Bertemu Masalah

1700 Kata
(Pov Irsyad ) ‘Bentar lagi gue sampe di sana.’ ‘Oke.’ Balas gue. Selanjutnya gue kembali menyimpan ponsel gue di dalam tas kecil yang biasa gue bawa saat sedang olahraga, kemudian meletakkan tas itu kembali di tempat semula, di salah satu bangku. Tempat ini cukup aman, gue tidak perlu khawatir meletakan tas di sana sendirian, toh gue tetap bisa memantaunya dari jauh sembari pemanasan sebelum memulai bermain basket. “Haloo? Iya ada apa ?” Gue refleks menoleh terpanggil lantaran suara menggelegar pria yang berdiri jauh di belakang gue. Pria itu ternyata sedang menelepon. Gue kembali melanjutkan pemanasan. “Cerita apa?” Suara pria itu kembali terdengar, menggema memenuhi seluruh lapangan indoor yang tidak terlalu besar ini. Sejujurnya keberadaan pria itu sangat mengganggu gue terutama suaranya yang begitu besar, tapi apa mau dikata, itulah resiko jika main di lapangan indoor, tapi tidak di sewa terlebih dulu. Gue tidak punya uang untuk menyewa lapangan ini dengan kocek yang lumayan besar. Beruntung, lapangan ini memiliki kebijakan yang ramah di kantong pelajar, dimana gue bisa latihan di sini dengan biaya murah. Dengan kebijakan harus sharing lapangan dengan orang yang juga hanya ingin latihan. “Jadi lo telepon gue cuma buat cerita hal itu doang? Lo tahu gak sih, lo udah buang waktu gue beberapa detik cuma buat dengar lo cerita gak jelas.” Kali ini, kalimat pria itu berhasil menarik perhatian gue. Gue menoleh, entah kenapa kemarahan pria itu mengingatkan gue akan kemarahan gue pada Aaris dulu. “Dek, harus berapa kali abang bilang, kalo abang hidup bukan buat dengerin lo cerita. Lo tahu gak sih ... Lo tuh berisik banget! Seharian lo bisa cerita apa aja yang lo liat, bahkan kalo lo liat ayam makan beras aja lo cerita ke gue. Lo udah besar, Dek! Coba tutup rapat mulut lo. Stop cerita hal yang gak penting.” “Udah ! Abang sibuk!” Pria itu mematikan panggilan sepihak. Lagi-lagi itu mengingatkan gue pada diri gue sendiri. Gue seperti sedang berkaca sekarang. Apa yang gue lakukan di masa lalu tidak jauh berbeda dari yang pria itu lakukan. Gue selalu mengabaikan Aaris. Meminta Aaris untuk tidak banyak menceritakan apa pun yang menurut gue tidak penting. Tidak jarang gue selalu menghentikan Aaris, memarahinya atau diam-diam menyumbat telinga dengan earphone saat Aaris sedang berbicara. Setiap kali Aaris ingin bercerita, gue selalu bilang kalo gue sibuk, gue capek dan tidak punya waktu untuk mendengar hal yang tidak penting tentangnya. Gue juga pernah melontarkan sebuah kalimat yang sampai detik ini gue sesali, “Ris, lo bisa diam gak?! Selamanya kalo bisa! Gue muak dengar lo ngomong terus.” Itu kalimat terkejam yang pernah gue katakan pada Aaris. Kalimat yang tidak akan pernah gue ucapkan lagi, tapi semua sudah terlambat. Doa itu sudah terkabul. Sekarang Aaris benar-benar berhenti berbicara. Dia tidak mengatakan apa pun, bahkan saat dia terpuruk sekalipun. “Nyebelin banget punya adik cerewet kayak dia ....” “Tidak semenyebalkan saat akhirnya dia memilih diam untuk selamanya .... ” jawab gue tanpa sadar. Pria itu mengalihkan pandangannya yang semua ke ring basket menjadi ke gue, raut wajahnya terlihat heran. Gue sangat yakin, pria itu terlihat tidak nyaman karena perkataan gue barusan. Namun memilih untuk tidak membalasnya dan hanya tersenyum menyapa. Gue balas menyapa, tapi tidak berniat menghampiri pria itu dan lebih memilih kembali duduk di bangku semula. Gue tenggelam dalam pikiran yang entah akan membawa gue ke mana ... . . (POV Rara) “Bang, teman abang itu gak galak, ‘kan ?” tanyaku entah sudah ke berapa kalinya selama mobil bang Gino melaju. Bang Gino “Lo do’a aja semoga orangnya lagi gak bad mood,” sahut bang Gino sama sekali tidak bisa membuatku duduk tenang di mobil. Hari ini, aku terpaksa menemui pemilik asli berbi yang sudah kurusak. Dia mengajak kami untuk bertemu di stadium lapangan basket. Aku datang bersama bang Gino untuk mengatakan hal buruk kalo berbi itu sudah tidak berbentuk, ditambah lagi, aku tidak bisa langsung mengganti boneka mahal itu bulan ini, dikarenakan tabunganku ternyata tidak bisa langsung dicairkan dalam jumlah besar, mengingat tabunganku itu merupakan tabungan pelajar jadi ada limit batas dalam per bulan. Itulah yang membuatku takut bukan main. “Sebentar lagi kita sampai,” ujar bang Gino. Informasi yang sama sekali tidak ingin aku dengar sejak tadi. “Abang sengaja cari jalan yang paling cepat. Semoga gak kena macet.” Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berharap bisa terjebak macet lima jam atau seharian. Aku sangat takut bertemu spesies yang sepertinya sebelas-dua belas dengan bang Gino. Jika bang Gino sangat menyebalkan, bagaimana dengan temannya? Bagaimana jika teman bang Gino itu mudah marah? Mengantung di tiang basket ? Atau melemparku ke ring basket. Aku harus apa sekarang. “Sudah sampai,” ujar bang Gino. Sekali lagi, doaku hari ini belum terkabul. Jalan lancar tanpa hambatan, tanpa macet sedikit pun. “Buruan, Dek, turun !” seru bang Gino yang sangat bersemangat datang ke sini. Bang Gino memang tidak punya peri-keabangan. Rada pekanya sama sekali tidak berfungsi. Bang Gino sama sekali tidak paham kalo sekarang jantungku berdebar sangat cepat seolah baru loncat dari tebing setinggi harapan orang tua. “Bang, Lala takut. Abang aja sendili. Itukan teman abang, dia pasti bisa maafin abang. Kalo Lala ... Lala takut ental dijadiin bola basket.” Bang Gino memutar bola matanya. Sama sekali tidak ada ekspresi kasihan padaku sedikit pun. “Lo yang berbuat, lo yang harus tanggung jawab. Lagian siapa suruh, marah-marah sampai ngerusak barang? Lo harus tanggung jawab sendiri.” “Bang ....” Aku merenggek, berharap kali ini bisa menyentuh sisi lembut hati bang Gino yang entah ada atau tidak, aku rasa tidak ada. Terbukti sekarang dengan bang Gino malah menyeretku untuk keluar dari mobil. “Ayo buruan orangnya udah nungguin dari tadi,” desak bang Gino. Mau tidak mau, aku terpaksa mengekor di belakang bang Gino dengan lutut yang pastinya berasa seperti agar-agar. “Bang, olangnya gak galak, kan? Dia vegetarian, kan?” “Itu tuh orangnya ....” Bang Gino menunjuk ke arah depannya. Aku spontan mengintip dari balik punggung bang Gino. Terlihat seseorang pria berbadan tinggi, bertubuh sedang, menggunakan celana merah selutut dengan kaos putih dan sepatu sport yang mirip seperti yang bang Gino kenakan, orang itu nampak asik bermain basket sendirian. Dari raut wajahnya dia terlihat ramah. “Kalo gak salah dia seumuran sama kamu. Sama-sama masih SMA kelas dua. Dulu dia junior abang di klub basket SMP,” tambah bang Gino, seraya kembali berjalan. “Eh, kayaknya dia udah tua deh, Bang. Gak mungkin anak SMA ada kumis setebal itu. Telus, gondlong lagi, bisa diincel gulu BK setiap hali,” sangkalku. Aku sekarang berjalan di sebelah bang Gino, orang yang aku akan temui sepertinya tidak seseram yang aku bayangkan. Aku tidak setakut tadi. Bang Gino tiba-tiba menoleh. “Kumis ? Kumis apaan? Mukanya klimis gitu di bilang kumis? Rambutnya juga gak gondrong.” “Eh?” Aku spontan menoleh ke arah orang yang tadi bang Gino tunjuk, orang itu kini juga menoleh ke arah kami, seperti baru menyadari kehadiran aku dan bang Gino. “Olang itu ‘kan, Bang ?” tanyaku pelan. Aku bingung lantaran orang itu, hanya melihat ke arah kami, tapi tidak menyapa dan malah berjalan ke tepi lapangan mengambil tasnya. Bang Gino melewatinya. “Orang mana? Bukan yang itu,” sahut bang Gino. “Telus yang mana?” tanyaku kembali ketar-ketir. “Itu tuh yang lagi duduk di bangku ....” Bang Gino membimbing kepalaku untuk melihat ke arah yang dia liat. Deg ! Detik itu juga rasanya aku lupa cara bernapas. Aku mengerjap, memandang tidak percaya cowok yang tengah duduk di salah satu bangku seorang diri. Aku berharap apa yang aku lihat itu salah. Aku berharap cowok itu bukan ... “Irsyad ...!” teriak bang Gino, Irsyad mengalihkan pandangannya, secepat kilat aku langsung berbalik sebelum matanya berhasil melihatku. “Ya Allah, dari sekian banyak manusia kenapa harus dia lagi ?” lirihku. Otakku dengan cepat membuat peta untuk kabur dari sana. “Dek, mau ke mana?” Dan sialnya bang Gino menangkap pergerakan yang aku lakukan, secepat kilat bang Gino langsung menahan pergelangan tanganku. “M-mau ke toilet, Bang ...” “Eh, mau ngapain?” “Mau makan, Bang,“ sahutku penuh percaya diri, setelahnya aku meringgis menyadari kalo jawabanku barusan terdengar mengada-ngada. Sejak kapan toilet menjual makanan? Kenapa di saat genting seperti ini, otakku sama sekali tidak bisa berkerja sama? “Mau kabur, kan lo? Gak bisa!” seru bang Gini. Tangan bang Gino semakin erat menahan pergelangan tanganku. Aku berjalan kembali dengan posisi menghadap ke belakang. “Eh, maaf ya gue telat. Lo udah lama sampe?” “Enggak kok, Bang.” Bulu kudukku seketika meremang, suaranya terdengar begitu dekat. “Tadi baru pemanasan doang, Bang ....” Aku bergidik ngeri, membayangkan Irsyad yang susah berdiri di depanku. “Oh iya, btw, gue ke sini ngajak adik gue. Yang waktu itu gue ceritai, jadi dia mau minta maaf langsung ke lo.” Bang Gino berusaha membuatku berbalik. “Oh, adik abang yang rusakin boneka itu ya, Bang ?” sahutnya. Suara beratnya membuatku makin yakin, kalo aku tidak akan selamat jika masih bertahan di sini. Aku harus kabur sekarang, bagaimana pun caranya ... Hanya ada satu cara .... “Au !” pekik bang Gino begitu aku menggigit kencang tangannya. “Dek, lo apa-apaan sih !” desis bang Gino kesakitan. Aku memanfaatkan peluang itu untuk segera lari dari sana. Aku pikir, sekarang aku sudah aman, tapi bodohnya aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. Aku berlari kencang tanpa memperhatikan sekitar. Aku lupa kalo lapangan ini berlantai licin dan entah sejak kapan ada dua bola orange itu di tengah lapangan. Semua berjalan begitu cepat, aku mencoba menghindar, tapi gagal, kakiku tersandung salah satu bola orange, bola itu memantul dengan sangat keras dan mendarat tepat di ..... “Aw! Muka gue !” Teriakan Irsyad membuatku spontan berjingkrak panik, melupakan semua rasa nyeri akibat jatuh tadi, langsung berlari ke hadapan Irsyad, maksud hati ingin menolong, tapi yang terjadi aku malah kaget melihat cairan merah merembes keluar dari hidung Irsyad. “Dalah ....” teriakku heboh yang spontan saja memicu Irsyad yang semula mengelus dahinya malah tiba-tiba melompat dan naasnya ... kakinya kesandung tas dan ... ‘Bruk !’ ..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN