Bab 7

1125 Kata
Sudah tiga hari Nada berada di Anyer, belum pernah sekali pun ia menghubungi Attar. Hal itu tentu saja membuat Attar cemas. Tidak seperti biasanya Nada seperti ini. Istrinya itu pasti akan menghubunginya setiap hari ketika mereka berjauhan. Attar yakin, Nada masih marah karena kejadian di dalam lift waktu itu. Sudah beberapa kali ia mencoba menghubungi istrinya, tetapi sayang ponsel Nada tidak aktif dari kemarin. Hal itu lah yang makin membuatnya merasa cemas. Sayangnya, Attar tidak mempunyai nomor teman-teman istrinya sehingga ia tidak bisa menanyakan kabar Nada kepada mereka. Ketukan di pintu, membuyarkan keterpakuan Attar yang tengah memperhatikan ponsel. Menunggu, siapa tahu Nada memberinya kabar, itu yang Attar lakukan saat ini. "Masuk!" serunya setelah meletakkan ponsel ke atas meja. Naura muncul begitu pintu terbuka. Senyum manis tersungging dari bibir wanita berusia dua puluh enam tahun itu. "Maaf, Pak. Saya hanya ingin mengingatkan kalau jam dua siang nanti kita ada meeting dengan pihak dari PT. Angkasa Raya," ucap Naura setelah berdiri di hadapan meja kerja milik Attar. "Oh ya, saya hampir lupa. Kamu persiapkan saja semuanya, nanti kita berangkat sekalian makan siang di sana." "Baik, Pak. Saya permisi." Attar hanya mengangguk. Ia tatap tubuh Naura hingga hilang di balik pintu, kemudian fokusnya kembali pada layar ponsel yang tadi ia letakkan di atas meja. Nada masih belum menghubunginya. Pukul satu siang, Attar berangkat bersama Naura menuju tempat meeting yang akan diadakan di sebuah restoran jepang. Keduanya menempati meja yang sudah dipesan secara khusus untuk pertemuan kali ini. Tak lama kemudian, pihak dari PT. Angkasa Raya pun tiba. Mereka memulai meeting yang membahas tentang kerja sama proyek yang akan mereka lakukan mulai bulan depan. Semuanya berjalan lancar. Pihak dari PT. Angkasa Raya pun berpamitan terlebih dahulu, sedangkan Attar mengajak Naura untuk menikmati makan siang sebelum kembali ke kantor. "Alhamdullillah, meetingnya berjalan lancar ya, Pak." "Iya, Naura. Saya pikir meeting kali ini akan berjalan alot, mengingat kemarin saya sempat beradu argumen dengan Pak Santoso. Tapi syukurlah, apa yang saya takutkan tidak terjadi," ucap Attar sembari mengecek ponsel kembali, tetapi hasilnya sama. Nomor Nada masih tidak aktif. Mereka kembali fokus pada makanan, sampai terdengar desisan Naura dengan wajah yang berubah merah. Tangannya ia kibaskan di depan mulut akibat makanan yang ia makan terlalu pedas. "Kamu kenapa?" Attar sedikit panik melihat wajah Naura yang memerah. "Makanannya pedas, Pak." "Kamu gak kuat makan pedas?" "Iya." Naura menjawab sambil terus mengibaskan tangan di depan mulut. Merasa kasihan, Attar pun mengambilkan minum untuk sekretarisnya itu. "Ini, kamu minum dulu." Dengan sigap, Naura mengambilnya. Namun, karena tergesa-gesa, ia sampai tersedak dan air minum itu tumpah mengenai pakaian yang ia kenakan. "Pelan-pelan minumnya." Attar bangkit dari duduk, menghampiri Naura dengan membawa tissu di tangannya. "Lihat kan, baju kamu basah. Pipi kamu juga belepotan gini," tegurnya sembari mengelap pipi Naura dengan telaten. Tubuh Attar yang menunduk, membuat jarak wajah mereka begitu dekat. "P-pak." "Hmm." Attar yang masih fokus mengelap pipi sekretarisnya, tidak sadar akan kegugupan yang dirasakan Naura. "S-sudah, Pak. Biar saya melakukannya sendiri," cicit Naura yang membuat Attar tersadar. Wajah mereka begitu dekat. Attar memperhatikan wanita yang berada di depannya ini. Alis tebal nan rapi, bulu mata lentik, hidung mancung, pipi yang merona merah karena malu, dan bibir dengan polesan lipstik warna pink yang membuat Attar makin sulit mengalihkan pandangan. Dari jarak sedekat ini, Attar bisa menyaksikan kecantikan Naura yang tidak berbeda jauh dengan Nada. "Kamu cantik," ucapnya spontan. "A-apa, Pak?" "Kamu cantik, Naura," ulangnya yang membuat pipi Naura makin merona. "T-terima kasih atas pujiannya, Pak." Naura tergagap. Attar mengunci tatapannya pada mata sekretarisnya itu. Naura pun tidak bisa menghindar. Pandangan mereka beradu bersama desiran hangat di d**a masing-masing. "Kamu tahu?" bisik Attar. "Kamu wanita selain Nada yang berhasil membuat saya ingin memandangimu terus. Entah mengapa saya ingin berada dekat dengan kamu setiap saat. Katakan Naura ... apa ini namanya saya jatuh cinta?" Naura terperangah, "m-maksud Bapak?" Ia makin dibuat gugup. "Saya--" Prok Prok Prok "Wah hebat! Ada yang lagi mesra-mesraan di tempat umum rupanya." "Meisya?" Attar refleks menjauhkan tubuhnya dari Naura. "Kamu sedang apa di sini?" tanyanya sedikit gugup. Ia tidak menyangka jika adik iparnya itu bisa berada di tempat yang sama dengan dirinya, ditambah Meisya melihat apa yang ia lakukan kepada Naura. "Makan dong! Memangnya orang kalau datang ke tempat ini mau ngapain?" jawab Meisya ketus. Matanya beralih pada Naura yang kelihatan salang tingkah. "Ini Naura, sekretarisku," ucap Attar yang mengerti maksud tatapan Meisya. "Sekretaris? Kok aku baru lihat seorang sekretaris yang diperhatikan bossnya sampai segitunya," ujar Meisya dengan nada mengejek. "Mas Attar perhatian banget sama dia. Tadi aku malah mengira kalau dia itu pacarnya Mas Attar, bukan sekretaris," timpalnya sinis. "Kamu cuma salah paham, Mei. Tadi aku cuma membantu dia," kilah Attar masih mengelak. "Ya ... terserah Mas Attar saja lah. Aku cuma menyimpulkan dari apa yang aku lihat. Aku sudah lama lho, berada di sini memperhatikan kalian. Kasihan, ya Mbak Nada kalau sampai dia tahu apa yang suaminya lakukan di belakangnya." "Meisya, sudah kubilang kamu cuma salah paham. Kami berada di sini juga karena kerjaan," sergah Attar tak terima dipojokkan oleh adik iparnya. Ia tidak ingin jika Meisya melaporkan kejadian ini pada istrinya. "Mas mungkin bisa mengelak, tapi aku gak bodoh. Aku bisa membedakan mana yang murni urusan kerjaan dan mana yang melibatkan hati!" tukas Meisya dengan nyalang. Tak peduli kini orang-orang mulai memperhatikan mereka. "Ingat, Mas Attar. Kalau sampai dugaanku benar, aku gak akan tinggal diam. Aku sendiri yang akan mendukung Mbak Nada agar berpisah dengan Mas Attar!" Meisya terengah, menahan emosi supaya tidak meledak di depan kakak iparnya itu. "Dan kamu!" Matanya kini beralih pada Naura yang masih menunduk. "Kamu juga wanita. Kamu pasti tahu kalau atasan kamu ini sudah beristri. Punya harga diri lah sedikit. Jangan menikmati perhatian yang diberikan oleh suami orang! Sayang, cantik tapi berbakat jadi pelakor!" "Meisya, jaga ucapan kamu!" "Apa? Mas Attar mau marah? Silakan! Aku gak takut! Akan kulaporkan kejadian ini sama Mbak Nada biar dia tahu kelakuan suaminya di belakangnya! Aku sangat menyayangi Mbak Nada. Aku gak akan terima kalau dia sampai disakiti oleh Mas Attar. Andai Mas Attar tahu beban yang ditanggung Mbak Nada selama ini, aku yakin Mas Attar akan menyesal karena telah mengkhianati dia!" Meisya tidak tahan lagi. Bergegas ia pergi sebelum tangannya yang sudah gatal, menjambak rambut Naura. Meisya tentu tahu kalau rumah tangga kakaknya saat ini sedang tidak baik-baik saja. Setelah melihat kejadian barusan, kini ia paham mengapa hal itu bisa sampai terjadi. Pantas saja Nada memutuskan untuk berhenti bekerja, rupanya kakaknya itu mulai menyadari gelagat Attar di belakangnya. Namun, di saat Nada ingin memperbaiki rumah tangga mereka, justru Attar malah mulai main hati dengan sekretarisnya. Sumpah, meisya tidak terima kakaknya disakiti seperti itu. Attar sendiri masih terpaku di tempatnya. Mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Meisya. Beban? Apa yang disembunyikan Nada selama ini darinya? * * Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN