Dalam waktu singkat, kasus kematian Sharon langsung viral. Tidak hanya di antara warga kampus saja, tapi juga seantero Indonesia jadi tahu dengan kasus mayat Sharon yang ditemukan di tepi danau kampus.
Semua orang penasaran, apa yang telah menjadi penyebab kematian si selebgram cantik itu. Terlebih lagi, kematiannya begitu tiba-tiba, persisnya setelah ia bersenang-senang dengan teman-temannya.
Investigasi besar-besaran tentu saja dilakukan. Orangtua Sharon yang merupakan orang berada dan memiliki banyak koneksi, mengerahkan semua kemampuan yang mereka punya untuk menyelidiki kasus kematian putri semata wayang mereka. Tentu saja, mereka tidak terima dengan kematian tiba-tiba Sharon dan menganggap jika putri mereka dibunuh.
Masalahnya, sudah seminggu berlalu, kasus tersebut belum mengarah ke satu pelaku pun. Kematian Sharon terlalu tidak wajar hingga bisa dilakukan oleh seorang manusia. Tidak ada luka yang ditemukan pada tubuhnya, kecuali beberapa luka seperti ditusuk paku di bagian leher dan pergelangan tangannya. Polisi juga tidak berhasil menemukan bukti apa pun, seperti sidik jari pelaku pada tubuh Sharon, atau barang bukti yang ada di sekitar lokasi kejadian.
Teman-teman yang bersama Sharon di malam sebelum ia ditemukan pun telah dimintai keterangan. Keterangan yang mereka berikan pun sama. Mereka tidak tahu apa-apa dan katanya, Sharon pulang duluan karena pergi bersama laki-laki yang baru dikenalnya di kelab itu. Polisi mencoba mencari laki-laki yang disebutkan. Meski sempat terekam di CCTV, namun mereka tidak bisa menemukan laki-laki itu, termasuk identitasnya.
Hingga sekarang, walau seminggu sudah berlalu, kasus Sharon masih ramai dibicarakan. Dan sosok laki-laki itu masih dalam pengejaran polisi, meski sepertinya, polisi sendiri tidak tahu harus mencari laki-laki itu dimana karena sosoknya yang sangat misterius.
Banyak teori yang beredar mengenai kematian Sharon. Salah satunya adalah teori kalau kematian Sharon bukan disebabkan oleh ulah manusia, melainkan karena campur tangan hal-hal mistis. Ada yang bilang kalau Sharon disantet, ada juga yang bilang jika laki-laki itu memiliki ilmu hitam dan menjadikan Sharon sebagai tumbal, dan yang paling konyol, ada yang bilang kalau laki-laki yang ditemui Sharon merupakan vampire yang menyedot habis darah perempuan itu hingga tubuhnya menyusut.
Semua teori itu benar-benar heboh di media sosial, bahkan tidak sedikit akun-akun yang menjadikan konten mistis dan supernatural, secara sengaja membahas mengenai kasus Sharon itu. Dan mereka jadi memiliki banyak penonton.
Seharusnya, Dery juga melakukan hal yang sama dengan membahas mengenai kasus Sharon di podcast horrornya. Kasus ini bisa menjadi kesempatan besar bagi Dery untuk menaikkan nama podcast-nya. Terlebih lagi, Dery sekampus dengan Sharon dan mengenalnya, yang mana hal itu bisa menjadi nilai lebih untuk kontennya.
Hanya saja, bukannya memanfaatkan kesempatan itu, Dery justru memilih fokus pada skripsinya. Seminggu ini, Dery benar-benar dibuat sibuk menggarap bab satu proposal skripsinya. Ia tidak mau memikirkan kasus Sharon sama sekali, bahkan menolak mentah-mentah permintaan timnya untuk menggarap kasus tentang Sharon.
Meski dari lubuk hati terdalamnya, Dery sebetulnya gatal untuk menyelidiki kasus ini. Tidak hanya demi konten, tapi murni karena ia penasaran dan ingin memastikan jika kematian Sharon ini tidak ada sangkut pautnya dengan pembersihan rumah Sharon yang waktu itu Dery bersihkan. Meski Dery sendiri yakin memang tidak ada sangkut pautnya.
Sesuai janji dengan Pak Teguh, setelah seminggu ia harus kembali menghadap sang dosen untuk bimbingan proposal skripsinya. Kini ia sudah berada di ruangan Pak Teguh, duduk berhadapan dengan dosennya itu dan melihat bagaimana dengan santainya si bapak mencoret-coret bab satu Dery yang telah dikerjakan selama seminggu ini.
Dery meringis memikirkan betapa banyak yang harus ia revisi. Di belakang Pak Teguh, si Hantu Skripsi yang menunggu ruangan ini malah cekikikan. Senang karena Dery bernasib sama dengannya dulu.
"Nggak sekalian tiap kata aja tuh, Pak, yang direvisi?"
Pak Teguh mendongak untuk melihat Dery. "Oh, kamu maunya begitu?"
Dery tersenyum meringis. "Bercanda, Pak."
Pak Teguh meletakkan berkas bab satu Dery yang sudah direvisinya ke atas meja. Ia menunjuk ke berkas tersebut.
"Jelek banget tulisanmu," ujarnya singkat, padat, dan jelas. "Banyak kalimat rancu, typo, dan banyak yang nggak nyambung juga. Tapi judulnya lumayan lah, bisa saya acc."
"Namanya juga baru pertama kali bikin skripsi, Pak, jadi banyak salahnya karena saya nggak ngerti." Dery beralasan.
"Ya, ya, ya, makanya kamu harus revisi semua yang udah saya coret tadi."
"Siap, Pak."
"Banyak-banyak baca jurnal atau literasi lain yang berhubungan sama judul kamu ini untuk bab dua kamu nanti. Tapi ingat ya, jangan asal kamu salin aja, itu namanya plagiat. Pintar-pintar pakai parafrase, supaya waktu dicek di turnitin nanti skripsi kamu bersih."
Dery hanya menganggukkan kepala.
"Minggu depan semuanya saya minta sudah direvisi dan bab dua juga sudah ada ya, Rasendriya. Kalau ada yang mau kamu tanya bisa lewat chat, atau temui saya disini."
Rasanya Dery mau protes dengan deadline yang diberikan oleh Pak Teguh. Seharusnya si bapak tahu kalau bab dua akan lebih susah dari bab satu, tapi bisa-bisanya Pak Teguh malah memberikan deadline waktu yang sama seperti bab satu kemarin.
Tapi, lagi-lagi Dery mengangguk saja dan mencoba berpikiran positif. Deadline cepat dari Pak Teguh bisa memotivasinya untuk bergerak gesit menyelesaikan skripsinya. Tanpa deadline seperti ini, Dery pasti hanya akan bersantai-santai saja dan sibuk memikirkan para hantu.
Setelah meminta Pak Teguh untuk menandatangani lembar konsultasi bimbingan skripsinya, Dery langsung membereskan barang-barang miliknya. Ia tidak mau berlama-lama berada di ruangan Pak Teguh. Jika terlalu lama disini, yang ada ia hanya akan diomeli oleh sang dosen, dan Dery sedang tidak mood untuk itu. Ditambah juga, ia sebal bukan main dengan si Hantu Skripsi yang secara terang-terangan mengejeknya. Paling senang dia kalau lihat mahasiswa kesulitan skripsi.
"Makasih banyak ya, Pak, untuk revisi dan bimbingannya hari ini. Kalau Allah mengizinkan, minggu depan saya balik ke sini lagi dengan membawa bab satu yang sudah direvisi dan bab dua. Tapi, kalau Allah nggak mengizinkan, jangan marahin saya ya, Pak."
Pak Teguh geleng-geleng kepala. "Kalau minggu depan kamu nggak bawa yang saya suruh tadi, itu namanya bukan Allah nggak mengizinkan, tapi kamunya yang malas!"
Dery cengengesan saja. Ia sudah mau beranjak dari duduknya dan hendak menyalami Pak Teguh, tapi si bapak justru menolak uluran tangan Dery dan memberinya gestur untuk tetap duduk di tempatnya.
"Tunggu dulu!" kata Pak Teguh.
"Kenapa lagi, Pak? Saya mesti pulang ini, supaya bisa langsung ngerjain revisi dari Bapak."
"Halah, sok banget kamu," cibir Pak Teguh. Lalu, ia mencondongkan tubuh ke depan agar lebih dekat dengan Dery ketika ia bertanya dengan nada suara rendah. "Bapak mau tanya, kasus si Sharon itu gimana kelanjutannya?"
Yah, si bapak ternyata mau ngajak ghibah.
Dery meringis. "Aduh, Pak, saya nggak tau. Ngak mau nyari tau juga," katanya.
"Kamu kan dukun, Der. Masa nggak tau sih? Itu beneran karena hal mistis gitu ya? Disantet? Atau dijadikan tumbal?"
"Dukun tuh julukan saya doang, Pak. Saya bisanya cuma ngusir hantu, kalau urusan ilmu hitam gitu saya nggak ngerti. Belum belajar dan nggak mau belajar juga. Ngeri abisnya, Pak!"
"Jadi, kamu nggak tau apa-apa nih tentang kasus Sharon dari sisi mistisnya?"
Dery menggelengkan kepala. "Kalau saya tau, pasti udah saya jadiin konten, Pak."
"Makanya kamu cari tau dong, Der. Supaya kamu juga bisa bikin konten."
Aduh, kenapa Pak Teguh jadi ikut-ikutan mendesaknya menyelidiki kasus Sharon seperti teman-temannya yang lain sih? Padahal semingu ini Dery sudah jadi mahasiswa teladang yang fokus dengan skripsi. Engkong sampai sujud syukur melihat Dery sudah mulai menggarap skripsinya di rumah.
Tapi, yang lain justru mendesak Dery menjadi dukun yang menyelidiki kasus misterius kematian Sharon. Walau tergoda untuk melakukannya, tapi Dery sudah menegaskan pada diri sendiri untuk tidak mencari tahu apa pun.
Sekali lagi ia menggelengkan kepala pada Pak Teguh. Dan sama seperti yang dilakukannya terhadap para temannya yang menginginkan hal sama, Dery menolak.
"Nggak deh, Pak, saya mau fokus skripsi dulu. Kan, Bapak juga mau saya cepat-cepat wisuda."
Pak Teguh pun tidak bisa mengatakan apa-apa lagi karena Dery sudah bilang begitu.
***
Niat awal Dery sih, setelah bimbingan dengan Pak Teguh, ia mau ke perpustakaan kampus untuk memulai revisinya. Dery memang sudah seserius itu pada skripsinya sehingga ia mau langsung cepat-cepat merevisi bab satunya setelah bimbingan dengan Pak Teguh, sebelum niatnya itu hilang.
Sebelum ke perpustakaan, Dery mampir dulu ke belakang kampus dan nongkrong bersama anak-anak fakultasnya di sana. Biasa lah, namanya juga anak laki, tentu saja kalau sudah berkumpul begitu kerjaannya nyebat. Tak terkecuali Dery. Tujuan utamanya ke sana memang untuk menghisap rokok sih. Lumayan lah untuk menghilangkan sejenak stress akibat revisi seabrek dari Pak Teguh.
Dery mengobrol santai dengan anak-anak fakultasnya di sana. Kebanyakan, mereka adalah adik tingkatnya, sehingga tidak ada yang berani membicarakan perihal Sharon di depan Dery, apalagi menyuruhnya untuk menyelidiki kasus kematian perempuan itu. Dan itu cukup melegakan bagi Dery karena memang ia sedang tidak ingin membahasnya.
Sayangnya, kelegaan Dery itu tidak bertahan lama. Rokoknya belum juga habis setengah ketika tiba-tiba saja ia dihampiri oleh Anwar, salah satu adik tingkatnya.
"Bang, ada yang nyariin." Anwar yang baru datang, tanpa basa-basi lagi langsung memberitahukan itu.
"Siapa?"
"Orangtuanya Sharon."
Sumpah, Dery langsung deg-degan mendengar itu. Berbagai pertanyaan langsung berkumpul di kepalanya begitu mengetahui kalau dirinya tiba-tiba saja dicari oleh orangtua Sharon. Dery merasa seperti tertangkap basah, padahal ia tidak salah apa-apa. Bahkan, polisi juga tidak menghubungi Dery sama sekali untuk meminta keterangan mengenai kematian Sharon.
Tapi, kenapa orangtua perempuan itu justru datang menemuinya?
Dery segera mematikan rokoknya dan membuangnya sembarangan usai Anwar mengatakan itu. Tanpa mempedulikan tatapan anak-anak di sana yang sudah tertuju penasaran kepadanya, Dery pun mengikuti Anwar yang membawanya ke koridor yang sepi, dimana orang tua Sharon sudah duduk di salah satu bangku panjang yang ada di sana.
Anwar segera pamit pergi setelah mengantar Dery, sehingga Dery berhadapan sendirian dengan orangtua Sharon. Membuatnya sesaat bingung harus bagaimana hanya berdiri canggung di depan mereka.
"Nak Dery?"
"Iya, Om?"
Pria yang diketahui Dery sebagai ayahnya Sharon menepuk tempat kosong di sebelahnya dan menyuruh Dery untuk duduk di sana.
Dery pun menurut dan duduk di sana, namun sengaja memberi sedikit jarak antara dirinya dan orangtua Sharon. Mereka duduk menyerong agar bisa sedikit berhadapan di bangku panjang itu. Sejenak Dery memerhatikan orangtua Sharon, menyadari jika keduanya terlihat begitu lelah dan kurang istirahat. Kematian Sharon pasti membuat mereka sangat terpukul dan sedih. Bahkan, kedua mata ibu Sharon pun masih bengkak dan merah. Sepertinya, beliau masih menangis semalaman.
Ayahnya Sharon mengulurkan tangan untuk mengajak Dery bersalaman. Tentu saja Dery menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya.
"Saya Herlambang, ayahnya Sharon. Ini Lina, istri saya."
Dery mengangguk. "Saya Dery, Om...temannya Sharon."
Sebenarnya, Dery agak ragu memperkenalkan dirinya sebagai teman Sharon, karena mereka sebetulnya tidak lah seakrab itu. Ia juga masih mempertanyakan apa maksud pertemuan ini.
"Kita sudah tahu kamu siapa," ujar Herlambang. "Sebelumnya maaf ya, Dery, karena tiba-tiba menemui kamu seperti ini."
"Nggak apa-apa, Om. Tapi, maaf sebelumnya, ada apa ya?"
"Apa betul kamu yang waktu itu membantu Sharon membersihkan rumah keluarga kami?"
Dery hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Herlambang itu. Dan jawaban itu membuat Herlambang dan istrinya berpandangan penuh arti. Jujur saja, Dery jadi takut disalahkan dan dituding memiliki hubungan atas kematian Sharon.
"Kami mau tanya ke kamu, apa kematian Sharon...ada hubungannya sama pembersihan waktu itu?"
Benar dugaan Dery, pikiran orang tua Sharon mengarah ke sana.
"Kita bukan mau menyalahkan kamu, tapi kita cuma mau tau." Lina yang sedari tadi hanya diam, akhirnya bersuara. "Satu minggu ini benar-benar buat kami karena kematian Sharon yang tiba-tiba. Kita udah menerima kalau Sharon nggak akan kembali, tapi kita nggak akan bisa tenang sampai tau penyebab sebenarnya dari kematian Sharon. Mau itu penyebabnya masuk akal atau di luar nalar, apapun itu, kita mau tau. Karena itu, Nak Dery, tolong kasih tau kami apa yang kamu tau."
Dery tidak langsung menjawab dan sejenak ia hanya memandangi orangtua Sharon yang terlihat penuh harap dengan jawaban yang akan Dery sampaikan. Sebetulnya, walau tidak mau mencari tahu lebih lanjut mengenai kasus Sharon, namun Dery diam-diam selalu mengikuti perkembangannya. Dari semua yang ia ketahui melalui perkembangan itu, Dery pun memiliki asumsinya sendiri yang belum pernah ia beritahu pada orang lain.
Selama ini, setiap ditanya mengenai kasus Sharon, Dery lebih memilih menjawab kalau ia tidak tahu apa-apa. Tapi, tentu saja ia tidak bisa memberikan jawaban yang sama kepada orangtua Sharon yang terlihat begitu sedih dan penuh harap.
Dery terlebih dahulu menghembuskan napas sebelum ia menjelaskan apa yang diketahuinya.
"Sebelumnya, saya minta Om dan Tante untuk nggak terlalu percaya sama apa yang bakal saya omongin ini, karena bisa aja saya salah."
Herlambang dan Lina mengangguk, mengisyaratkan Dery untuk melanjutkan penjelasannya.
"Menurut saya, kematian Sharon sama sekali nggak ada hubungannya sama pembersihan rumah keluarga kalian waktu itu. Semua penunggu yang ada di rumah itu memang banyak, tapi mereka cuma hantu gentayangan. Hal terkuat yang bisa mereka lakukan itu cuma ngelempar barang-barang, itu pun mereka butuh energi yang besar. Ilmu saya di dunia mistis masih sangat cetek, Om, Tante, tapi setahu saya, hantu nggak bisa nyakitin manusia sampai segitunya...terutama kayak yang terjadi ke Sharon."
"Jadi, kematian Sharon memang ulah manusia?"
Dery menggelengkan kepala. "Menurut saya juga bukan. Manusia mana yang bisa ngelakuin hal begitu? Terlalu nggak masuk akal, makanya saya juga bingung. Dan saya juga udah liat rekaman CCTV yang nunjukin cowok yang ada sama Sharon terakhir kali. Saya yakin seratus persen, cowok itu manusia."
Lina menangis mendengarnya dan Herlambang langsung merangkul sang istri untuk menguatkannya. Dery memilih melengos karena tidak tega melihat mereka yang begitu terpukul.
"Maaf, Om, Tante, cuma itu yang saya tau."
Dery terkejut ketika tiba-tiba saja tangannya digenggam oleh Herlambang. Begitu ia menoleh lagi pada pria itu, ia sudah memandang Dery dengan tatapan pemelas dan ada airmata yang menggenang di pelupuk matanya.
"Dery, tolong bantu kami...tolong cari tau penyebab kematian Sharon. Kami bisa bayar kamu berapa pun, dan kasih kamu apa yang kamu minta, kalau kamu bisa tau penyebab kematian putri kami satu-satunya."
"Tapi, Om-"
"Kami mohon Dery...kami nggak akan bisa tenang seumur hidup kalau kami nggak bisa tau penyebabnya. Polisi juga udah menemui jalan buntu, karena itu Dery...tolong bantu kami."
Melihat bagaimana Herlambang dan Lina begitu menggantungkan harapan mereka padanya, Dery tidak sampai hati untuk menolak permintaan mereka.
Karena itu, akhirnya Dery tidak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala, dan menyetujui permintaan tersebut. Demi orangtua Sharon, Dery jadi merevisi apa yang sebelumnya ia tegaskan pada diri sendiri.