Bapak di ICU

1055 Kata
Setelah semua urusan goreng menggoreng di dapur selesai, aku menyeduh teh untuk Bapak dan kopi untuk Abizar, aku dan Ibu menunggu mereka di teras depan. Tidak berapa lama, Abizar dan Bapak berjalan beriringan. Tidak ada percakapan di antara mereka, hanya Bapak yang ngomong ke aku, kami disuruh makan malam dulu sebelum pulang, “Makan malam dulu di sini, setelah itu baru pulang.” Setelah ngomong begitu, Bapak masuk diikuti Ibu, ke kamar, sepertinya Bapak akan ganti baju. Abizar yang mendengar ucapan Bapak tersebut, menggeleng pelan ke arahku, dan ketika Bapak dan Ibu sudah hilang dari pandangan kami, Abizar mendekatiku, “Pulang sekarang aja, Tan. Kan kita harus beres-beres kamar juga, itu bawaan kamu kan harus diberesin, kamu juga masih harus istirahat, dan urusanku juga belum tuntas. Masih kangen nih, sama kamu, sayang. Kita pulang sekarang aja, ya.” entah kenapa, ketika ada Abizar pendirianku langsung goyah, kepalaku secara otomatis mengangguk, “Baiklah, tapi ini kopinya diminum dulu, pisangnya dimakan, gak enak sama Ibu udah yang gorengin, tunggu Bapak dan Ibu keluar kamar, ya. Baju di kamar dimasukin ke mobil aja, Bi.” Abizar mengangguk dan bilang, “Janji gak lama-lama, ya.” aku mengangguk, Abizar kemudian masuk ke kamarku untuk mengambil tas dan memasukkannya ke kamar. Tidak berapa lama kemudian, Bapak dan Ibu keluar dari kamar, dan duduk di teras untuk menikmati pisang goreng juga teh yang tadi dibuat, “Malam ini kita pesen sate ayam aja, ya. Kamu suka sate ayam, kan, Bi? Loh, itu tas kok udah dimasukkin, kalian jadi, kan, makan malam di sini?” tanya Bapak. Aku menggeleng pelan, “Kami langsung pulang ya, Pak, habis ini. Soalnya barang-barang yang aku bawa dari rumah harus diberesin, aku juga harus nyiapin berkas-berkas lamaran yang mau aku masuk-masukin ke beberapa perusahaan. Nanti bisa nginep sini lagi, Pak, kalo Abizar libur, ya.” Bapak tidak mengangguk tidak juga menggeleng, hanya diam, menghabiskan gigitan terakhir pisang gorengnya dan menyeruput teh hangat yang dibuat Ibu, lalu masuk ke dalam. Aku jadi serba salah, tapi mau gimana lagi, Abizar tidak mau berlama-lama di sini.  Karena Bapak sudah masuk ke kamar, aku dan Abizar pamit ke Ibu, “Bu, kami pamit, ya. Salam sama Bapak, besok kalo aku selesai masukin lamaran lebih cepat, aku mampir lagi ke sini, ya, Bu.” Ibu hanya mengangguk, aku dan Abizar mencium tangan Ibu, lalu masuk ke mobil, dan jalan pulang. Sejujurnya aku tidak tega meninggalkan Bapak dalam kondisi seperti itu, tapi permintaan Abizar juga tidak bisa aku tolak. Semoga Bapak dan Ibu bisa mengerti. Hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit perjalanan, kami sampai di rumah, ketika aku membuka kunci pintu yang ada di dalam bayanganku adalah rumah yang acak-acakan, kotor, dan berdebu. Ternyata aku salah, setelah masuk dan memeriksa dapur juga kamar tidur kami, rumah dalam keadaan bersih, seprei di kamar juga sudah baru, dan ruangan jadi harum, ketika sedang membuka lemari untuk memasukkan baju-bajuku, Abizar sudah berada di belakangku dan memelukku, “Yuk, sayang. Nerusin yang tadi, aku belom tuntas, nih.” Tanpa permisi tanpa aba-aba, Abizar langsung membawaku ke ranjang, dan kami melakukannya lagi. Setelah selesai menunaikan hajatnya, aku mendengar handphone-ku berdering, tapi langsung diambil sama Abizar, “Gak ada yang boleh mengganggu kita hari ini. Aku mau puas-puasin berdua sama kamu, aku mau kita melakukannya lagi dan lagi, sampai aku benar-benar puas, paham?” ucap Abizar dengan nada yang belum pernah aku dengar sebelumnya, dia bukan dirinya. Entah kenapa, dia jadi menakutkan seperti ini. Ketika selesai mematikan handphone-ku dia kembali menyerangku, aku hanya diberi kesempatan sebentar untuk bernapas dan minum. Hampir mendekati isya, Abizar menyerah, dia kelelahan, dan tertidur. Kesempatan ini aku gunakan untuk mandi dan mencari makanan yang mau aku pesan untuk makan malam kami, karena sejak tadi sore, aku tidak makan sama sekali, hanya air putih yang masuk ke mulutku. Ketika sedang duduk di meja makan, aku menghidupkan handphone, banyak panggilan tidak terjawab, masuk. Dari Ibu, dari Pakde, juga dari Bude Yana, aku heran, ada kejadian apa sampai mereka puluhan kali mencoba meneleponku. Aku juga langsung memeriksa pesan, ada sekitar lima belas pesan yang masuk, sepuluh dari Ibu, lima dari Bude Yana, “Tan, Bapak kambuh sakit jantungnya, ini lagi sesak napas. Ke sini, ya, Tan. Ibu tunggu.” Berselang lima menit kemudian, pesan Ibu masuk lagi, “Tan, bisa ke sini, kan? Ibu gak bisa nelepon siapa-siapa, Bude Yana lagi diperjalanan ke rumah anaknya.” Dan pesan terakhir yang masuk dari Ibu, berisikan informasi di mana Bapak dirawat, “Tan, Bapak udah di rumah sakit. Sekarang masih di ICU, Bapak gak sadarkan diri, Tan.” Aku menjerit, berharap sesak di dadaku berkurang. Bergegas ke kamar dan membangunkan Abizar, “Bi, Abizar. Bapak masuk rumah sakit, BI BANGUN!” aku membentaknya. Akhirnya dia bangun juga, “Kenapa sih, Tan? Aku tuh capek, mau tidur bentar, abis ini kita seperti tadi lagi, ya.” aku meninggalkannya di ranjang, masuk kamar mandi dan mengganti pakaianku, “Bapak di rumah sakit, jantungnya kumat. Sekarang di ICU, aku mau ke sana. Hayok bangun, anterin aku.” Abizar tidak menyahut, sekali lagi mencoba untuk ngomong sama Abizar, “Bi, bangun donk. Aku nunggu kamu ini, buruan ganti baju.” Dengan malas-malasan, Abizar bangkit dari ranjang, “Iya-iya. Ada-ada aja, ish. Baru juga mau enak-enakan sama istri, ada aja deh yang jadi halangan.” Aku menunggu Abizar di depan, sesekali meneriakinya, “Bi, buruan ih, lama banget.” Dan setelah menunggu, dua puluh menit kemudian dia keluar sambil membawa kunci mobil. Ketika kami masuk ke dalam mobil, baru juga keluar dari halaman, dia sudah ngomong bahwa dia gak mau nginep di rumah sakit, “Kita hanya ngeliatin Bapak aja, kan? Gak pake adegan kamu nginep di sana, kita tidur di rumah sakit?” aku diam, serba salah mau menjawabnya, aku hanya bisa menanggapi, “Kita lihat nanti. Kalo Ibu butuh ditemani sama aku, ya, aku harus nginep, Bi.” Dia menghembuskan napas dengan keras, “Tersiksa banget aku begini, loh, Tan. Kebutuhanku belum kamu penuhi, aku masih kangen sama kamu. Harus juga aku tahan lagi?” sungguh aku kesal dengan apa yang barusan dibilang sama Abizar, yang ada di otaknya hanya pemenuhan kebutuhan bipogisnya saja, urusan ranjang aja. Padahal, sejak tadi sore, sampai hampir isya, kami melakukannya, dan dia gak puas juga. Tapi alih-alih membantah apa yang diucapkannya, aku hanya diam saja. Daripada jadi masalah yang berbuntut kami harus bertengkar lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN