
♥ ♥ ♥
Aldric cukup senang, ia bisa sedekat ini dengan Oceana. Walaupun status mereka tidak taken tapi mereka masih bisa bersenda gurau. Itu lebih dari cukup, bukan? Karena cinta tak selamanya harus memiliki.
Saat ia menampakkan wajah di kelas langsung ditegur oleh guru yang mengajar di kelasnya. "Kamu ambil buku atau pingsan sih? lama sekali!"
"Maaf, Bu. Ada keperluan sebentar tadi."
"Yasudah cepat duduk."
Aldric berjalan ke arah bangkunya kemudian ia berbisik kepada Samudera. "Sam, sahabat lo nangis di ruang osis tadi. Katanya dia butuh d**a lo."
Mendengar ucapan Aldric, Samudera langsung meminta izin kepada gurunya. "Bu, saya izin ke toilet."
"Tadi Aldric, sekarang Samudera, nanti siapa lagi?!"
"Please, Bu. Kebelet."
"Yasudah, jangan lama-lama."
Samudera langsung berjalan keluar kelas, tujuannya bukan toilet tetapi ruang osis, jujur ia khawatir dengan keadaan sahabatnya itu.
Ia membuka ruang osis dan mendapati sahabatnya yang sedang menenggelamkan wajahnya di atas meja dengan suara isak tangisnya memenuhi ruangan ini, Samudera menutup pintu dan duduk di sebelah Oceana. "Princess-nya gue kenapa nangis?"
Mendengar suara Samudera, Oceana langsung bangun dan menenggelamkan wajahnya ke d**a Samudera, ia menumpahkan segala air mata dan keluh kesahnya. "Sam, gue capek dimusuhi sama sahabat-sahabat gue, rasanya gue pengin lari ke ujung dunia," ujar Oceana di sela isak tangisnya.
Samudera membelai lembut rambut sahabatnya itu, ia bisa merasakan apa apa yang Oceana rasakan. "Gak apa-apa, semua akan baik-baik aja, nanti gue coba ngomong sama mereka ya."
"Gue takut setelah lo lulus nanti gue gak punya sahabat lagi. Gue takut, Sam."
"Lo pasti akan punya sahabat baru yang lebih tulus dari mereka."
Samudera melepaskan pelukannnya dan menatap wajah Oceana seraya menghapus bekas air mata di pipi sahabatnya itu. "Jangan nangis lagi, strong dong Oceana sayang."
Oceana mengangguk berusaha tetap tersenyum.
"Kamu gak masuk?"
"Gurunya sakit."
Melihat keadaan Oceana sudah lebih baik, Samudera berdiri dari tempat duduknya. "Gue balik ke kelas dulu ya, tadi izinnya ke toilet."
"Jangan tinggalin gue, nanti gue nangis lagi."
"Lo minta gue bolos?"
"Kan biasanya juga begitu."
"Beda, guru killer, kalau gue gak balik bisa-bisa gurunya ngamuk. Udah ya gue balik dulu."
Samudera mencubit pipi sahabatnya itu. "Sahabatnya gue harus strong dong, gue balik. Daaahhh Oceana sayang."
Oceana menatap punggung Samudera yang menghilang di balik pintu, setidaknya ia masih punya sahabat yang tulus, selalu ada di kala suka dan duka yaitu Samudera.
Thanks for everything, Sam.
♥ ♥ ♥
Brak!
Samudera menggebrak meja Ara dan Gea, pascanya setelah istirahat Samudera langsung ke kelas mereka.
Ara menatap mantannya itu. "Ada apa?"
Samudera menatap Ara dan Gea secara bergantian.
"Kalian musuhi Oceana karena gue putus sama Ara?" ujar Samudera dengan nada tenang.
Ara dan Gea diam, mereka tidak menjawab apa-apa. Setelah itu muncul Oceana yang baru masuk kelas. Ia langsung menghampiri Samudera dan bertanya, "ada apa, Sam?"
"Sekarang gue kasih tahu, gue sama Oceana udah sahabatan dari zaman SMP, wajarlah kalau gue sama dia dekat. Dan putusnya gue sama Ara sama sekali gak ada kaitannya sama sahabat gue. Oh iya satu lagi, bukan gue yang minta putus tapi Ara."
Bukan Ara yang balas kata-kata Samudera tapi Gea. "Wajarlah kalau Ara minta putus, cewek mana yang gak bakal sakit hati kalau cowoknya prioritaskan cewek lain meskipun itu sahabatnya!"
Gea menatap Oceana dan Samudera. "Status kalian memang sahabatan, tapi kedekatan kalian seperti orang yang pacaran!"
Gia yang semula berdiam di tempat duduknya kini berdiri di sebelah Oceana. "Udahlah Ge, yang punya masalah tuh mereka. Lo gak seharusnya ikut campur. Biar mereka yang menyelesaikan masalahnya."
Di balik otak lemot Gia, terdapat hati yang baik. Saat Ara dan Gea sinis kepada Oceana, hanya Gia yang masih mencoba tersenyum.
"Lo kembaran gue apa bukan sih, kok lo jadi belain mereka?"
"Oceana dan Ara itu sahabat kita, jangan sampai persahabatan kita hancur. Tugas kita bukan untuk menyalahkan salah satu dari mereka tapi mendinginkan keadaan yang panas ini."
Samudera tersenyum. "Benar kata dia, lo cuma orang lain dan jangan ikut campur masalah yang sama sekali gak ada kaitannya sama lo," ujarnya kepada Gea, gadis itu diam tak berkutik.
Oceana menarik napas panjang kemudian ia menatap Ara. "Ra, gue minta maaf kalau misalkan selama ini gue banyak nyakitin lo, jujur gue gak ada niat sedikitpun untuk itu. Gue sama Samudera murni sahabatan, gue sama dia udah kenal lama makanya kita sedekat itu."
Oceana menghapus air matanya yang tak sengaja keluar. "Di saat kalian semua sibuk sama urusan kalian masing-masing cuma Samudera yang ada di samping gue, di saat kalian lebih memilih liburan ke Bali waktu Rasya meninggal cuma Samudera yang selalu support gue. Gue tahu kedekatan gue sama Samudera emang keterlaluan tapi gue juga gak mau kehilangan sosok sahabat yang selalu ada buat gue."
Samudera merangkul pundak Oceana kemudian ia menatap Ara. "Lo pernah tanya ke gue kan, gue milih antara lo atau Oceana, dan jawaban gue adalah Oceana, bukan karena gue gak sayang sama lo. Tapi gue juga gak mau kehilangan sahabat yang udah dekat sama gue selama ini. Gue sayang sama lo, Ra. Sorry kalau selama kita jadian gue banyak nyakitin lo."
Samudera bisik ke Oceana. "Kantin yuk."
Saat mereka hendak berjalan keluar kelas tiba-tiba Ara memanggil Oceana dan langsung memeluk gadis itu. "Maafin gue, Na." ujarnya seraya melepaskan pelukan itu.
Ara menatap Samudera. "Maafin gue karena udah egois."
Hanya itu yang Ara katakan, setelah itu ia memberi isyarat kepada Gea dan Gia untuk mengikutinya keluar kelas.
***