Attar menatap punggung Nada yang tidur membelakanginya. Semenjak pertanyaan yang istrinya lontarkan tidak bisa ia jawab, Nada mediamkannya sampai saat ini. Attar bingung dengan perasaannya sendiri. Seharusnya ia menjawab dengan tegas bahwa Nada lah pemilik hatinya. Namun, sebagian dari dirinya kini tidak mengatakan demikian. Ada nama wanita lain yang diam-diam menyusup dan menggeser posisi Nada.
Kenyamanan yang ia rasakan bersama Naura dan tidak bisa Nada berikan, membuatnya sulit menampik jika sebagian hatinya kini berpaling kepada sekretarisnya itu.
"Nad, kamu sudah tidur?"
Tidak ada jawaban, tetapi Attar tahu Nada masih terjaga. Isakan kecil yang lolos dari bibir istrinya sesekali terdengar, menandakan Nada belum bisa memejamkan mata, seperti dirinya.
"Nad, aku minta maaf. Jangan marah lagi, ya."
Nada tetap bergeming tanpa berniat menjawab. Attar pun akhirnya pasrah. Ia akan memberikan kesempatan pada Nada sampai kemarahan istrinya mereda. Setelah itu, barulah ia akan kembali mengajak Nada bicara tentang kelangsungan rumah tangga mereka.
*
*
*
Attar sengaja bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Ia ingin memasak sesuatu untuk Nada, berharap hati istrinya sedikit melunak. Attar ingin menebus kesalahannya karena telah mengabaikan Nada dan memilih menolong Naura. Semoga saja Nada menyudahi sikap dinginnya dan mau berbicara lagi padanya.
Akan tetapi, harapan Attar harus kandas ketika ia melihat Nada turun dari kamar mereka sambil menyeret koper. Attar bergegas menghampiri sang istri yang berjalan menuju pintu.
"Nad, kamu mau ke mana?" Attar bertanya dengan panik. Ia takut Nada akan pergi karena kejadian kemarin.
"Aku harus pergi ke Anyer. Ada pemotretan di sana. Maaf gak sempat ngasih tahu kamu."
"Kok mendadak? Kita masih perlu bicara, Nad. Jangan pergi sebelum masalah kita selesai." Attar berujar dengan kesal. Selalu begini jika mereka sedang betengkar. Nada akan pergi tanpa menyelesaikan masalah mereka terlebih dahulu dan akan kembali, lalu bersikap biasa saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Maaf, aku gak sempat bilang sama kamu kemarin."
"Nada, jangan seperti ini. Aku minta maaf kalau memang kamu masih marah." Attar memelas.
"Aku sudah tidak marah. Semalaman aku berpikir, mungkin memang kejadian kemarin karena kamu terdesak keadaan. Dia yang lebih membutuhkan kamu dibanding aku. Sudah ya, aku harus berangkat."
Nada kembali menyeret koper berisi pakaian dan perlengkepan dirinya selama di Anyer nanti. Namun, baru saja dua langkah, Attar menahan lengannya.
"Aku tahu kamu berbohong. Kamu masih marah karena pertanyaan kamu belum aku jawab kan? Sekarang, aku akan menjawabnya." Attar mengikis jarak di antara mereka. Tangan kekarnya meraih pinggang Nada agar lebih merapat. "Kamu ... hanya kamu pemilik hatiku seutuhnya. Tidak ada wanita lain," bisiknya di telinga sang istri.
Harusnya, Nada tersanjung dan merasa bahagia. Namun entah mengapa, perkataan Attar malah seperti bualan yang terdengar di telinganya. Nada tahu pasti, ada keraguan ketika Attar mengucapkannya.
"Terima kasih kamu sudah menjawab pertanyaanku." Nada melerai belitan tangan Attar di pinggangnya. "Aku pergi dulu, jaga diri kamu baik-baik selama aku pergi.
Kemudian, Nada melangkah meninggalkan Attar yang masih termenung menatap kepergiannya. Ia ingin memberikan waktu kepada Attar untuk memastikan perasaan pria itu yang sesungguhnya. Ada hal besar yang harus ia lakukan demi kelangsungan rumah tangganya bersama Attar. Semoga saja ... Nada belum terlambat.
???
"Jangan g*la, Nada! Kamu mau berhenti jadi model? Terus bagaimana dengan kami? Hutang-hutang papamu masih menumpuk, belum lagi biaya kuliah adikmu! Kita mau bayar pakai apa?" Miranti kalap saat mendengar keputusan putri tirinya. Selama ini, Nada yang membiayai kehidupan mereka tanpa bantuan Attar. Nada tidak ingin Attar mengetahui permasalahan keluarganya. Ia juga tidak ingin suaminya diperas habis-habisan oleh ibu tirinya itu.
"Ma, bukankah hutang Papa sudah aku cicil sampai lunas? Kenapa Mama masih bilang menumpuk? Lalu, Mama ke manakan uang yang selama ini aku kasih?"
Miranti tergagap. Ia tidak mungkin mengatakan jika selama ini uang pemberian Nada ia gunakan untuk berfoya-foya, memenuhi gaya hidupnya yang terkesan mewah di mata orang-orang.
"Kamu kan tahu kalau hutang Papa kamu itu banyak. Uang yang kamu berikan belum cukup untuk membayarnya sampai lunas. Belum lagi adikmu. Bagaimana nasib kuliahnya nanti kalau kamu berhenti kerja." Miranti masih berusaha mengelak.
"Maaf, Ma. Aku tidak bisa membantu lagi. Kalau untuk biaya kuliah Meisya, aku masih punya tabungan. Sekarang aku harus mengambil keputusan ini demi keutuhan rumah tanggaku. Aku ingin hamil. Mas Attar sudah sejak lama menginginkan anak dariku. Aku tidak ingin terus-terusan mengecewakan dia dan keluarganya," papar Nada. Keputusannya untuk berhenti dari pekerjaan sudah bulat. Ia tidak ingin Attar sampai berpaling pada wanita lain karena masalah ini.
"Pokoknya Mama tidak mau tahu. Kamu tetap harus memberi Mama uang bulanan. Kalau memang kamu mau berhenti kerja, kamu bisa minta sama Attar. Suamimu kan kaya. Uang segitu tidak ada artinya untuk dia," ujar Miranti tak ingin mengalah. Apa kata teman-temannya nanti jika sampai ia tidak lagi membeli barang-barang mewah.
"Nada tidak bisa, Ma. Nada tidak ingin merepotkan Mas Attar. Mama tahu sendiri kalau mamanya Mas Attar tidak menyukai Nada. Kalau sampai beliau tahu, pasti akan berusaha memisahkan Nada dengan putranya."
"Alah, alasan kamu saja! Bilang saja kamu tidak mau lagi membantu Mama dan adikmu!"
"Terserah Mama. Nada pamit dulu, siang nanti harus berangkat ke Anyer." Nada mengambil amplop coklat yang sudah ia siapkan dari dalam tasnya. "Ini pemberian terakhir dari Nada untuk Mama. Soal biaya kuliah, akan Nada transfer ke rekeningnya Meisya," ucapnya lalu berdiri, meninggalkan Miranti yang mendengus kesal.
Setelah kepergian putri tirinya, Miranti membuka amplop yang Nada letakkan di atas meja. Senyumnya mengembang sempurna ketika melihat dan menghitung isinya.
"Sepuluh juta, lumayan," ucapnya dengan senyuman yang berubah menjadi seringai sinis.
"Kamu salah Nada. Kalau kamu memutuskan untuk menghentikan memberi bantuan padaku, aku pun bisa bertindak lebih jauh. Masih ada suamimu yang akan menjadi ladang uang bagiku."
*
*
Bersambung.