(POV Irsyad)
“Dia memang gadis yang ...” Gue tanpa sadar tertawa dan ini sudah terjadi hampir lima kali sejak kemarin. Entahlah, gue rasa ada kesalahan atau kerusakan pada bagian otak kanan gue yang bisanya selalu serius, terutama saat belajar matematika seperti saat ini.
“Ini salah satu momen langkah yang mungkin hanya terjadi beberapa kali dalam hidup.” Suara Aaris memenuhi kamar gue.
Gue spontan menoleh dan mendapati Aaris yang berdiri di dekat pintu dengan moncong kamera terarah ke arah gue. Gue tidak perlu lagi bertanya apa yang Aaris lakukan sekarang, jelas dia sedang membuat tugas yang dua hari lalu diberikan dokter Dian kepadanya.
Sejujurnya gue sangat senang melihat Aaris mendapat tugas semacam ini. Rasanya seperti kembali melihat Aaris yang dulu, yang ceria dan kadang juga berisik. Selain itu, Aaris jadi lebih sering terlihat berjalan mengitari rumah untuk memenuhi tugasnya itu dan mulai terbuka untuk sering berinteraksi, meski dia hanya banyak bicara pada kameranya sendiri, tapi dalam beberapa momen gue melihat kalo Aaris berusaha untuk bisa berinteraksi.
Ya ... meski itu artinya, akan banyak sekali privasi gue yang akan dia rekam, seperti masuk ke kamar tanpa izin, menyorot dengan fitur zoom cara gue makan, kebiasaan gue tidur di dapur atau muka belek gue yang baru bangun tidur dan masih banyak hal konyol yang sudah Aaris abadikan di dalam kamar berwarna silver itu. Beruntung, kamera itu selalu berada di tangan Aaris. Tidak akan akan yang bisa melihatnya.
“Gue sering senyum kalo liat soal matematika. Lo aja yang gak tahu,” sambung gue.
Aaris lalu mengarahkan moncong kameranya ke “Entah apa konsep kamarnya. Irsyad selalu suka pada warna biru laut.”
“Biar rasanya kayak di laut,” sambung gue lagi.
“Padahal dulu Irsyad sangat takut pada laut. Dia pernah hampir tenggelam di sana,” sambung Aaris masih dengan kesibukannya yang sekarang menyoroti figur foto laut di atas nakas gue.
“Karena setiap ketakutan harus di lawan. Kalo gak gitu, sampai kapan pun kita gak akan bebas dari rasa takut itu,” celetuk gue selayaknya tadi. Namun, kali ini respon Aaris sedikit berbeda. Ia tidak kembali menyorot sekeliling.
“Eh, mau ke mana lo? Emang udah ngerekam gue? Lo gak mau ngerekam gue yang lagi serius belajar gini, biar setidaknya ada hal baik tentang gue di sana,” ujar gue saat Aaris berjalan ke arah pintu, tapi Aaris tidak menjawab, bahkan tidak menoleh.
“Lo kesinggung ya? Gue gak maksud nyinggung lo. Gue minta maaf.”
“It’s okey,” sahutnya singkat.
Gue segera menutup buku. Sesi belajar hari ini, sudah berakhir.
“Karena gue udah ngerusak mood lo, gimana kalo kita ke ruang tamu ? Kalo gue gak salah, gue masih nyimpen permainan ular tangga di nakas. Tunggu dulu ....”
“Udah ketemu,” seruku setelahnya. “Lo tenang aja. Gue gak akan maksa lo buat main. Lo cukup merekam aja. Biar gue main sama Sandrina. Gimana? Ide bagus, ‘kan?”
Setelah Aaris setuju, sekarang giliran Aaris yang membujuk Sandrina untuk bermain. Jelas gadis kecil itu sangat antusias, meski dia tidak tahu permainan apa ini. Sandrina hanya senang melempar dua balok dadu itu, lalu bertepuk girang, berapa pun hasil dadunya.
“Lo gak mau nyoba sekali ?” bujuk gue pada Aaris. Bermain dengan Sandrina memang asik, tapi tetap saja sedikit membosankan bermain dengan anak kecil yang hanya tertarik dengan dadu tanpa ada tujuan untuk menang atau helaan napas kecewa saat mendapat kotak berisi ular yang mengharuskan untuk turun.
“Mungkin lain kali,” sahut Aaris dari balik kameranya, masih asik merekam Sandrina yang tengah mengocok dadu. Gue tersenyum maklum. Ya ... mau bagaimana lagi? Semua tidak bisa membaik dengan instan, bahkan mi instan saja butuh proses untuk bisa dinikmati.
“Iya, ayo masuk, Jeng ....” Gue menoleh, mendapati mama yang baru saja pulang arisan yang kini tengah sibuk membuka lebar pintu masuk.
Gue sama sekali tidak menyadari apa yang hendak mama lakukan, gue hanya berpikir mama baru pulang itu saja. Gue baru sadar kalo ada tamu saat suara ramai ibu-ibu mulai terdengar memenuhi ruangan tamu. Mereka masuk dengan sangat cepat, tidak memberi jeda bagi Aaris yang baru sadar kalo ruangan tamu sudah di penuhi banyak orang.
“Aaris ....” Mama seketika terdiam, baru menyadari kehadiran Aaris yang sekarang mematung di tempat.
“Eh, Aaris ... kok udah lama tante gak liat kamu?” sapa salah satu dari mereka.
“Iya, Aaris udah lama banget gak keluar ya? Ke mana aja? Biasanya setiap sore suka main ke taman sama Sandrina.”
Pertanyaan bertubi-tubi itu memperburuk semuanya. Aaris terlihat makin tertekan, ketakutan dan cemas, saat semua mata tertuju padanya.
“Tante dengar katanya kamu sakit ya ? Sakit apa?”
“Iya, sakit apa Ris?”
“S-sakit ....” Kalimat Aaris tercekat. Di balik kacamata hitamnya, mata Aaris terlihat bergerak cepat, seolah dia baru saja melihat jin di siang bolong.
“Terus kenapa pake kacamata hitam? Lagi sakit mata ya?”
“Hanya sakit biasa tante ... Kakiq” sahut gue cepat. Berhasil menarik perhatian mereka ke arah gue. “Tante apa kabar ?”
“Alhamdulillah kabar tante baik.”
Gue tersenyum sebagai respon. Setelahnya gue kembali menoleh pada Aaris. “Oh iya Ris, gue mesti lanjut belajar nih. Lo juga, kan? Ma, kita balik ke kamar ya? Tante kami pamit permisi ya,” pamit gue sesopan mungkin, agar mereka tidak tersinggung dan tidak menyadari apa yang ekspresi cemas Aaris.
“Ah iya,” sahut mereka serempak. Mulai melonggarkan kami untuk bisa pergi dari sana.
“Sandrina, ayo kita main di dalam,” ajak gue pada Sandrina. Sandrina menurut dan dengan riang berlari-lari kecil.
“Ris, ayo ... lo harus lawan rasa cemas lo. Ayo kita pergi dari sini. Lo tenang. Jangan panik,” bisik gue berulang kali, gue tahu ini tidak mudah bagi Aaris. Gue cemas memperhatikan tangan Aaris yang gemetar, dadanya yang naik-turun, seperti kesulitan bernapas.
“Ris, ayo ....” bisik gue lagi. Kali ini gue sedikit memaksa. Menarik tangan Aaris dan segera membantunya berjalan, mengingat kaki Aaris belumlah sembuh sepenuhnya.
Sesampai di kamar, Aaris meminta gue untuk meninggalkannya. Gue tahu dia masih ketakutan dengan keramaian tadi, tapi gue memilih untuk membantah permintaannya. Gue gak akan tenang ninggalin dia sendirian di kamar dalam keadaan seperti ini.
“Ris ... “ Gue menghela napas panjang. Entah sudah berapa kali gue harus membujuk Aaris untuk mengatakan hal yang sama.
“Tolong, kasih tahu gue apa yang terjadi pas acara perpisahan? Kenapa lo bisa jadi gini? Tolong biarin gue bantu lo.”
Dan seperti biasa, Aaris hanya diam. Sikap diamnya itu membuat gue sangat frustasi. Perasaan bersalah kembali menyelimuti hati gue. Seandainya Aaris tahu apa yang gue rasakan sekarang. Bukan hanya dia yang terpuruk, jauh di lubuk hati gue, gue juga ikut terluka. Gue sedih, kecewa dan merasa gagal sebagai kakak lagi dan lagi.
“Gue harap suatu saat lo mau cerita semuanya ke gue,” ujar gue yang akhirnya memutuskan pergi dari kamar Aaris.
“Pem-bully-an itu ada di depan mata gue, tapi gue sama sekali gak sadar,” gumam gue lagi dan lagi.
Gue benar-benar buta soal semuanya. Padahal dulu, gue selalu melihat bagaimana Aaris yang tiba-tiba terdiam saat dia sedang asik bercerita, bagaimana semua orang menahan tawa saat melihatnya, bagaimana Aaris yang diam-diam bertanya apa dia terlihat aneh? Aaris yang memilih tidak masuk sekolah karena malu bertemu guru baru. Aaris yang sangat marah saat ada yang saat ada yang menyebutkan kata cadel.
Gue sama sekali tidak pernah berpikir kalo semua itu awal dari masalah besar ini. Sebuah masalah yang sampai saat ini belum gue ketahui ... lalu apa yang harus gue lakukan ? Diam menunggu sampai waktu menyembuhkan atau mulai bergerak mencari apa yang sebenarnya terjadi ?
**