Berusaha

1467 Kata
(POV Rara) Akhirnya! Setelah sepekan dipenuhi dengan banyak masalah, ada angin segar di pekan ini. Kabar gembira yang sudah lama aku nantikan. Lomba baca puisi resmi dibuka. Aku sangat bersemangat! Sangat ! Sudah berbulan-bulan aku mempersiapkan diri untuk ikut dalam lomba baca puisi, mulai dari belajar mengenai beragam bentuk puisi, sejarah puisi, webiner tentang cara membuat puisi, intonasi saat membaca puisi, ketukan-ketukan apa saja yang ada di puisi seperti (/) yang artinya berhenti sebentar dan (//) yang artinya berhenti lebih lama, serta tidak lupa aku juga belajar untuk membaca kalimat ‘R’ agar lebih terdengar mulus saat membaca puisi. “Lo daftar lomba baca puisi?” Entah dari mana, Bastian tiba-tiba muncul di depanku yang baru saja keluar dari ruangan pendaftaran. “Iya. Aku baru aja daftal,” jawabku riang. “Lo gak salah ?” Satu alis cowok berbadan sedikit berisi itu terangkat, memperhatikan aku sekilas, entah kenapa tiba-tiba ia tertawa. “Eh, sini deh ....” panggilannya pada beberapa siswa-siswi yang tengah membaca papan pengumuman. “Kalian mau dengar gak lelucon lucu hari ini ?” tambah Irsyad yang berhasil menarik beberapa siswa-siswi yang tertarik untuk mendekat. “Tapi sebelum itu gue mau tanya sama kalian.” “Menurut kalian aneh gak kalo ada orang buta ikut lomba fotografer?” Semua menggeleng, aku pun spontan ikut menggeleng meski tidak tahu apa yang sebenarnya Bastian bicarakan, aku bertahan karena penasaran ada hal lucu apa aku lewati. “Terus aneh gak kalo ada orang yang bisu, tapi ikut lomba debat ?” Semua kembali menggeleng kompak. Sejauh ini, aku memang tidak pernah mendengar orang yang tidak bisa melihat ikut lomba fotografer, atau orang yang tuna rungu ikut lomba debat. “Nah itu!” Bastian kembali terkekeh. “Ra, coba ngomong, baru, biru, rubah, rapung. Tapi cepat.” “Eh, tapi?” “Buruan, satu, dua, tiga ....” “Balu, bilu, lubah, lapung.” “Kalian lihat?” celetuk Bastian, mulutnya terlihat gemetar menahan tawa. Semua orang spontan langsung tertawa. Aku juga ingin ikut tertawa, tapi aku bingung mencari dimana letak lucunya, kenapa aku selalu terlewat ? “Dan kalian tahu, Rara ikut lomba baca puisi. Dia, iya, Rara ... orang yang bahkan gak bisa nyebut namanya sendiri ikut lomba baca puisi. Gue jadi gak sabar lihat Rara baca puisi di atas panggung.” “Belum kok. Tahap peltama, seleski naskah dulu. Kalo lolos balu bisa ikut tahap selanjutnya. Doain aku yang guys,” sahutku riang. Tiba-tiba Bastian melihatku heran. Aku balik melihat heran Bastian. “Lo masih gak sadar apa yang kita ketawain?” Aku menggeleng cepat. Tidak penting seberapa aku paham jokes yang mereka lemparkan, yang terpenting aku busa ikut tertawa bersama mereka. “Dari tadi gue tuh ngomongin lo, lo gak sadar? Lo tuh ibarat orang buta dan bisu tadi. Lo gak akan mampu ikut lomba baca puisi, ngomong R aja gak bisa. Matahari jadi matahali, pertama jadi peltama. Lo ikut cuma buat malu nama kelas aja.” “Paham?” tanya Bastian setelah itu. Aku mengangguk pelan-pelan, lalu mengangkat pelan kepalaku, ada satu hal yang perlu aku tanyakan mengenai kalimatnya barusan. “Eh, tapi aku ‘kan gak buta sama gak bisu? Jadi apa hubungannya? Aku juga mau ikut lomba baca puisi, bukan lomba potoglafel apalagi debat.” . . (POV Aaris) “Dok, sebenarnya seberapa penting sesi ini?” tanyaku, entah sudah ke berapa kalinya aku menanyakan pertanyaan templet semacam ini. Dari pantulan kaca meja, aku melihat dokter berusia sebaya mama—dokter Dian mengangkat kepalanya memperhatikan aku yang berpura-pura menatap kotak pulpen di mejanya. “Rasanya seperti mustahil untuk kembali ‘normal’,” tambahku pelan. Dokter Dian berdeham pelan, sebelum memutuskan untuk duduk di kursinya, mungkin agar lebih bisa santai menanggapi pasien yang selalu mengalami krisis percaya bahkan pada dirinya sendiri seperti aku. “Kita sering membahas tentang ini ‘kan Aaris?” “Ya ....” Aku mengangguk lambat-lambat. Aku sangat ingat akhir dari percakapan ini, yang akan diakhiri dengan dokter Dian mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, jika Allah berkehendak maka semua akan terjadi. Yang terpenting harus ikhtiar dan terus berdoa. Aku spontan terkekeh pelan, sangking seringnya mendengar kalimat itu, aku jadi sangat hafal, bahkan aku bisa meniru gestur yang akan dokter Dian lakukan saat mengatakan itu, dengan tangan bergerak kecil, tatapan mata lembut dan seulas senyum menenangkan. “Jadi ....” dokter Dian tersenyum, lalu meraih pulpen berwarna hitam dan membuka buku bersampul biru dongker yang sendari tadi berada di depannya. “Bagaimana hari mu pekan kemarin, Aaris?” “Hem, seperti biasa,” sahutku sembari menyapu sekeliling ruangan dokter Dian. Aku selalu merasa nyaman saat berada di ruangan ini, rasanya seperti di kamar sendiri. Tidak ada ketakutan, tidak ada tekanan. Kehadiran dokter Dian juga tidak membuatku takut. Harus aku akui dokter Dian saat alih membuatku merasa seperti dia hanyalah televisi di sudut kamarku, yang akan mengajakku berbicara tanpa membuatku takut. “Apa ada yang terjadi ?” tanya dokter Dian. Sejujurnya tanpa bertanya hal itu, dokter Dian pasti sudah tahu apa yang terjadi padaku saat pertama kali melihatku dengan kaki yang kembali di giff. Mungkin dokter Dian mengatakan itu, bukan untuk mengetahui secara umum, tapi apa yang aku rasakan jadi aku menjawab apa yang aku rasakan saja. “Ya, sedikit sulit.” Aku tersenyum samar, spontan mataku yang terlindungi kacamata hitam menatap kaki kananku yang sendari tadi tidak bisa aku gerakkan. “Aku hanya masih belum terbiasa dengan giff yang menempel ini. Giff ini sedikit membatasi ruang gerak kakiku.” “Ah, iya ....” dokter Dian terlihat sedikit tidak puas dengan jawabanku, mungkin bukan itu maksud dari apa yang dia tanyakan. “Tapi kamu gak perlu khawatir akan hal itu. Setelah kakimu sembuh, giff itu akan segera hilang. Benda itu hanya akan ada selama proses pemulihanmu, sama halnya dengan kacamata hitam yang kamu gunakan.” Aku spontan menghela napas panjang. Jika giff itu ingin segera aku lepas, berbeda dengan kacamata hitam ini. Aku tidak ingin melepasnya, sekarang atau mungkin selamanya. “Itu sulit. Aku tidak berpikir untuk bisa melakukannya.” “Kenapa tidak? Saat kamu sembuh, dunia akan lebih terlihat indah tanpa kacamata hitam.” “Dokter yakin kalo dunia akan terlihat terang? Bagaimana jika ada awan hitam yang membuatnya gelap seketika?” “Maka dari itu, kita akan berusaha menghilangkan awan gelap dari pandangan matamu.” “Lagi-lagi itu terdengar seperti dongeng,” gumamku tanpa sadar. “Maaf ... “ ucapku setelahnya. Aku sama sekali tidak bermaksud menyakiti perasaan dokter Dian, aku tahu beliau sangat berusaha untuk membantuku segera sembuh dari semua ini. “Tidak masalah, Aaris,” sahut dokter Dian, seperti biasa selalu bisa memaklumi semua yang aku katakan. “Bagaimana dengan sekolahmu?” “Gagal total, Dok. Aku tidak sama sekali bisa mengendalikan rasa takut itu,” ujarku pelan. Entah rasanya sedih atau biasa saja. “Semua masih terasa sama. Rasa takut itu belum berkurang.” Kali ini aku spontan menunduk, sedih sudah pasti, tapi sekarang aku lebih merasa bersalah pada dokter Dian yang sudah berusaha sebaik mungkin. “Tidak masalah. Masih ada banyak kesempatan lainnya,” sahut dokter Dian. Terlihat jelas berusaha menghiburku agar tetap semangat. “Ya, satu tahun lagi mungkin—” “Atau sebelum itu ...,” sela dokter Dian , nadanya terdengar seperti sedang bertanya, tapi aku tidak memiliki jawaban untuk itu. “Mau coba terapi baru ? Tugasnya sangat mudah. Kamu hanya butuh kamera.” “Hem, memangnya apa tugasnya, Dok ?” “Dokumtasi. Kamu bisa membuat film singkat tentang keseharian kamu di rumah. Apa saja, entah itu tentang Sandrina yang sedang bermain, Mama yang sibuk masak, apa saja. Kamu bisa menanyakan hal-hal sederhana pada mereka, melatih sedikit-demi sedikit interaksi. Bagaimana?” Aku spontan mengangkat bahu. “Apa itu akan berhasi?” “Gimana kalo kita coba dulu? Nanti biar dokter yang bakal bicarakan ini ke mama kamu. Untuk memberikan kamu kamera dan juga ponsel.” “Ponsel ?” ulangku. Ponsel, laptop, benda-benda itu telah lama hilang dari kamarku. Setelah insiden itu, aku bukan hanya berhenti keluar rumah, tapi juga berhenti berinteraksi dengan orang lain, secara langsung atau tidak langsung. Aku menutup semua akun media sosialku, email, nomor w******p dan semua hal yang bisa membawaku berhubungan dengan dunia luar yang mengerikan. Satu-satunya alat elektronik yang masih aku gunakan hanyalah televisi dan game PS yang ada di kamar, “Ya, mungkin kamu ingin mengirim pesan ke beberapa temanmu.” Aku langsung menggeleng pelan. “Atau kamu bisa coba kirim pesan ke Irsyad ? Itu bisa jadi langkah awal kembali membawa kamu berinteraksi secara online. Kamu mau coba?” “Hem ... sepertinya tidak semudah itu, Dok ... tapi terdengar sangat menarik. Insyallah, aku akan mencobanya kapan-kapan.” “Bagus.” Dokter Dian bertepuk pelan, membuatku merasa seolah telah melakukan seratus kebaikan di muka bumi ini. “Kita coba mulai besok, oke?” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN