(Pov Rara)
Irsyad bukan satu-satunya cowok menyebalkan yang menakut-nakutiku dengan lelucon menyebalkannya itu, yang sukses membuatku lari kocar-kacir hingga menabrak tiang bendera dan jerawat legendaris yang selama ini nongkrong di keningku pecah tidak bersisa. Aku hampir Saja pingsan saat melihat darah keluar dari jerawatku itu, beruntung Leni ada di sana dan segera menghapus darah itu.
Sekarang, bang Gino, cowok menyebalkan selanjutnya, dengan sadisnya membangunkan aku dari tidur siang menggunakan aroma kentutnya yang sengaja ia bungkus di dalam plastik. Hari ini benar-benar hari yang sulit bagi seorang gadis manis nan lucu untuk hidup dengan tenang.
“Salah sendiri, dibanguni baik-baik malah kaya kebo, gak bangun-bangun. Kadang abang heran deh, kamu tidur apa koma sih? Segitu sulitnya kalo udah tidur siang,” tutur bang
“Udah tahu adiknya lagi tidul, malah di bangunin. Emang gak bisa gitu ke swalayan sendili? Mesti banget ngajak aku?” protesku.
“Iya dong. Kalo abang sendirian, terus siapa yang jadi babunya? Siapa yang dorong keranjang belanjaan?” Bang Gino tertawa jahat.
Menyebalkan!
Selama perjalanan menuju swalayan dengan menggunakan mobil kebanggaan bang Gino, aku memilih aksi mogok bicara sampai bang Gino meminta maaf.
“Udah sih gitu aja marah ....” bujuk bang Gino.
“Gitu aja?” Aku mendengus. “Lagian abang manja banget mau ditemenin segala. Pekan kemalin, Lala juga beli kebutuhan dapul sendili.”
“Sekali-kali berbakti sama abang ....”
“Gimana mau belbakti coba? Abangnya aja nyebelin. Mana ada olang bangunin olang pake kentut,” sindirku tajam, bukannya merasa bersalah bang Gino malah tertawa pelan. Aku mendengus kesal.
“Iya deh, abang minta maaf ...,” ucap bang Gino seusai tertawa. “Udah ya jangan marah lagi,” bujuk bang Gino begitu mobil selesai di parkirkan.
“Hem ....” sahutku pelan, meski sudah memaafkan tapi aku tetap kesal.
“Nanti selesai belanja, abang traktir es cream kesukaan lo.”
“Serius, bang?”
“Iya,” sahut bang Gino, kali ini tidak terlihat menyebalkan seperti dua menit yang lalu.
Aku tersenyum simpul. “Dua ya, bang?” tawarku.
“Kebiasaan kalo di traktir suka morotin. Satu aja tuh mahal, mau minta dua segala. Gak baik makan kebanyakan es sakit gigi entar.’
“Satunya buat stok di lumah. Boleh ya ... atau Lala ngambek lagi ...”
“Oke ! Dua es cream.”
“Nah gitu dong abang ganteng.”
“Kalo ada maunya aja muji. Udah yuk buruan turun,” ajak bang Gino, lalu dengan semangat aku turun dari mobil.
Selama proses belanja, bang Gino sibuk dengan daftar kertas belanjaan yang dibuat mumy, sedangkan aku, sesuai rencana bang Gino menjadi babunya, membawa troli ke sana-sini mengikuti langkah bang Gino yang sangat cepat, seolah sedang dikejar banci. Aku berkali-kali protes, tapi bukan bang Gino namanya, jika tidak menyebalkan.
“Oke, selesai,” ujar bang Gino, girang. “Ayo dek, kita pulang sekarang, teman abang kirim pesan, ada kerja kelompok tambahan.”
“Terus?”
“Kita harus pulang sekarang,” jawab bang Gino enteng. Mataku memicing tajam, bang Gino lupa pada janjinya.
“Loh kok malah diam sih? Buruan dek ...”
Aku berdeham panjang. “Bang!”
“Apa ?”
“Kan janjinya mau beli es cream dulu ....” protesku. “Lala udah capek lo jadi babu abang dali tadi ...”
“Oh iya abang lupa. Tapi abang buru-buru banget, Ra. Kamu beli aja sendiri ya. Kamu bawa uang, kan? Nanti abang ganti di rumah,” kata bang Gino sembari buru-buru pergi membawa kantong belanjaan.
“Ya udahlah gak papa. Sekalian me time sama dili sendili ...,” gumamku sembari berjalan. Swalayan yang baru kami datangi kebetulan berada di dalam mall dengan tiga lantai. Di lantai pertama tempat belanja, toko dan sebagainya. Di lantai kedua, ada arena bermain dan bioskop. Di lantai ketiga merupakan arena yang terdapat beragam makanan, minuman ala-ala street food dan ada juga restoran yang kata orang memiliki cita rasa yang sangat enak.
Setiap kali aku datang ke sini, aku pasti selalu mampir ke kedai es cream yang rasanya tidak pernah gagal. Selalu sukses memanjakan lidah, meski harus menunggu dengan antrian yang sangat panjang.
Saat asik mengantri, aku tidak sengaja melihat Irsyad. Cowok menyebalkan itu berjalan ke arah yang sejalan dengan tempatku berdiri. Mustahil untuk bersembunyi, tidak ada atribut di sana yang akan membantuku untuk tidak terlihat dari Irsyad. Jalan satu-satunya agar tidak bertemu Irsyad hanyalah kabur, bersembunyi di suatu tempat yang sedikit tertutup.
“Ah iya, restoran ...,” gumamku, segera berlari-lari kecil masuk ke dalam restoran. Beruntung Irsyad tidak sempat melihatku.
Begitu masuk ke dalam restoran, aku tercengang takjub. Intorior restoran ini sangat estetik, memadukan antara konsep klasik dan moderen. Tempat duduknya juga di konsep ala-ala restoran bintang lima, elegan dan mewah.
Aku sengaja duduk di bagian yang dekat dengan pintu agar bisa memantau pergerakan Irsyad. Rencananya setelah Irsyad pergi dari sana, aku akan langsung keluar dan kembali ke antrian kedai es cream. Namun apa yang terjadi ? Irsyad rupanya berhenti di antrian kedai es cream.
“Ah? Dia juga beli es cream di sana?” bahuku turun, keinginan untuk makan es cream hari ini pupus.
“Permisi, mbak mau pesan apa?” tanya seorang pelayan wanita yang berusia sekitar dua puluh tahun, sembari menyodorkan daftar menu. Aku kembali berdecak kagum, bahkan seragam pelayannya saja lebih bagus ketimbang pakaian yang aku kenakan, rapi, bersih dan wangi. Selain itu nada suaranya juga sangat ramah. Sop yang sangat baik.
“Eh, iya mbak ..,” sahutku malu-malu. Perutku lumayan lapar, jika aku makan di sini tidak masalah, harganya pasti tidak akan sampai menjemboli dompetku, kan? Lagian semuanya juga akan di bayar bang Gino
“Mbak saya mau makanan yang paling disukai di sini ya ... saya balu peltama di sini, jadi saya gak tahu yang enak yang mana.”
“Oh baiklah, mbak. Kalo gitu nanti saya pesankan makan favorite di sini. Dan untuk minumnya, mau apa mbak?”
“Air mineral aja.”
“Oh, baik. Mohon tunggu sebentar ya, mbak.”
“Iya, mbak ....” sepeninggal pelayan tadi, aku kembali melihat ke arah Irsyad, dia masih mengantri di kedai. Aku mendengus, rasanya masih tidak terima karena kehadiran Irsyad membuat aku gagal menikmati es cream favoriteku.
“Tapi ya udahlah, kalo dipikil-pikil, di sini gak buluk juga. Siapa tahu bisa jadi tempat makan favorite ....” gumamku riang.
.
.
(Pov Irsyad)
Ide menenangkan diri dengan datang ke mall merupakan ide terburuk sepanjang masa! Semua bermula dari gue yang berniat membeli es cream di lantai tiga, lalu setelahnya gue berniat turun ke lantai dua, ke arena permainan. Namun semua langsung gagal saat mata gue tidak sengaja menangkap seorang gadis yang kebetulan juga melihat ke arah gue.
“Ilsyad! Ilsyad !” teriaknya heboh, semua mata yang semula tertuju padanya kini berbalik menoleh pada gue.
Gue berlagak tidak kenal dan berusaha untuk kabur dari sana, tapi menyebalkannya gadis itu malah menghampiri gue dengan berlinangan air mata.
“Pak, ini teman saya. Kita satu kelas,” katanya. Dua cowok berseragam satpam itu seketika menahan langkahku.
“Ilsyad, tolong aku ....” katanya di sela tangisnya. “T-tadi aku makan di lestolan itu, tapi aku gak sadal kalo dompet aku jatuh. Aku gak punya uang buat bayal.”
Dahi gue sedikit mengernyit, mencerna semua informasi yang gadis itu berikan. Selain kalimatnya makin berantakan karena banyak kata R yang hilang, suara tangisnya juga sangat mengganggu. Meski begitu, gue cukup punya hati untuk tidak protes dalam keadaan seperti ini.
“Jadi bagaimana ini? Apa kamu sebagai teman mau membayarkan makanan teman kamu ini?” sela salah satu satpam yang ada di sebelah kanan gue.
“Jika tidak, kami terpaksa melaporkan mbak ini, karena tidak bayar setelah makan,” sahut yang satunya, nampak ingin masalah ini segera selesai. Gue tidak ada pilihan lain, selain membayar makanan gadis menyebalkan ini. Untung gue membawa uang cash dan atm buat jaga-jaga.
“Pak, kalo boleh tahu emang berapa total semua makanan yang ‘teman saya’ makan?” gue sengaja menekan kata teman saya? Pasalnya, sejak kapan gue berteman dengan gadis ini? Yang ada dia selalu buat gue kesal di setiap pertemuan.
“Totalnya 500 rb, mas.”
“500 rb? Setengah juta?” Gue spontan melihat ke arah Rara, makan apa sampai bisa semahal itu?
“Air minelalnya telnyata mahal,” cicitnya sembari menunduk dalam, tidak berani melihat ke arah gue yang rasa-rasanya ingin kabur sekarang.
“Masnya mau bayar cash atau pake atm ?” tanya seorang pelayan yang entah kapan datangnnya, seketika membuyarkan lamunan gue.
“Hem, atm aja mbak. Saya gak punya uang cash,” sahut gue jujur.
“Kalo begitu, mari mas ke bagian kasir ...” ajak pelayan itu.
“Makasih, ya, Ilsyad ...,” cicit Rara yang memilih berjalan di belakang gue dengan kepala masih konsisten menunduk. Gadis itu tidak berani berjalan di samping gue.
“Aku gak tahu kalo gak ada kamu gimana jadinya,” gumamnya lagi.
“Ini gak gratis! Lo mesti bayar!” sahut gue tegas. Gue masih kesal, bisa-bisanya gadis ini menyeret gue dalam masalah sebesar ini?!
“Iya, aku bakal bayal kok ....” cicitnya, pelan.
“Nih pegang bonnya. Ini uang yang harus lo bayar ke gue.” Gue menyerahkan kertas bil begitu semuanya selesai.
“Ilsyad, makasih, sekali lagi ya ... aku gak tahu, gimana jadinya—“
“Lo udah ngomong itu tadi. Gak kreatif banget sih,” potong gue cepat, bosan dengan kalimat basa-basi ini.
“Semua udah beres, kan? Udah sana, jangan ganggu gue!” gue langsung berjalan cepat meninggalkan cewek menyebalkan itu.
Walaupun rencana gue sedikit berantakan, tapi gue memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah dan memilih melanjutkan rencana awal. Turun ke lantai dua untuk bermain game. Gue berniat pulang setelah rasa kesal gue merendah.
“Mas, jalannya jangan cepat-cepat, kasih tuh ceweknya kewalahan,” ujar seorang ibu yang berpapasan dengan gue.
“Cewek ?” gue menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. “Sejak kapan gue punya cewek? Pacaran aja enggan,” gumam gue heran. Tidak mau ambil pusing, gue kembali melanjutkan jalan dan sampai di arena bermain.
“Mas, lagi marahan ya? Sampe segitunya ...” Kali ini seorang pemuda yang berusia sepertinya di atas gue sambil tersenyum simpul, menatap ke arah belakang gue. Gue jadi tidak fokus dan langsung menoleh.
“Siapa mas?” tanya gue heran, di belakang gue hanya di penuhi bocil-bocil yang sedang asik bermain. Tapi bukannya berinisiatif memberitahu, mas itu malah makin tersenyum simpul melihat gue yang heran tidak menemukan siapa-siapa di sana.
“Semoga cepat baikkan ya, mas.”
“Mas, kurang tidur ya? Saya gak pernah pacaran, Mas. Dalam agama saya, gak boleh pacaran !” sahut gue yang entah kenapa mulai kesal.
“Aneh !” Gue kembali menoleh, tapi kali ini gue baru menyadari satu hal. Gue merasa ada yang memperhatikan gerak-gerik gue. Gue kembali berbalik, tapi kali ini diam-diam gue menghitung dalam hati untuk berbalik tiba-tiba.
Satu ...
Dua ...
Tiga ....
Dan ternyata ....
**