(POV Rara)
Aku membuat masalah baru lagi ! Satu masalah belum selesai dan aku kembali terlibat masalah. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa jadinya nasibku sekarang? Ya Allah ... aku takut.
“Eh, tunggu dulu ....” Aku langsung menyetop dua anak PMR yang baru saja keluar dari ruang UKS. “Gimana kabal olang di dalam?”
“Olang ...” Mereka saling pandang lalu tertawa, dalam situasi seperti ini, aku sama sekali tidak suka dengan tawa mereka.
“Buluan jawab ?”
“Di dalam gak ada olang, kak. Adanya orang ...”
Aku mengangguk cepat, membenarkan koreksian mereka. “Dia baik-baik aja, kan?” tanyaku tidak sabaran.
Dua siswi itu kembali saling pandang, lalu bahu keduanya kompak naik ke atas. “Kurang tahu sih, kak ... orangnya gak mau di liat. Jadi kita cuma bisa liat dari tirai putih aja.”
“Dia masih gak mau ketemu olang ?” Keningku berkerut, teringat akan kondisi genting tadi, saat orang itu tiba-tiba lari dan jatuh dari tangga. Kepalanya berdarah, tapi dia sama sekali tidak peduli itu dan malah sibuk berlari mengambil kacamata hitamnya yang jatuh, dia juga tidak mau saat beberapa murid datang hendak memapahnya dan lebih memilih berjalan sendiri meski dengan susah payah. Sesampainya di UKS, dia juga tidak mau ada yang masuk sebelum ia membuat tirai putih melingkari tempat tidurnya.
“Udah dulu ya kak, kita harus balik ke kelas,” pamit keduanya. Aku hanya mengangguk sekilas masih belum bisa fokus pada yang lain, selain memikirkan keadaan cowok itu.
Aku harus apa sekarang? Aku beringsut mendekati pintu UKS yang setengah terbuka, lagi-lagi permintaan cowok itu. “Assalamualaikum ...,” sapaku sedikit ragu, pasalnya sejak tadi cowok itu sama sekali tidak menghiraukan perkataanku. Tapi diluar dugaan, kali ini dia merespon salamku. Suara berat cowok itu terdengar dari dalam. Aku menghela napas lega.
“Hem.. maaf mengganggu, nama aku Lala, aku gadis tadi yang gak sengaja nyenggol kacamata hitam kamu, aku ke sini mau minta maaf .... aku ... hem ... aku hem ... mungkin kalena aku lali-lali kamu jadi kaget... Aku minta maaf. Kamu mau maafin aku, kan? Nama kamu siapa, kalo aku boleh tahu? Kamu anak kelas mana?”
Tidak ada jawaban.
“Aku tadi lali kalena sebuah masalah, tadi ada monstel—“
“Lali ?” Tiba-tiba kembali terdengar suara berat cowok itu dari dalam.
“Iya, lali ... hem, yang bahasa Ingglisnya run ... lali...”
“R ...?”
“Ha? Maksudnya?” Aku mengernyit bingung. Tidak ada jawaban.
“Kamu tanya aku kenapa gak bisa ngomong eer ya?” simpulku. “Iya, cadel dali kecil.”
“Aku gak pelnah liat kamu sebelumnya. Kamu anak balu di sini ya?”
“Hem ....” Aku bergumam pelan, mulai canggung dengan situasi ini, berasa lagi ngomong sendiri. “Gimana keadaan kepala kamu? Masih sakit—“
“Lari? Kenapa?” potongnya tiba-tiba.
Lagi-lagi aku harus menyimpulkan sendiri perkataan sepatah cowok itu. Lari ... kenapa ... Ah aku tahu... Kenapa kamu lari? Seketika aku teringat kembali akan sosok cowok yang menyebalkan itu.
“Ah iya aku tadi mau celita itu .... jadi kelas aku ada mulid balu, nah, dia tuh nyebelin banget olangnya. Dua kali ketemu sama dia, dua kali juga dia buat aku dapat masalah. Pertama, aku di tuduh maling, di bawa ke official polisi. Kedua, dia bilang aku nguping di luangan kepala sekolah padahal aku, kan ... cuma dengal dikit,” jelasku bersemangat.
“Selius cuma dikit doang, telus dia ngancam katanya dia anak pemilik yayasan.” Nada suaraku mendadak lesu saat mengingat fakta itu. “Makanya tadi aku kabul dali kelas. Aku takut banget sama tuh olang.”
“Kelas ?”
“11 Bahasa 4.”
Tiba-tiba dari dalam terdengar suara tawa yang tentu saja berasal dati cowok itu. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi, apa perkataanku barusan terdengar lucu? Perasaan tidak ada yang lucu, terus kenapa dia tiba-tiba tertawa? Aku meringgis, jangan-jangan akibat jatuh tadi kepalanya jadi sedikit .... aku semakin merasa bersalah.
“Oh iya nama kamu siapa—“ Belum selesai kalimatku tiba-tiba ada suara berat cowok dari belakangku yang mengintrupsi. Aku spontan menoleh.
“Lo!”
“K-kamu lagi ....”
“Ngapain lo di sini?”
“Lah, sehalusnya aku yang nanya. Kan aku duluan di sini,” sahutku cepat. “Ngapai lo di sini ?!” tambahku sengaja meniru kalimat dan intonasi nyebelin cowok yang sekarang mendengus kesal.
“Percuma ngomong sama cewek kayak lo !” Cowok itu mengibaskan sebelah tangannya tepat di depan wajahku. “Minggir lo, gue mau masuk !”
“Gak boleh! Kamu gak boleh masuk! Lagian ngapain kamu masuk ? Jangan mentang-mentang anak pemilik yayasan, kamu jadi seenak jidat ya!” Aku langsung membentangkan tangan di depan pintu, cowok itu spontan menarik kembali langkahnya ke belakang.
“Lo apa-apaan sih! Minggir !”
“Gak! Lo gak boleh masuk! “
“Gue mau masuk!” bentaknya garang, tapi aku gak akan takut ! Aku harus melindungi cowok itu dari manusia nyebelin seperti dia.
“Gak boleh!” Aku makin menguatkan posisi sebagai penghalang pintu. Cowok itu mendesis kesal.
“Lo apa-apaan sih! Minggir gue mau masuk!” Kali ini cowok itu mengangkat tangannya kearahku, aku spontan berteriak dengan mata tertutup.
“Lo gila ya ?” sentaknya, membuatku kembali membuka mata. Aku mengerjap, ternyata cowok itu mengangkat tangannya bukan untuk mukulku, tapi untuk membenarkan rambutnya yang berantakan di depan cermin gelap UKS.
“Dasar cewek gak jelas ....” dengusnya. Aku mendelik, tidak terima, siapa di sini ya g tidak jelas? Jelas-jelas dia yang memaksa masuk.
“Minggir lo ....” suara hentakan sepatunya berhasil menciutkan tubuhku, menepi dari ambang pintu UKS.
“Aaris ... lo di dalam, kan?”
“Aaris ?” tanyaku bingung. “Dali mana kamu tahu namanya? Apa jangan-jangan kamu—“ Oh tidak! Cowok ini pasti sudah membuat daftar list nama korban selanjutnya.
Cowok itu menoleh. Satu alisnya terangkat seolah mengatakan, banyak tanya!
“Cowok yang di dalam hati-hati !” teriakku spontan. “Olang yang aku maksud itu, cowok ini.”
“Hati-hati ?” cowok itu kembali menoleh. Keberanianku sempat menciut hendak mundur, tapi aku tidak tega membiarkan cowok yang tadi di ganggu cowok menyebalkan ini. Aku harus berani, kebaikan tidak boleh lemah!
“Aku yakin kamu jahat! Mau ngapain kamu masuk ke dalam? Kamu tahu dia mulid balu, kan? Makanya kamu mau nindas dia juga? Kamu mau ngancam dia, kayak kamu ngacam aku, iya, kan?” jawabku berusaha terlihat tidak takut.
Kali ini cowok itu benar-benar memutar seluruh tubuhnya, kembali menghadap ke arahku. “Dia saudara gue.”
Deg !
Apa ini akhir riwayatku di sekolah ini ?
.
.
“Main bareng Sandrina yuk, kak ....” anak kecil berusia lima tahun sibuk mondar-mandir menawarkan beragam mainan pada Irsyad dan Aaris yang sedang di sidang di ruang tamu dengan tawa cerianya. Sandrina sama sekali tidak paham situasi apa yang sedang kedua kakaknya hadapi. Bukan hanya keadaan kedua kakaknya, tapi situasi rumah yang sedang tidak ‘dingin’.
Di depan mereka berdiri Rita dengan tangan bersedekap di d**a, menatap bergantian kedua putranya yang memilih menunduk ketimbang harus bertemu tatapan tajam mamanya.
“Irsyad, apa janji kamu kemarin ?” tanya Rita pelan tapi penuh penekanan.
Irsyad menarik nafas pelan sebelum menjawab pertanyaan mamanya. “Irsyad janji bakal jagai Aaris.”
“Terus ....?”
Irsyad terdiam. Mata Rita kini beralih pada Aaris. “Aaris bisa jelaskan pada mama kenapa kamu gak bareng Irsyad? Dan malah milih bersembunyi di kamar mandi ?”
“Karena kelalaian kamu, Irsyad, mama bakal potong uang jajan kamu selama sebulan.”
“Loh kok ma?”
“Dan untuk Aaris—“
“Sayang ....” Dari arah belakang Rita muncul pria paru baya yang sudah mengganti setelan jas dan kemeja hitamnya dengan setelan kaos dan celana traning panjang yang lebih santai.
“Aaris lagi sakit, dia baru aja jatuh dari tangga, sebaiknya biarkan dia istirahat dulu. Masalah tadi, nanti kita bicarakan besok,” ujar Rapi seraya meraih pundak istrinya.
Rita menghela napas panjang, kemarahannya masih belum reda. “Itu masalahnya sayang, ini baru hari pertama sekolah—“
“Papa, gendong ....” sela Sandrina sembari menaikkan kedua tangannya di hadapan Rapi. Sandrina sama sekali tidak mengerti kenapa semua orang dewasa ini terlihat serius, dia hanya ingin bermain.
“Dan sekarang Aaris pulang dalam keadaan kayak gini dengan kakinya keseleo dan kepalanya luka.” Rita menghela napas panjang, terlihat sekali raut wajah cemas dari wajahnya.
“ Maafin Irsyad ma, gak bisa jaga Aaris ....” sahut Irsyad yang tidak tega melihat mamanya seperti tengah menahan tangis.
Aaris yang duduk di sebelah Irsyad meremas kedua tangannya, ingin mengucapkan hal yang sama tapi kalimat di kepalanya sangat tidak beraturan dan mulutnya selalu tertutup setiap kali ia hendak membukanya. Irsyad yang menyadari itu, segera meralat perkataannya.
“Kami minta maaf sudah membuat mama cemas dan sedih.”
Rita menatap bergantian kedua putranya. Jika tadi sorot matanya di penuhi kemarahan, kini sedikit meredup. Berganti tatapan haru, sedih dan cemas.
“Irsyad janji setelah ini Irsyad akan jagain Aaris dengan lebih baik,” tambah Irsyad.
Rita menatap sendu anak pertamanya itu. “Bukan mama gak percaya sama kamu, tapi hal seperti ini sudah pernah terjadi. Sudah dua kali .... “
Irsyad merasa seperti ada godam yang mengenai hatinya saat mamanya mengatakan hal itu, membuatnya kembali teringat akan kegagalannya sebagai saudara. Kegagalan yang membuat Aaris menjadi seperti ini. Aaris yang tidak seperti Aaris yang dulu ia kenal.
“Selain itu, mama juga tidak mau egois dengan mengorbankan semua waktu kamu untuk menjaga Aaris.” Rita mengalihkan pandangnya pada Aaris. Putranya itu terlihat gemetar, bahkan berada di lingkungan keluarga sendiri Aaris merasa ketakutan. Rita tersenyum getir. Sedih melihat keadaan putranya sekarang.
“Mama gak akan bisa tenang kalo Aaris tetap sekolah.”
“Maksud mama ?” Irsyad kembali bersuara menggantikan Aaris yang masih terus membisu. “Bukannya dengan datang ke sekolah itu akan membantu Aaris untuk melawan rasa takutnya? Kalo Aaris di rumah, bagaimana terapi ketakutannya bisa hilang?”
“Ada banyak cara lain. Cara yang gak buat Aaris seperti ini,” sahut Rita emosional.
“Tapi mami, bukannya cara ini yang sudah dokter Dian katakan supaya Aaris cepat sembuh.”
“Buat apa sembuh kalo mama malah harus kehilangan Aaris? Ini terlalu berisiko Irsyad !” Suasana panas di ruang tamu makin menjadi.
Rapi mengambil inisiatif untuk menyuruh Aaris masuk ke kamarnya di temani Sandrina, yang dengan senang hati kembali menawarkan Aaris beragam permainan di tangannya. Setelah Aaris dan Sandrina berada di kamar, Rapi kembali menghampiri istri dan anaknya
“Setelah papa pikir, apa yang mama kamu putuskan itu benar. Dengan mengirim Aaris ke sekolah normal, itu terlalu berisiko.”
“Pa, tapi Aaris itu normal. Dia bukan orang yang gak normal sampai gak bisa sekolah di sekolah normal.”
“Papa tahu Irsyad, tapi kamu harus sadar ini, kalo untuk sekarang Aaris gak baik-baik aja. Setelah apa yang dia lalui, dia gak bisa langsung kembali ke sekolah seperti anak ‘normal’ lainnya.”
“Kita semua sayang Aaris dan ingin Aaris segera sembuh dari sakitnya. Tapi untuk sekarang, kita gak bisa memaksakan keadaan. Biar nanti papa dan mama yang bicara pada Aaris.”
Irsyad yang merasa bersalah pada Aaris. Diam-diam mengendap masuk ke dalam kamar Aaris melalui balkon. Tidak menghiraukan himbauan dari dokter Dian yang melarang Irsyad menemui Aaris tanpa seizin Aaris.
Semenjak terjadi ‘insiden’ itu, Aaris tidak mau menemui siapa pun untuk sekedar berinteraksi pun tidak mau, kecuali dengan Sandrina. Aaris benar-benar sangat rapuh seperti gelas yang mudah sekali jatuh dan pecah. Namun akhir-akhir ini, Aaris sedikit menunjukkan sebuah perkembangan, dia mulai mau mendengar dan bertemu dengan mama, papa, dokter Dian dan Irsyad.
“Aaris ....”
“Astagfirullah .... Lo kok bisa—“ Aaris segera membekap mulutnya sendiri, segera memutus kontak mata dengan Irsyad, lalu mematikan lampu kamar. Kamar seketika gelap.
“Ini, gue bawain kacamata hitam baru buat lo.” Irsyad menyodorkan kacamata hitam ke sembarang arah. Dua menit selanjutnya, kacamata hitam itu sudah berpindah tangan. Aaris segera memakainya.
“Sekarang boleh hidupin lampu ? Gue takut kejedot lemari?”
Tidak ada jawaban. Namun Irsyad yakin, Aaris pasti sedang mengganggu, lupa kalo hal itu percuma, Irsyad tidak bisa melihatnya. Irsyad berjalan pelan, meraba-raba sekitar dengan berbekalkan ingatnya akan letak tombol lampu di kamar Aaris. Irsyad sedikit kesulitan melakukan itu, sudah hampir setengah tahun Irsyad tidak masuk ke kamar Aaris, ingatnya sedikit payah.
“Akhirnya terang juga ....” Begitu lampu menyala yang Irsyad lihat Aaris tengah duduk di ujung kasurnya, memberi sedikit ruang untuk Irsyad yang mungkin ingin ikut duduk di sebelahnya.
“Gimana kejadian tadi, kok bisa lo jatuh dari lantai?” tanya Irsyad to the point. “Gue dengar ada cewek yang teriak pas lo jatuh? Siapa? Apa dia juga yang bikin lo jatuh?”
Irsyad membuang napas berat, menunggu jawaban Aaris sama halnya seperti menunggu bulan berbicara, sangat sulit.
“Ris, gue ini saudara lo .... apa lo sedikit oun gak bisa percaya sama gue?
“Kenapa lo nyimpen semuanya? Lo tutupi semuanya, bahkan sampai detik ini lo gak mau cerita apa yang terjadi di acara perpisahan itu. Lo sebenarnya anggap gue saudara lo bukan sih ?”
“Atau apa ini cara lo buat hukum gue atas ketidaktahuan gue tentang lo selama ini ?”
“Gue mohon, biarin gue bantu lo. Tolong kasih tahu gue, apa yang sebenarnya terjadi di acara perpisahan itu ...”
**