Bab 4

948 Kata
Suasana di dalam lift masih mencekam. Attar sibuk menenangkan Naura, sedangkan Nada terisak sambil duduk memeluk lutut. Menyaksikan langsung perhatian suaminya kepada wanita lain, Nada merasa tersisihkan sebagai istri. Apa Attar tidak sadar kalau saat ini ia pun berada di tempat yang sama? Ataukah karena terlalu khawatir pada Naura, ia sampai melupakan kehadiran Nada di antara mereka? Tak lama kemudian, lift akhirnya kembali menyala dan terbuka. Orang-orang sudah berkerumun di depan sana. Mereka langsung menyambut Attar yang membopong Naura dengan wajah panik. "Mbak Naura kenapa, Pak?" tanya salah satu karyawan. "Dia hampir kehabisan napas. Naura takut akan gelap. Saya harus segera membawanya ke rumah sakit." Attar melangkah cepat, tetapi perkataan karyawannya sukses membuatnya membeku di tempat. "Pak, bagaimana dengan istri Bapak? Dia juga sepertinya terlihat syok." Teringat Nada, Attar berbalik ke arah lift, bergegas menghampiri Nada dengan Naura yang masih ia bopong. Wajah istrinya terlihat pucat. Salah satu karyawan memberikan minuman pada Nada. Attar didera rasa bersalah pada istrinya. Karena terlalu panik akan keadaan Naura, ia sampai melupakan keberadaan istrinya itu. Nada berusah berdiri dengan dibantu oleh salah satu karyawan. Perlahan ia mulai mengatur napas agar merasa lebih tenang. Seketika, matanya beradu tatap dengan mata milik Attar. Nada memalingkan wajah melihat suaminya masih membopong Naura. Tidak bisakah wanita itu diserahkan pada karyawan yang lain saja? "Kamu baik-baik saja?" tanya Attar terdengar khawatir, tetapi bagi Nada, suaminya hanya berbasa basi. Nada hanya mengangguk sebagai jawaban. Mulutnya tak kuasa untuk sekedar menjawab. Mungkin efek dari hatinya yang merasa terluka. "Syukurlah. Kamu nanti pulang diantar Pak Anton. Aku harus mengantar Naura ke rumah sakit. Aku pergi dulu, Naura harus segera ditangani," pamitnya, lalu berbalik dan melangkah cepat keluar dari kantor. Nada tidak percaya akan apa yang suaminya lakukan. Ia lebih memilih membantu Naura tanpa memikirkan perasaannya. Tatapan iba dari para karyawan, membuat Nada merasa malu. Mereka pasti mengasihani dia karena suaminya lebih memilih mengantar wanita lain. "Ibu mau saya bantu sampai ke depan?" tawar salah satu karyawan. "Terima kasih, tapi tidak usah. Saya bisa berjalan sendiri," tolaknya. Nada melangkah gontai menuju parkiran. Di sana, Pak Anton yang merupakan sopir kantor, sudah menunggunya di dekat mobil. "Saya bisa pulang sendiri, Pak. Bapak tidak usah mengantar." "Tapi, Bu, nanti kalau Bapak tanya, bagaimana? Saya tidak mau kalau Bapak sampai marah." "Bapak bilang saja ini kemauan saya. Kalau dia marah, biar nanti saya yang menjelaskan." "Baiklah kalau begitu, Bu." Nada memasuki mobil dan keluar dari area kantor. Tujuannya bukan pulang ke rumah, tetapi ke Apartemen Cindy, sahabatnya. Nada butuh menenangkan diri sebelum bertemu kembali dengan Attar. Ia masih berusaha mencerna kejadian di dalam lift. Benarkah Attar sekhawatir itu pada Naura? Bahkan suaminya sampai tega meninggalkan dirinya yang masih syok. Sepertinya memang Naura menempati posisi istimewa di hati suaminya. Perhatian yang Attar berikan terlalu berlebihan untuk seorang atasan pada bawahannya. Nada tak kuasa menahan tangis. Ia takut, sungguh takut, perlahan posisinya di hati Attar akan tergeser. Tidak menutup kemungkinan jika Attar berpaling pada Naura. Dari tatapan dan sikap yang Attar tunjukkan, Nada bisa melihat ketertarikan di diri suaminya pada sekretarisnya itu. ??? Attar hampir saja membanting ponselnya ketika mendengar laporan dari Pak Anton. Nada menolak untuk diantar dan memilih pulang sendiri. Attar berusaha menghubungi istrinya, tetapi ponsel Nada malah tidak aktif. Attar belum bisa pulang karena masih menunggu Naura yang sedang ditangani Dokter. Attar sadar ia salah. Karena terlalu panik akan keadaan Naura, ia sampai melupakan keberadaan istrinya. Ditambah, ia lebih memilih mengantar Naura ke rumah sakit. Nada pasti kecewa padanya. Namun, Attar pun dilema. Ia begitu khawatir pada Naura. Apalagi melihat wajah wanita itu yang begitu pucat. Naluri ingin melindungi seketika hadir. Ia sampai tak sadar telah memeluk wanita itu dan mengecupi rambutnya di depan Nada. "Dengan keluarga pasien bernama Naura?" Lamunan Attra buyar. Ia bergegas menghampiri Dokter yang menangani Naura. "Bagaimana keadaannya, Dok?" "Mbak Naura hanya syok. Setelah beristirahat selama satu jam, ia sudah diperbolehkan pulang." "Syukurlah. Saya boleh menemuinya?" "Tentu. Silahkan, Pak." Attar berterima kasih. Ia pun bergegas menemui Naura yang terbaring lemah dengan selang oksigen di hidungnya. Melihat kedatangan Attar, Naura mengulas senyum. Ia sangat berterima kasih karena Attar sudah menolongnya. "Bagaimana keadaan kamu? Sudah baikan?" tanya Attar ketika sudah berdiri di sebelah ranjang yang ditempati Naura. "Alhamdullillah, sudah, Pak. Terima kasih Bapak sudah bersedia menolong saya." "Sama-sama. Satu jam lagi kamu sudah boleh pulang. Saya akan menunggu dan mengantar kamu," terang Attar. Naura menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia tidak ingin merepotkan Attar lagi. "Tidak usah, Pak. Bapak sudah terlalu sering membantu saya," tolaknya. "Naura, saya yang membawa kamu ke sini. Saya juga harus memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat. Tidak usah terlalu sungkan, saya senang bisa membantu kamu." "Tapi, Pak, bagaimana dengan Bu Nada?" Naura merasa bersalah pada istri atasannya itu. Attar sempat membeku, tetapi dengan cepat ia mengulas senyum. "Nada baik-baik saja. Dia sudah pulang ke rumah." "Tapi--" "Jangan lagi membantah, Naura. Saya tidak suka," sela Attar cepat. Ia yakin, Naura akan memberikan penolakan. "Kamu istirahat, saya menunggu di depan. Setelah satu jam, kita pulang," timpalnya tak ingin dibantah. Naura hanya bisa menurut. Ia berusaha memejamkan mata untuk menghindari tatapan mata Attar yang begitu lembut. Naura tidak ingin jantungnya berulah lagi. Sudah cukup ia merasakan perhatian dari atasannya ini. Ia selalu berusaha mengingatkan dirinya sendiri, bahwa ini semua salah. Attar milik Nada, ia hanya orang lain di hidup pria itu. Attar memandangi wajah Naura yang kini sudah terlelap. Tangannya terulur menyingkirkan anak rambut sang Sekretaris yang menutupi dahi. Seulas senyum terukir dari bibirnya. Wanita ini, kenapa selalu membuat Attar sulit mengalihkan pandangan. "Saya keluar dulu," bisiknya tepat di telinga Naura. Setelah kepergian Attar, mata Naura kembali terbuka. Senyum yang sama terukir dari bibirnya. Pipinya bersemu merah, dadanya pun bergermuruh tak beraturan. Mungkinkah ia jatuh cinta? * * Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN