Pingsan

1882 Kata
(Pov Rara) “Asam !” mukaku seketika berubah jadi kecut setelah tanpa sengaja menggigit asem yang terlihat bak daging di dalam sup daging buatan mumy. “Idih, kurang banyak tuh makan daging sampe asam aja di embat ....” ejek bang Gino sadis. Aku cemberut, meraih segelas air dengan mandiri, lalu meneguknya pelan-pelan. “Ada apa lagi Rara ? Mumy perhatiin kayaknya dari tadi kamu kayak banyak ngelamun gitu .... gak baik anak gadis ngelamun terus entar kesambet jin.” “Ih mumy apaan sih ...” Aku makin cemberut, sedangkan bang Gino makin tersenyum lebar, selebar harapan orang tua. “Lala emang lagi banyak masalah, mumy ...” kataku akhirnya, tidak mampu membenam rasa gelisah ini sendiri. “Udah minta maafnya, sama siap itu ...?” Mumy melirik aku lalu bang Gino bergantian, tap bang Gino juga lupa. Keduanya jadi sama-sama berpikir. “Anak pemilik yayasan ....” sahutku yang akhirnya yang tidak tega melihat bang Gino yang berusaha seluat tenaga memeras otaknya. “Nah itu.” Mata Mumy bersinar seolah baru melihat mutiara berkilau. “Gimana, udah minta maaf?” “Belum ...” sahutku lesu. “Bolo-bolo minta maaf, lala malah tambah masalah lagi.” “Itu masalah apa hobi sih? Kok nambah muluk?” celutuk bang Gino pedas, sepedas mulut tetangga. “Kalo bang Gino mau ngambil masalahnya, ambil aja, Lala ikhlas lahil batin,” balasku yang sedang tidak bersemangat meladeni semua celoteh jahil bang Gino. “Idih ogah. Abang mah hidupnya jelas. Udah punya hobi. Gak kayak Rara ...” tuhkan pedas lagi ! Aku langsung menatap mumy, meminta mumy yang menghentikan mulut samyang bang Gino. Namun yang terjadi mumy malah tertawa pelan, mengira ekspresi ngambekku bagian dari lelucon bang Gino. “Kalian ini emang lucu-lucu banget ... ” tambah mumy polos, makin membuat aku keki. “Auah ... telselah bang Gino aja.” Aku memutar bola mata malas. “Aku mau diam aja,” kataku kemudian memulai aksi diam. Sepanjang aksi diamku, ada-ada saja kelakukan bang Gino yang selalu hampir berhasil memancing tawaku, mulai dari nasi yang gak sengaja ke hirup di hidung , masuk ke mulut, mata yang kelilipan biji cabe yang mencuat dari sambel dan yang terbaru bang Gino lupa kalo dia itu gak suka daging sapi. Diam-diam aku menahan tawa yang sejak tadi menggetarkan perut dan seisinya. Ini sangat melelahkan, tapi aku berusaha sekuat tenaga sampai akhirnya .. Prrrffftt .... “Eh, mumy cium bau sesuatu gak?” Hidung bang Gino mengendus-endus, bergerak naik-turun. “Iya, kayak ada bau apa gitu ...,” sahut mumy yang serempak ikut mengendus. “Kayak bau ...” “Dek, lo kentut ya ...?” tanya bang Gino. “Gak.” “Tapi baunya dari kamu lo dek ...” bang Gino memicingkan matanya. Aku mengangguk sungguh-sungguh. “Lala benelan gak kentut bang, tapi .... cepilit dikit,” jawabku jujur. “Idih, jorok !” bang Gino spontan langsung bangkit dari kursi dengan gaya dramatis sembari menutup hidungnya, seolah bau ini akan membunuhnya. “Maaf, mumy, Lala tadi gak sengaja kebablasan ...” Aku spontan memegangi dua telingaku, meminta maaf. “Lah dia malah bacot, buruan sana ke kamar mandi !” pekik bang Gino histeris sendiri. “Inikan juga salah abang! Kenapa dali tafi ngelawak, udah tahu Lala lagi ngambek.” Bang Gino menutup hidungnya dramatis. “Buruan sana dek, mau muntah nih!” “Iya ... iya, ih bawel.” Aku segera bangkit, baru beranjak lima langkah dari meja makan, bang Gino kembali berteriak meminta aku mematikan terlebih dahulu ponselku yang berdering baru saja. Ternyata ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Aku ingin mengabaikannya, tapi pekikan tiba-tiba bang Gino membuatku salah menggeser menjadi terima panggilan. “Iya ini siapa?” sahutku buru-buru. Bang Gino terus melempar tatapan tajam. “Halo ini siapa sih, buluan, aku lagi sibuk nih ... Kalo gak nyahut, aku matiin nih !” “Ternyata lo. Gak akan gue lepasin lo besok !” “Ini s-siapa?” Panggilan telepon dimatikan sepihak. Panggilan telepon dari cowok itu membuatku sangat gelisah. Suaranya terdengar sangat marah, apa jangan-jangan saudaranya itu sudah memberitahu kalo aku melabelinya dengan sebutan monster ? Apa karena itu dia sangat marah, dan kali ini omongannya bukan hanya gertak semata? Dia anak pemilik yayasan, gimana kalo untuk melampiaskan kemarahannya dia memasukkan namaku ke dalam olimpiade matematika? Atau dia bakal nyuruh bu Helen—guru matematika memberiku lima jam tambahan. “Duh, kenapa sih kamu halus nyebut dia monstel ....” Semalaman itulah yang aku pikirkan, aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih apalagi untuk memejamkan mata, rasanya seperti akan ada bahaya yang mengintai di luar jendelaku jika aku memejamkan mata dan terlelap. Padahal jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tapi mataku belum juga terpejam meski rasa kantuk sudah bergelantung membuat hitam kantung mataku. Pasrah untuk memaksa mata, aku memutuskan untuk salat tahajud dua rakaat lalu di tutup dengan salat witir tiga rakaat. Rasa gudahku tidak sepenuhnya hilang, tapi setidaknya hatiku mulai sedikit tenang. Leni pernah berkata, kalo kenyamanan bisa di dapat dari ketidaknyamanan. Kemarin aku sama sekali tidak mengerti apa yang Leni katakan, tapi sekarang aku paham apa yang Leni katakanya meski tidak sepenuhnya paham. Setelah itu aku kembali ke kasur, hanya sekedar ingin merenggangkan pinggang yang sudah jompo ini. Aku sama sekali tidak ingin tidur karena jam sudah menunjukkan pukul empat dini hari, sebentar lagi azan subuh berkumandang. Namun yang terjadi malah sebaliknya, aku kebablasan tidur sampai jam enam pagi. “Aaaaahhhh telat !” pekikku panik. Di luar pintu bang Gino dan mumy sudah kompak membuat paduan suara untuk membangunkanku. “Iya ... Lala udah bangun!” Aku langsung bangkit dari kasur dan segera berlari ke kamar mandi. “Kamu kesiangan, sayang? Udah salat subuhnya?” tanya Mumy. “Iya, Mumy, ini Lala mau salat dulu,” sahutku cepat, sembari mengenakan mukena, meski kesiangan kewajiban salat subuh harus tetap dijalankan. Selesai salat bang Gino kembali menyuarakan rasa dongkolnya, membuatku rada panik, berlari ke sana-ke sini, kebingungan, ada saja yang aku lupakan, udah ambil tas, lupa ambil buku, sudah ambil buku lupa bawa tas. “Lima menit belum keluar, abang tinggal ya !” ultimatum bang Gino. “Ih abang tungguin ....” pekikku yang akhirnya sudah selesai dengan semua yang seketika terasa ribet saat terburu-buru. “Ayo buruan berangkat, telat nih abang!” bang Gino sudah siap di atas motornya, kebiasaan bang Gino jika telat pasti akan lebih memilih naik motor. “Lala pelgi dulu ya, Mumy. Assalamualaikum.” “Eh, Rara gak sarapan dulu?” Mumy yang baru saja keluar langsung menghentikan laju motor bang Gino. Bang Gino langsung melempar tatapan tajamnya, yang ketajamananya bisa melukaiku saat aku mengataka ya. “Gak usah mumy, makan di jalan aja. Uang bang Gino kan banyak.” “Enak aja! Udah buat abang telat, segala minta traktir lagi!” sungut bang Gino, tidak ramah-tama. “Belajal basa-basi gak sih, Bang. Itu kan Cuma basa-basi.” “Eleh, kalo di iyain, pasti mau, kan?” “Maulah bang, masa gak mau. Jadi mau salapan di mana? Bubul ayam dekat pengkolan enak tahu, Bang.” “Dasar adek gak tahu diri,” dengus bang Gino. Sepanjang jalan diisi dengan omelan panjang bang Gino soal kemungkinan dirinya yang akan telat karena ulahku yang dianggap tidak menghargai waktu. Ingin rasanya aku lompat dari motor, mendarat di semak hijau yang masih sedikit berembun, lalu bangkit tanpa punggung yang sakit. Tapi itu hanya akan terjadi di drama action, kenyataan tidak pernah semudah itu, apalagi untuk melompat dari motor yang melaju cepat. Namun hal terburuknya bukan terletak di situ, tepat di seperempat jalan menuju sekolah, motor bang Gino berhenti mendadak. “Ya, abang lupa isi bensin ...,” kata bang Gino dengan nada tidak bersalah sama sekali. “Ya bang, telus gimana? Lala bisa telat kalo harus jalan kaki.” “Bagus dong. Kita jadi sama-sama telat. Siblling coupel banget, kan,” sahut bang Gino santai. “Gak lucu!” Aku mendengus kesal. “Semua ini kan juga gara-gara Lo. Siapa suruh telat, coba kalo gak telat, kita gak bakal naik motor dan abang gak telat, plus gak perlu dorong motor. Lo mah enak dek, timbang jalan doang, lah gue—“ “Iya mending Lala jalan aja ketimbang dengar ciutan bang Gino lagi !” potongku cepat. Buru-buru kabur sebelum bang Gino kembali bersuara. “Ya Allah, ini mah asli telat,” gumamku pasimis begitu melihat jam di layar ponsel. Hampir pukul tujuh tepat, batas telat hanya mencapai pukul tujuh, di jalan ini juga tidak ada angkutan, bus atau ojek. Dalam kondisi seperti ini, mustahil aku bisa sampai ke sekolah sebelum jam tujuh. “Gara-gara tuh cowok sih, aku jadi overthinking, gak bisa tidul, telus kesiangan ....” dalam kondisi panik seperti ini memang paling mudah menyalahkan orang lain, ketimbang melakukan intropeksi diri, itu yang pernah mumy katakan mengutip dari dialog n****+ yang pernah mumy baca. Dengan napas terengah-engah, aku terus berjalan secepat yang aku bisa. Sunscreen mahal milik mumy yang aku pakai agar terhindar dari sibar bahaya matahari, rasanya sudah tidak ada lagi di wajahku. Wajahku banjir keringat. Pukul tujuh lewat lima belas menit. Aku sampai di sekolah. Di depanku gerabang sekolah sudah tertutup rapat, tidak memberi celah sedikit pun padaku untuk nyempil masuk ke dalam. Berbekalkan niat ingin sekolah yang baru kudapat setelah berjalan jauh menembus rintangan, melewati lembah, mendaki gunung, menyeberang lautan, aku teringat satu akses yang bisa membawaku masuk ke sekolah dengan aman, tentunya tidak dengan cara yang baik. Gerbang belakang yang sedang di renovasi! “Aman ....” gumamku setelah sepuluh kali celingak-celinguk di daerah sekitar gerbang belakang. Dengan nafas yang masih naik-turun, aku mulai memanjat gerbang belakang, ilmu memanjat yang bang Gino berikan sewaktu kecil rupanya bermanfaat sekarang. Tapi semua kesulitan tidak berhenti di situ, setelah sampai di tempat paling atas gerbang. Jantungku mulai berdegup kencang, salting saat melihat ke bawah. “Masyallah, tinggi banget ....” gumamku, napasku makin naim-turun, seirama degup jantung yang makin menjadi. “Tenang Lala, kamu pasti bisa. You can do it !” Aku menarik napas dalam-dalam. Meski belum sepenuhnya tenang, aku memaksakan diri untuk melompat. “Lompat !” pekikku kuat, tidak sadar kalo sekarang aku tengah melakukan aksi ilegal di sekolah. “Itu ada yang masuk lewat gerbang belakang,” seru suara berat cowok di tengah tubuhku yang masih belum menapak ke bumi. “Jangan biarin dia lolos !” pekiknya, membuatku panik bukan main. Lima orang yang terdiri dari dua cowok bagian keamanan dan dua cewek dari anggota OSIS mengepungku yang baru saja mendarat ke tanah. Aku menelan ludah, melihat wajah tegang mereka yang seolah siap menjadikanku santapan makan siang. “A-aku bisa jelasin ...” cicitku susah payah. Mereka sama sekali tidak mengubah ekspresisnya membuat tubuhlu panas-dingin merasa semakin bersalah telah melanggar peraturan sekolah. “Jadi tadi tuh celitanya—“ “Oh ternyata lo yang telat ...” sela suara berat seorang cowok yang entah dari mana muncul di belakang bahu dua cowok bagian keamanan. “K-kamu ....” Aku terbata-bata begitu melihat wajah cowok itu. Tubuhku tidak lagi panas-dingin, tapi sudah membeku. “Gak heran sih gue, sejak awal ketemu lo kan emang suka nyari masalah. Gue curiga hobi lo jangan-jangan cari masalahnya?” “Kemarin gara-gara lo juga saudara gue—“ Bruk ! “Oi lo kok pingsan sih !” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN