Pemakan Daging

2983 Kata
(Pov Rara) "Cari sana jodoh! Heran gue kok ada orang yang suka ke rumah sakit. Dasar sakit!” “Dia apa-apan sih ...” Aku mendengus sembari memandangi sekitar yang di d******i warna putih. Cowok nyebelin itu ternyata bernama Irsyad. Irsyad dan mamanya mengajak aku ke rumah sakit, tapi bukan untuk cari jodoh seperti yang Irsyad katakan, lagian mana ada anak SMA cari jodoh, tamat sekolah aja belum, belum 17 tahun, KTP belum punya, apalagi calon suami. Beruntung mama Irsyad sangat baik. Beliau khawatir terjadi apa-apa padaku yang tadi sempat pingsan karena kaget melihat Irsyad. “Rara, kamu gak maslaah’kan kalo tante tinggal? Tante ada urusan bentar di luar, Irsyad juga harus bantuin tante.” Aku mengangguk pelan. Seperginya mereka, aku langsung merebahkan tubuh di kasur empuk rumah sakit untuk kembali menyambung tidur. Suasana rumah sakit yang tenang, di tambah aroma obat membuatku kantukku meronta-ronta ingin segera di dengar. Inilah alasan kenapa aku suka rumah sakit. Namun keinginanku harus di urungkan saat berkali-kali dering ponsel membangunkanku. “Assalamualaikum, halo ini siapa?” sahutku malas. “Waaaikumsalam,” sahut dari seberang sana. Suara cewek. “ Lo gak save nomor gue ya?” “Eh—“ mataku terbuka lebar. “Oh, Leni, maaf, Len, aku balu aja mau tidul, jadinya gak konek nih.” “Lo di kamar nomor berapa?” “Eh, kamu mau besuk aku?” “Iya. Buruan di nomor berapa? Gue udah ada di rumah sakit nih, bingung cari kamar lo,” desak Leni. “Aku juga gak tahu nih kamal nomol belapa.” “Ya udah lo tanya aja sama susternya. Tekan tombol minta bantuan.” “T-tapi ....” “Jangan bilang lo gak tahu cara makenya? Tinggal teken doang.” “Tadi sustelnya udah ngajalin, tapi aku ngantuj banget jadi gak fokus. Aku takut salah teken, ental malah semua olang datang ke sini.” “Rara !” suara Leni naik satu oktaf. Leni memang suka latihan vokal di mana oun berada. “Sekali aja lo gak buat gue susah, bisa gak?” tambahnya. “Len, gimana kalo kita ketemuannya di kantin aja. Aku lapal tahu, tapi kamu yang telaktil, aku gak bawa uang.” “Emang lo tahu di mana letak kantinnya?” “Tahu dong, ada di ujung sana.” “Giliran kantin aja lo tahu,” puji Leni. Aku jadi terharu. “Ya udah gue tunggu lo di sana.” “Sip, makasih besti ....” Aku segera turun dari ranjang empuk ini, beruntung suster tidak memasang inpus di tanganku jadi aku bisa berjalan ke sana- ke mari bebas seperti orang sehat, tapi, memangnya sejak kapan aku sakit? Sesampainya di kantin, aku celingak-celinguk mencari keberadaan Leni, lalu rentina mataku berhasil mendapatkan Leni yang baru saja datang dan juga menoleh kanan-kiri mencariku. Aku mengangkat tangan kanan,, memberi kode, tapi baru hendak membuka suara, tiba-tiba mamanya Irsyad terlihat menepuk pundak Leni. Leni menoleh lalu menyalimi tangan mama Irsyad. Keduanya terlihat mengobrol lalu mama Irsyad merangkul pundak Leni dan membawanya menjauh dari kantin. “Eh, Leni kenal sama mamanya Irsyad? Kayaknya mereka akrab banget?” gumamku tanpa sadar setelah Leni menghilang dari pandanganku. Tidak lama dari kepergian Leni, ada pesan masuk di ponselku. ‘Ra, bentar ya, gue datang telat.’ ‘Oke.’ Balasku cepat. Aku termenung, karena tidak punya uang, aku bingung harus melakukan apa di kantin, jadi yang aku lakukan hanya duduk saja. Sepuluh menit berlalu, sudah terhitung lebih dari lima kali aku merubah posisi duduk, mulai dari duduk santai, duduk bersender, duduk malas, duduk ala-ala model, duduk ala anak tongkrongan, duduk ala diplomat dan masih banyak lagi, tapi Leni tidak juga muncul. ‘Len, aku mau ke kamar mandi dulu.’ Setelah mengirim pesan itu, aku segera beranjak dari kursi yang sudah baik hati menemaniku sejak tadi. “Bye ... bye kulsi, tunggu i comeback ya ....” Rumah sakit ini sangat besar. Ada banyak sekali ruangan dan ada banyak kamar mandi yang tersebar di mana-mana, aku jadi bingung harus masuk yang mana. Di tengah kebingunganku itu, tiba-tiba mataku tidak sengaja menangkap seseorang cowok yang sangat tidak asing. “Eh, bukannya itu cowok yang kemalen jatuh dali tangga?” gumamku spontan. Tepat saat cowok itu berbalik setelah keluar dari sebuah ruangan, aku segera menyapanya. “Hay !!” sapaku, riang. Benar kata Leni, dunia kadang suka cosplay jadi daun kelor. Sempit banget. “Masih ingat aku gak?” “Aku, Lala, yang kemalin ke temu di tangga sekolah. Masih ingat, kan?” desakku. Tidak lama cowok itu mengangguk pelan. “Kamu lagi ngapain di sini? Kamu sakit?” Aku rasa tidak. Dia terlihat sehat, meski kacamata hitam terus bertengger di wajahnya. “Atau lagi peliksa kaki kamu yang keseleo kemarin?” “Kamu sendilian di sini? Atau sama mama kamu?” “Ah, iya, kamu kan saudalanya Ilsayd ... jadi pasti baleng mama kamu, tadi aku ke sini juga baleng mama kamu dan Ilsyad.” “Ilsyad?” Dia akhirnya bersuara, meski pertanyaan sulit untuk kujawab dengan benar. “Iya, hem, Ieer-syad,” sahutku mengeja sebisanya. “BTW, soal aku ngatai Ilsyad monstel udah kamu kasih tahu ya? Ya udah gak papa sih. Oh iya, nama kamu siapa? Dali kemalin aku gak tahu nama kamu. Kamu kapan masuk sekolah lagi? Tunggu kaki kamu sembuh ya?” tanyaku panjang kali lebar. Aku sepertinya terlalu bersemangat sampai tidak sadar lawan bicaraku sendari tadi hanya menunduk, entah kenapa tangan kanannya memegangi kepalanya. “Eh, kamu kenapa?” tanyaku cemas. “Aku buat kamu takut ya?” “Eh, lo apain saudara gue?” entah dari mana, manusia bernama Irsyad sudah muncul di sebelahku, nyaris membuat aku melompat kaget. “Aku gak ngapa-ngapain kok ...” “Ris, are fine?” “No ....” pernyataan cowok itu, semena-mena membuat Irsyad langsung menoleh ke arahku dengan pandangan vonis tersangka utama “Tadi aku cuma aja ngomong doang kok. Aku gak ngapa-ngapai. Selius deh ....” jelasku. “Berarti bener lo yang buat saudara gue jadi gini!” “Ha?!” Aku bengong. “Kok bisa sih? Pelasaan aku gak jelek-jelek amat, kenapa dia sampai sakit pas liat aku? Emangnya aku belacun?” “Buruan kita balik ke mobil. Nanti lo pulang duluan aja. Oke?” Irsyad tidak menghiraukan protesku, dia sibuk membantu saudaranya yang nampak lemas, seolah darahnya baru saja aku hisap. “Tapi tadi dia baik-baik aja, kenapa jadi lemas gitu?” heranku Irsyad tiba-tiba berbalik, aku melompat karena kaget. “Dan buat lo, balik sana ke kamar, teman lo nungguin. Lain kali jangan suka ngajak orang yang gak lo kenal ngomong. Lo gak tahu keadaan orang. Gak semua orang baik-baik aja.” “Ha? Maksudnya?” Pertanyaan itu terus menghantuiku. Aku terus mengejar Irsyad untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi ? Apa benar aku sejelek itu sampai-sampai orang bisa sakit pas liat aku? Namun bukan Irsyad kalo tidak menyebalkan. Hari ini cowok itu berlagak seperti tidak mengenaliku. Aku seolah manusia transparan yang tidak bisa ia lihat dan tidak bisa ia dengar. Dia benar-benar makhluk menyebalkan seantero kamusku. Aku curiga, aku rasa nama belakangnya, Irsyad menyebalkan. Irsyad berhasil membuatku galau seharian karena memikirkan semua ini. Kasihan otakku harus berkerja ekstra. “Len, emang ada vilus olang jelek?” tanyaku saat Leni sedang asik me time dengan kamus kebangsaannya, KBBI. “Maksud lo virus? Sejauh ini sih belum ada,” sahut Leni seadanya. “Belum ada ... belalti kemungkinan ada dong?” Aku mendelik kaget. Leni menarik napas dalam. “Bisa gak sih sehari aja yang lo bahas gak aneh-aneh? Lagian mana ada juga virus jelek. Lo kalo mau gila, jangan ajak-ajak gue, plis!” “Telus ajak siapa dong?” “Auah gelap! Mending gue di suruh baca buku matematika pake bahasa mandarin ketimbang ngomong sama lo.” “Len .... mau tanya satu lagi.” “Apa lagi ?!” “Emang bisa baca mati kalena kena vilus jelek?” “Ya ampun Rara! Otak lo isinya apa sih? Lebih random dari lukisan abstrak!” Percakapan kami berakhir saat bu Mei masuk ke kelas—guru matematika kesukaan Leni. Leni tidak akan lagi menyahut saat sudah fokus dengan deretan angka. Aku manyun, masih tidak tenang dengan pertanyaan yang belum terjawab itu. Di tengah pelajaran, aku tidak sengaja menoleh ke arah Irsyad yang duduk di bangku pojok kanan paling belakang. Mau tahu apa yang cowok menyebalkan itu lakukan? Yap! Tepat sekali! Dia tidur secara terang-terangan. Semua anak kelas bahkan menyadari hal itu, tinggal bu Mei yang belum sadar karena terlalu asik menjelaskan. “Telanyata gak sama aku aja dia nyebelin. Sama gulu juga di nyebelin. Bisa-bisanya dia tidul pas gulu lagi ngejelasi,” gumamku. Tiba-tiba Leni menyahut, “Kayak siapa ya kemarin yang tidur di pelajaran bu Tania.” Aku tersenyum malu. “Itu, aku kan gak sengaja. Aku tidul sebelum bu Ta masuk.” “Tetap aja tidur juga namanya,” pungkas Leni, kembali fokus memperhatikan bu Mei. “Mengerti anak-anak ?” tanya bu Mei spontan berbalik. Sepertinya pandangan pertama yang bu Mie lihat adalah Irsyad yang sedang tidur, terlihat dari mata bu Mei yang langsung membelalak lebar, d**a bu Mei naik-turun seolah butuh lebih banyak lagi pasokan udara. “Irsyad !” pekik bu Mei, seketika langsung membangunkan Irsyad dari tidurnya. “Bukannya perhatiin apa yang ibu jelasin, kamu malah tidur di kelas ! Ini kelas bukan kamar tidur !” “Maaf bu, saya kebabalasan. Soalnya ngantuk banget.” “Maaf ... maaf ... emang kamu kira dengan minta maaf masalah selesai? Apa dengan minta maaf kamu jadi paham apa yang ibu ajarkan?” “Memangnya ada soal yang harus saya kerjakan, bu?” Leni menoleh, seperti biasa wajah Leni tetap dengan wajah datarnya ditengah wajah semua orang yang nampak tegang dan tertarik akan kalimat Irsyad yang terdengar menantang meski menurutku Irsyad mengatakannya dengan nada santai dan terdengar biasa saja. “Memangnya kamu bisa?” satu alis bu Mei terangkat. “Insyallah saya bisa ngerjain soal yang ibu berikan,” tambah Irsyad meyakinkan semua orang. “Coba kamu kerjakan soal nomor lima, tujuh dan sepuluh.” Bu Mei bersedekap d**a sembari memperhatikan Irsyad yang sama sekali tidak ciut mendengar permintaan bu Mei itu. “Kalo kamu benar, ibu bebasin kamu dari hukuman.” “Baik, bu ...” sahut Irsyad santai. Sama sekali cowok itu tidak gentar atau pun takut. Padahal soal yang di berikan pada Irsyad merupakan soal yang sejak tadi tidak bisa Leni kerjakan. “Dia nekat banget ....” gumamku spontan. Leni menoleh ke arahku kali ini ekspresinya terlihat agak gusar. “Kamu pasti mikil nih olang nekat banget, kan? Dali tadi tidul, tapi belani-belaninya ngelajain soal sesulit itu,” kataku. “Bukan itu.” Leni menatap kembali ke depan. Irsyad nampak dengan santai menulis deretan angka di papan tulis, membuatku seketika tercengang. “Eh, itu dia nulisnya asal-asal ya? Kok cepat banget suh, Len?” “Itu yang gue takuti ...,” sahut Leni spontan “Ha?” “Soal itu bagi dia cuma kayak hitungan tambah-tambahan doang. Level rendah.” “Ha?” Kalimat Leni terus-terusan membuat aku terus mengatakan kalimat yang sama dengan ekspresi mata yang belalak dan mulut setengah mengangga. “Liat, dia berhasil ngerjain semua soal dengan cepat,” ujar Leni, kembali menarik kepala untuk menghadap ke depan. Dan benar saja, Irsyad sudah selesai dengan jawabannya yang membuat bu Mei tersenyum sembari mengangguk-ngangguk. Jelas apa yang Irsyad kerjakan bukan asal-asal. Jawabnya benar semua! “Bagus. Hari ini kmau ibu maafkan, tapi untuk lain kali, ibu akan tetap menghukum kamu kalo kamu ketiduran di kelas lagi.” Irsyad mengangguk pelan. “Terima kasih, Bu. Maaf kelakuan saya tadi membuat jam pelajaran terganggu.” “Wah ternyata kamu sangat sopan,” puji bu Mei, “Ternyata tuh cowok nyebelin bisa ngomong manis juga. Aku pikil stok katanya pahit semua,” gumamku, sembari mengiringi langkah Irsyad yang berjalan kembali ke bangkunya. Mendadak Irsyad jadi super star semua orang menatap kagum padanya, kecuali Leni. Leni terdengar beberapa kali mendengus pelan. “Lo bener, Ra, tuh cowok emang nyebelin.” “Ha?” “Iya nyebelin, gue kan udah pernah bilang, jangan coba-coba buat nyaingin gue soal di bidang matematika. Iya gue tahu dia jago matematikan, tapikan—“ “Eh, tunggu dulu ....” Aku segera menjeda kalimat Leni. Ada yang aneh dari kalimat Leni barusan, sebenarnya tidak hanya kalimat barusan, tapi sejak tadi Leni terus mengatakan kalimat yang seolah-olah dia mengenal Irsyad, belum lagi yang kemarin, aku melihat Leni terlihat sangat akrab dengan mamanya Irsyad. Apa jangan-jangan Leni .... “Leni, jujul sama aku.” Aku menatap Leni dengan seksama. “Kamu saudala kembalnya, Irsyad ya? Itu altinya, kamu anak pemilik yayasan, makanya otak kalian sama-sama pintal.” Leni memutar bola matanya, sepertinya Leni takut kalo fakta ini terbongkar. “Kalena kamu besty aku yang paling baik, aku janji gak akan kasih tahu siapa-siapa soal fakta ini,” sahutku cepat sembari berlagak mengunci mulut agar Leni tidak cemas. “Apaan sih lo?!” Leni berdecak kecil. “Emangnya semua orang pintar jadi saudara kembar? Hebat banget. Banyak dong gue kembaran. Otak lo ya kadang-kadang.” “Lah telus kenapa kamu bisa tahu banyak hal soal Irsyad?” “Udahlah, gue lagi malas bahas itu. Entar gue ceritain kalo gue gak malas, tapi gak tahu kapan gue gak malas. Soalnya gue emang selalu rajin. Mulai hari ini gue mesti lebih giat lagi belajar.” Aku mencium aroma-aroma persaingan, Leni tanpa saingan saja dia sudah giat belajar, gak tahu kalo ada saingan, Leni bakal segiat apa belajar. Apa mungkin dalam tidur dia juga akan belajar? Entahlah. Entah kenapa, leherku kembali menoleh ke arah Irsyad yang terusan-terusan menguap. “Coba kak Gino liat ini, aku gak akan dikatain manusia terantuk sepanjang abad.” Aku tersenyum puas membayangkan ekspresi bang Gino yang tidak terima kalo gelar yang dia sematkan padaku hilang sekejap. Padahal gelar itu sudah bang Gino berikan bertahun-tahun lamanya, tepat saat usiaku baru lima tahun, itu yang sering bang Gino katakan. Aku yang asik sendiri dengan pikiranku, tidak sadar kalo aksiku menoleh ke arah Irsyad sudah tertangkap basah. Irsyad melotot tidak terima. Aku segera berbalik. “Ih benelan selem deh dia ....,” gumamku panas-dingin. Tatapan Irsyad tadi seolah siap membuat dagingku menjadi sop iga. Ngeri ! Sampai bel sekolah berbunyi nyaring pertanda sekolah sudah berakhir, aku tetap tidak berani menoleh ke belakang lagi, bahkan aku tidak berani bergerak dan memutuskan untuk pulang setelah Irsyad keluar dari kelas. Aku takut kalo beneran Irsyad suka makan sop iga. Aku masih ingin hidup .... “Aman ....” Aku menghela napas panjang setelah Irsyad dan bayangannya tidak lagi terlihat. “Len, pulang yuk ....” “Gak deh, lo duluan aja. Gue ada kumpul mau bahas soal olimpiade matematika.” “Oh ya udah kalo gitu, aku duluan ya.” “Iya, hati-hati di jalan. Kalo ada orang yang minta nomor ponsel lo, jangan dikasih, kasihan tuh orang entar darah tinggi ngobrol sama lo.” Aku mengangguk-ngangguk khidmat, Leni memang benar-benar perhatian. Jadi makin sayang, walau dia cuma sayang sama matematika dan temannya. Its okey, Leni tetap teman terbaik. No debat! “Eh, ngapai Irsyad masuk ke ruangan kepala sekolah?” Aku mengerjap, mendapati Irsyad yang barusan saja hilang di balik pintu ruangan kepala sekolah. “Apa jangan-jangan Irsyad mau makan sop iga?” Aku tertegun. Ini bencana! Bisa kacau sekolah tanpa kepala sekolah, tanpa pikir panjang, aku langsung berlari ke ruang kepala sekolah. Misi penyelamatan dadakan! “Pak, ayo dong bujuk papa saya. Saya mau saudara saya itu bisa sekolah lagi.” “Gak bisa. Apa yang papa dan mama kamu katakan itu benar. Ini semua untuk kebaikan dia juga. Dia sedang sakit, sekolah tidak bisa menjaganya dua puluh empat jam.” “Pak, gak sampai dua puluh empat jam. Hanya delapan jam, dan saya bisa kok melakukan itu.” “Iya, maksud bapak, sekolah jelas tidak akan bisa menjaga Aaris lebih baik dari orang tua mu. Orang yang sakit butuh banyak penjagaan.” “Aaris gak sakit !” Suara Irsyad terdengar naik lima oktaf. Ini sinyal bahaya. Aku harus segera bertindak ! “Dia hanya sedang sedikit terpuruk, dia hanya—“ ‘Bruk!’ Aku meringgis begitu tubuhku menghantam dinginnya lantai yang telah terkontaminasi AC dan debu. Ini bukan salah aku, salah pintunya yang terlalu lemas, hanya sekali dorong, pintu berwarna putih itu sudah terbuka lebar yang membuat tubuhku kehilangan kendali lalu jatuh dalam posisi telungkup, seperti bayi yang baru belajar merangkak. “Lo ngapain ?” tanya Irsyad. Pak kepala sekolah dan Irsyad kompak menatapku dengan raut wajah yang berbeda-beda. Pak kepala sekolah nampak kaget, itu manusiawi, tapi Irsyad ... dia nampak akan segera memakanku. “Aaaggggh! Gak jangan makan aku. Dagingku alot ....” Aku spontan langsung berdiri begitu Irsyad berjalan ke arahku. “Lo nguping lagi ya !” sentak Irsyad. “A-aku tadi ....” Aku mengangkat kepala. “Cuma mau selamatin pak kepala sekolah dari kamu yang suka sop iga.” “Ha? Sop iga? Sejak kapan gue suka sop iga?” “Kamu gak suka sop iga?” “Gak!” Irsyad memutar bola matanya. Pak kepala sekolah berdeham pelan, menyelah pembicaraan kami. “Irsyad, bapak minta maaf untuk kali ini bapak tidak bisa membantu kamu.” “Tapi pak—“ “Bisa tolong tinggalkan ruangan bapak ?” sela pak Kepsek. “Oh iya, ajak sekalian teman kamu itu. Jangan lupa tutup kembali pintunya.” “Alhamdulillah kamu gak suka sop iga.” Aku menghela napas lega. Setidaknya ada kabar baik, meski pinggangku terasa nyeri. Memang benar berburuk sangka itu hanya membuat sengsara diri sendiri. “Emangnya Aaris sakit apa sih?” tanyaku entah sudah berapa kali dalam sehari ini. “Lo tahu gak, gue gak suka sop iga, tapi gue suka sate ....” kata Irsyad tiba-tiba. “Sate juga pake daging, kan?” “Yap, betul sekali.” Irsyad menyeringai. Aku seketika merinding. “Mau nyumbang daging, gak? Gak masalah kok kalo alot ... mau nyumbang berapa banyak daging?” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN