Bab 5

701 Kata
"Terima kasih, Pak. Hari ini Bapak sudah banyak menolong saya," ucap Naura tulus. Saat ini mereka baru saja sampai di depan rumah Naura. Seperti janjinya, Attar menunggui sekretarisnya itu hingga diperbolehkan pulang oleh Dokter. "Tidak usah berlebihan, Naura. Sudah menjadi tugas saya untuk membantu. Kalau kamu masih belum sehat, besok tidak usah masuk kerja. Kamu boleh istirahat selama dua hari." "Ti-tidak perlu, Pak. Saya sudah baikan, kok. Besok saya pasti masuk kerja." "Kamu yakin?" Attar memastikan. "Sangat yakin. Bapak tenang, saya pasti baik-baik saja," jawabnya dengan senyuman. "Ya sudah, terserah kamu. Sekarang, kamu masuk, gih! Istirahat." "Kalau begitu, saya masuk dulu. Sekali lagi te--" "Jangan ucapkan itu lagi. Saya bosan mendengarnya," sela Attar cepat, membuat tawa Naura berderai indah dan Attar terpaku dibuatnya. "Maaf," ucapnya di sela tawa. "Bapak juga hati-hati di jalan," imbuhnya. Attar hanya mengangguk. Ia pun berjalan menuju mobil yang terparkir di depan rumah sekretarisnya dengan diiringi tatapan dari Naura. Seakan sadar dirinya sedang diperhatikan, Attar membalikan badan sebelum membuka pintu mobil. Senyum keduanya mengembang ketika mata mereka beradu tatap. Dengan cepat, Naura memalingkan muka, menyembunyikan rona merah di wajahnya. Sedangkan Attar bergegas memasuki mobil dan melajukannya. Senyum terus terukir dari bibir pria berusia tiga puluh tahun itu. Naura ... bersama wanita itu selalu berhasil membuat perasaan Attar menjadi lebih baik. ??? Nada sampai di rumahnya tepat pukul sepuluh malam. Setelah seharian menangis di Apartemen Cindy, Nada memutuskan pulang untuk beristirahat. Cindy memintanya untuk menginap saja di Apartemen wanita itu, tetapi Nada menolak. Walau bagaimanapun, Nada tidak izin pada Attar dan ia tidak ingin membuat suaminya khawatir. Ah, dadanya terasa sesak jika mengingat kejadian tadi siang. Khawatir. Benarkah Attar akan mengkhawatirkan dirinya? Mobil Attar terparkir di garasi, menandakan pemiliknya sudah berada di rumah. Nada melangkah gontai menuju kamarnya, tanpa menyadari jika sedari ia masuk, Attar duduk di ruang tamu seraya memperhatikan dirinya. Lampu yang padam dan pikiran yang kacau, membuat Nada tidak melihat keberadaan suaminya. "Dari mana saja sampai jam segini baru pulang?" Suara Attar menghentikan pergerakan Nada yang baru menginjak undakan tangga pertama. Spontan ia berbalik, mendapati suaminya yang sudah berdiri di depannya. "Aku dari rumah Cindy," jawab Nada dengan nada yang terkesan dingin. Attar mencelos ketika melihat mata istrinya yang sembab. Ia yakin, kejadian tadi siang lah penyebabnya. "Kita harus bicara." "Bisa nanti saja? Aku lelah ingin istirahat." Nada kembali berbalik dan melangkahkan kaki, tetapi pergerakannya terhenti ketika Attar tiba-tiba saja menarik tangan Nada hingga berbalik lagi ke arahnya. "Jangan begini, Nad. Aku tahu kamu marah karena kejadian tadi siang, tapi aku punya alasan kenapa memilih menolong Naura," pinta Attar sedikit memelas ketika melihat raut dingin di wajah istrinya. "Apa pun alasannya, yang jelas sekarang aku sadar, kalau aku sudah tidak penting lagi bagimu." "Jangan berbicara seperti itu, Nada! Kamu istri aku, tentu saja kamu sangat penting bagiku!" sanggah Attar. Melihat raut kesakitan di wajah Nada, perasaan bersalah makin menyeruak dalam dirinya. "Naura takut gelap, kamu mendengarnya sendiri, kan? Aku hanya panik, takut dia kenapa-napa. Makanya aku refleks menenangkan dia," jelas Attar, berharap Nada mau mengerti akan posisinya saat itu. "Kamu boleh peduli sama dia, tapi aku mohon jangan memperlihatkan kekhawatiran yang begitu kentara. Sampai orang yang melihat saja pasti tahu sebesar apa perhatian kamu untuk dia. Apa kamu tahu? Bagaimana tatapan orang-orang di kantor kamu padaku? Mereka melihat aku dengan tatapan kasihan karena suamiku lebih memilih memperhatikan wanita lain ketimbang istrinya sendiri!" Attar sedikit terkejut mendengar fakta itu. Akibat terlalu panik, Attar tidak memperhatikan sekitar hingga tidak sadar dengan apa yang terjadi. Termasuk tentang tatapan karyawannya pada istrinya. "Oke, aku ngaku salah. Aku minta maaf. Tapi tolong kamu jangan seperti ini. Pulang malam, mematikan ponsel. Aku khawatir, Nad," bujuk Attar mengalah. Ia memang takut terjadi sesuatu yang buruk pada Nada, apalagi istrinya pergi dalam keadaan kacau. "Nad--" "Aku jadi berpikir. Apa karena aku menunda kehamilan, perasaanmu padaku jadi berubah? Kamu diam-diam mencari kenyamanan dari wanita lain sebagai pelampiasan dari rasa kecewamu padaku." "Nad, bukan begitu. Kamu salah paham." Attar mencoba mengelak. "Benarkah aku hanya salah paham? Tapi kenapa hatiku mengatakan demikian?" Nada mengulurkan tangan, meletakkannya pada d**a sang suami yang memandangnya tak mengerti. "Tanyakan pada hatimu. Apa di sini, masih aku pemilik seutuhnya? Atau justru sudah ada nama lain yang juga menempatinya?" * * Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN