(Pov Rara)
“Pergi gak lo ! Jauh-jauh dari gue!”
“T-tapi ....” Aku menunduk sedih. “Tapi aku harus ke mana?”
“Ke mana aja yang lo mau, yang penting gak ikutin gue!” Irsyad melangkah lebar, aku buru-buru kembali mengikuti langkah Irsyad, tidak peduli jika hal itu akan kembali membuat Irsyad marah, hanya Irsyad yang aku kenal di sini.
“Pergi gak lo!” Irsyad tiba-tiba berbalik. “Atau gue laporin lo ke security, biar lo di tangkap kayak tadi !”
Aku sebenarnya takut mendengar itu, tapi ... lagi-lagi aku tidak punya pilihan. Hari ini aku sudah stok rasa takut demi bisa pulang ke rumah. Irsyad kembali melanjutkan langkahnya, aku masih setia mengikuti. Namun kali ini aku sengaja memberi jarak sepuluh kaki darinya, setelah Irsyad tidak lagi marah, barulah aku meminta bantuannya.
“Eh, kok ke bagian keamanan?” gumamku saat membaca tulisan yang berada di atas pintu berkaca hitam.
Irsyad tiba-tiba berbalik. “Iya, gue mau nganterin penguntit kayak lo.”
“Eh ....” Aku seketika menarik langkah mundur. Berbanding terbalik dengan Irsyad yang tersenyum puas.
“Kamu kok gitu sih ....” ucapku tanpa sadar dengan suara bergetar, kejadian tadi masih melekat dibenakku, mendadak mataku terasa perih,
“Aku, kan cuma mau minta tolong ....” air mata mengalir dari mataku. Aku makin bingung harus apa sekarang? Tidak mungkin aku pulang dengan jalan kaki. Aku benar-benar tidak punya uang sepeser pun.
“Mumy, Lala mau pulang ....”
“Eh, kok lo nangis sih .... “Irsyad mendekat. “ Eh, jangan nangis, gak enak di liat orang, entar dikira gue ngapa-ngapai lo lagi...! Oke, gue minta maaf karena udah buat lo nangis.”
“Sekarang, jangan nangis lagi ya. Emang lo mau minta bantu apa ke gue?”
Aku menggeleng-geleng, bingung.
“Lo mau pulang, kan? Lo hubungi keluarga lo aja. Entar pasti orang tua lo jemput,” saran Irsyad.
“Tapi ....” Aku tidak tahu bagaimana caranya menghentikan tangisanku ini. “Aku gak bawa ponsel.”
“Ya Allah, emang ada ya manusia di zaman modern gini gak bawa ponsel?” tanya Irsyad dengan nada tinggi.
Aku menghapus cepat air mataku, ingin menjelaskan pada Irsyad mengenai alasan kenapa aku tidak membawa ponsel, tapi sangat sulit menjelaskan sesuatu dengan sisa sesegukan habis menangis yang masih belum bisa berhenti. Yang ada aku malah makin terdengar seperti kembali menangis.
Irsyad menghela napas panjang, raut kesalnya mendadak hilang.
“Ya udah, kalo gitu lo hubungi keluarga lo pake ponsel gue aja,” kata Irsyad kali ini dengan nada pelan. Irsyad menyodorkan ponselnya padaku. “Lo bisa telepon mama atau ibu lo ...”
“T-tapi aku gak hafal nomol ponsel mumy ...”
“Ya udah siapa aja nomor ponsel yang lo hafal.”
“Gak ada ....” Aku menggeleng pelan.
“Gak ada !” Irsyad kembali mendelik. Namun sedetik berikutnya, ia kembali menghela napas panjang.
“Tapi nomor ponsel lo sendiri pasti hafal, kan? Lo bisa hubungi ponsel lo sendiri, kan ...”
Aku tertegun.
“Jangan bilang lo gak hafal !” tuding Irsyad.
“A-aku hafal kok ...”
“Alhamdulillah, akhirnya otak lo ada gunanya juga.”
“Tapi, Ilsyad ... pelcuma nelepon ponsel aku. Soalnya ponsel aku ... aku matiin pas di cas ....”
.
.
(Pov Irsyad)
“Assalamualaikum ....”
“Waalaikumsalam, eh udah pulang Syad, katanya mau lama di sana.”
“Gak ah ma! Di sana ngeselin !” sahut gue kembali kesal saat mengingat apa yang terjadi di sana.
“Lho, tumben kamu kesal jalan-jalan di sana.”
Gue menjatuhkan diri di sofa berniat meredamkan kekesalan sebelum masuk ke kamar.
“Oh iya, Syad, tadi mama dapat pesan dari bank kamu. Kamu habis narik 500 rb ya, buat apa?” tanya mama tiba-tiba. “Itu artinya bulan ini kamu gak boleh lagi pake atm kamu.”
“Ya, ma, Irsyad tahu.” Bahuku merosot di senderan kursi.
“Boleh mama tahu uangnya buat apa? Kamu beli barang itu lagi?”
“Bukan, Ma. Tadi Irsyad bantuin teman.”
“Bantui teman, apa ?”
“Ceritanya panjang banget, Ma .... boleh nanti aja gak Irsyad cerita ?”
Mama mengangguk pelan. “Ya udah, is okey sayang.”
“Thank, Ma ....” gue langsung beranjak dari sofa, tapi bukannya ke kamar, gue malah melimpir masuk ke kamar Aaris melalui balkon.
“Ris, gue mau cerita ....” Gue langsung menjatuhkan diri di kasur Aaris. Aaris yang duduk di kursi belajarnya menoleh. Sepertinya sekarang Aaris sudah bisa memprediksi kedatangan gue. Dia tidak lagi kaget dan sudah memakai kacamata hitam di matanya. Terkadang gue suka bertanya-tanya, memangnya semengerikan apa mata seseorang sampai Aaris sangat takut ? Bahkan kepada mata saudaranya sendiri.
“Lo harus dengerin gue cerita, karena saran ini awalnya kan dari Lo. Lo pernah bilang ke gue kalo lagi bosen lebih baik jalan-jalan ke mall, sekarang gue gak akan pernah lakuin itu lagi,” ucap gue sungguh-sungguh.
“Gue nyesel ke mall hari ini ! Lo tahu kenapa?” Gue sengaja menjeda kalimat gue untuk melihat reaksi Aaris, dia peduli atau tidak dengan apa yang gue ceritakan. Rupanya satu alis Aaris terangkat, dia peduli meski tidak bersuara.
“Semua karena cewek menyebalkan itu ! Yap! Siapa lagi kalo bukan Rara, si cewek yang buat lo jatuh dari tangga, buat uang jajan gue di potong, buat gue diomel papa !”
“Dan sekarang ....” Gue menarik napas dalam siap meluapkan segala kekesalan yang sendari tadi memenuhi benak gue. “Dia ngabisin uang mingguan gue di atm ! Plus .... dia jadiin gue babu di rumah makan! Tangan gue sampai pedas semua gara-gara harus nyuci piring banyak banget ! Sebanyak harapan orang tua!” jelas gue panjang lebar. Ada rasa lega setelah menceritakan semuanya pada Aaris, meski Aaris tidak menanggapi cerita gue dan hanya menjadi pendengar dengan tetap setia mendengarkan sampai selesai, kemudian menawarkan gue air minum di atas mejanya.
“Thanks ....” Karena terlalu kesal, gue sampai mengabaikan tenggorokan gue yang kering. Selesai minum, gue langsung beranjak turun dari kasur Aaris. “Eh, gue balik ke kamar ya. Gue lewat pintu boleh, kan?”
“Dan satu lagi ... gara-gara tuh cewek gue jadi gagal negosiasi sama pak Kepsek buat bantuin lo biar bisa masuk sekolah lagi,” tambah gue tepat saat berada di ambang pintu. “Kalo lo balik ke sekolah, jangan pernah ketemu tuh cewek !”
“Tapi menurut gue, dia gadis yang baik,” sahut Aaris tiba-tiba.
Gue menoleh, hampir tidak percaya mendengar kalimat itu keluar dari mulut Aaris. Bukan karena pernyataan Aaris yang bertentangan dengan apa yang gue yakini, tapi karena Aaris sudah mau mengatakan kalimat lebih panjang, selain ya, tidak dan dua suku kata singkat.
“Dan sepertinya lo gak perlu khawatir, mungkin selamanya gue gak akan bisa sekolah dan gue rasa ... gak akan bisa hidup orang normal lagi.”