Hampir Kehilangan Bapak

1050 Kata
Sesampainya di rumah sakit, Abizar tadinya tidak mau turun dan ikut masuk ke ruangan tempat Bapak dirawat, tapi aku memaksanya, “Masa kamu gak turun, Bi. Apa kata Ibu dan saudara-saudaraku yang lain. Turun lah sebentar aja, abis itu, kalo kamu mau nunggu di mobil atau pulang, ya, gak apa-apa.” Dan lagi, dengan wajah yang ogah-ogahan dia turun, ketika di parkiran aku mencoba menelepon Ibu, beberapa kali tidak diangkat, ketika di dering terakhir sebelum telepon terputus, akhirnya Ibu menjawab panggilanku, “Tan, Bapak …” Ibu menangis tersedu, aku ikutan nangis dan menanyakan ada apa dengan Bapak, “Bu, kenapa, Bapak kenapa, Bu, ada apa?” aku bergegas jalan cepat, hampir berlari, kalau saja Abizar tidak menahanku, “Tan, sadar, itu perutmu baru beres operasi. Jangan lari cepat-cepat gitu.” Akhirnya aku jalan cepat saja, langkahku seperti tidak sampai-sampai, padahal aku sudah berusaha secepat mungkin untuk sampai ke ruang ICU. Setelah sampai di depan ICU, aku melihat Bude Yana dan Pakde, “Bude, Bapak dan Ibu, di mana?” Bude memegangi tanganku, “Sabar, ya, tenang. Itu Bapak sedang di dalam, lagi ditangani sama dokter. Bapak anfal, kita berdoa di sini, ya.” Aku melepaskan tangan Bude dan bergegas masuk ke dalam mencari tempat Bapak tidur. Ada Ibu di sana, sedang menangis melihat Bapak yang sedang dipakaikan alat kejut jantung, beberapa perawat dan dokter mencoba untuk membawa Bapak kembali ke bumi, mencoba untuk mendapatkan detak jantung Bapak kembali. "Tan, Bapak, Tan …” tidak ada kata yang terlontar dari mulut Ibu. Kami berpelukan berdua, melihat Bapak sedang terbujur di ranjang. Kami berdua berpelukan, perawat tersebut sepertinya ingin menyerah, aku maju, memohon mereka untuk mencoba lagi, “Tolong, Sus, tolong dicoba lagi. Aku mohon.” Dokter mengangguk, aku mencoba memegang tangan Bapak, sembari mengajaknya ngobrol, “Pak, ini Tania. Maaf, Pak, Tania baru datang, Bapak, Tania di sini.” Entah keajaiban apa yang Allah kasih, monitor yang tadinya terlihat lurus, mulai bergelombang lagi, d**a Bapak juga bergerak lagi, dan Dokter bilang, “Oke, kita dapat lagi denyutnya.” Aku lemas, terduduk di lantai, Ibu memelukku, “Tan, ke sini, Nak. Biar dokternya bisa ngurus Bapak. Alhamdulillah ya Allah.” Setelah kejadian barusan, Bapak memang belum membuka matanya, tapi minimal beliau sudah bernapas lagi. Ketika Ibu dan aku sudah sama-sama tenang, Ibu bercerita, “Tadi, selepas kalian pulang, Bapak mengurung diri di kamar. Terlihat sekali Bapak terpukul dan kecewa kalo kamu pulang ke rumahmu, Tan. Ibu mencoba memberikan pengertian bahwa kamu memang seharusnya ikut sama suamimu, tapi Bapak mungkin masih belum ikhlas melepas kamu balik ke rumah dengan Abizar. Setelah melihatmu benar-benar jatuh dan terpukul akibat perbuatan suamimu dan keluarganya, mungkin Bapak mau kamu di rumah dulu sampai benar-benar pulih. Jadi, sehabis salat magrib di masjid, begitu sampai di depan pintu masuk, Bapak bilang dadanya panas. Ibu lalu membawanya masuk ke kamar, menggantikan Bapak kaos yang lebih nyaman dan adem, terus Ibu mencoba mengusap-usapnya seperti biasa, tapi gak tau kenapa, gak seperti kemarin-kemarin, sudah beberapa menit berlalu, bukannya mereda, Bapak bilang dadanya malah sakit, dan napas Bapak malah berat.” Ibu terisak kembali. Aku mencoba menenangkannya, “Setelah Bapak bilang gak kuat dengan nada yang melemah, Ibu mencoba menghubungimu berkali-kali, pada panggilan pertama nada panggilan berdering, tapi setelahnya tidak bisa lagi Ibu panggil, di luar jangkauan begitu kata operator. Jadi Ibu langsung menelepon Bude Yana, tadinya Bude juga gak bisa ke rumah karena sedang dalam perjalanan ke rumah anaknya, tapi rupanya Pakde langsung meng-iya-kan untuk datang ke rumah. Untung saja ada mereka, kalo gak, gak tau lagi Ibu gimana keadaan Bapak sekarang.” Aku dan Ibu kemudian memilih diam, menenangkan keadaan hati kami yang kalut. Setelah tenang, Ibu menanyakan ke mana Abizar, “Suamimu mana, Tan, kok daritadi gak kelihatan? Apa kamu datang sendiri ke sini?” aku juga penasaran, kemana Abizar. Tadi dia bilang mau nungguin aku, kok sekarang udah gak keliatan batang hidungnya. Tapi demi menutupi penasaran Ibu, aku bilang bahwa mungkin Abizar nunggu di luar, “Tadi sih nganterin aku sampe sini, Bu. Mungkin dia nunggu di depan sama Pakde dan Bude. Soalnya Abizar gak tahan bau rumah sakit, obat, dan alkohol yang banter gini.” Ibu hanya mengangguk, “Kirain kamu ke sini sendirian, terus dia tidur di rumah.” Aku tidak menyahuti ucapan Ibu, aku tau, Ibu masih marah karena aku lambat datang, “Untung Bapak bisa diselamatkan dan umurnya masih panjang. Seandainya tadi Bapak benar-benar pergi ninggalin kita, kamu gak sempat ketemu Bapak, bakal jadi sesalmu seumur hidup, Tan.” Aku menunduk. Tidak lama, handphoneku berbunyi tanda pesan masuk, tertulis pesan tersebut dari Abizar, “Aku di mobil, kalo udah selesai lekas ke sini, kita pulang. Ingat janjimu tadi, kita gak akan nginep di sini.” Aku tidak membalas pesannya, tidak lama, Abizar meneleponku, “Tan, kenapa gak dibalas. Udah beres kan urusan di sana?” aku belom sempat menjawab, Ibu merebut handphone-ku, “Kamu tau, bapaknya Tania barusan hampir meninggal, kalo kamu tidak sengaja mematikan handphone anak saya, tadi, Tania pasti sudah sampai di sini lebih cepat. Malam ini, dia akan nginep dan tidur sama saya di sini, kalo kamu mau pulang, SILAKAN!” lalu telepon dimatikan. Aku kaget, ini bukan Ibu, maksudku, Ibu tidak akan seperti ini kalo tidak benar-benar marah. Beliau jarang sekali marah, dari kemarin Ibu hanya diam melihat perbuatan sikap Abizar, mungkin beliau mencoba menahan amarahnya tapi tidak kali ini, Ibu benar-benar emosi. “Kalo kamu pulang dan ikut sama suamimu, sekarang, Tania, kamu bukan anak saya lagi. Silakan pergi dan lupakan saya juga Bapak yang sedang terbujur di dalam.” Lantas Ibu pergi setelah bicara seperti itu. Aku benar-benar bingung, siapa yang harus aku ikuti. Di satu sisi, Abizar adalah suamiku, di sisi lain yang ada di dalam ruang ICU itu Bapak, orang tuaku. Aku menangis, bagaimana aku bisa memilih salah satu dari mereka, keduanya adalah dua orang yang sangat penting di dalam hidupku. Bude Yana mendekatiku, “Nduk, sini.” Bude Yana memelukku, aku menangis terisak di pundaknya, “Aku harus apa Bude?Aku harus gimana?” Bude Yana mengusap punggungku, “Pakde lagi nyamperin Abizar di parkiran, lagi diajak ngobrol sambil coba kasih masukan biar kamu bisa nginep di sini, minimal malam ini nemenin ibumu.” Aku mengangguk, “Makasih Bude.” Aku mencoba untuk diam dulu sebentar, karena ada yang nyeri di sekitar tempat bekas operasi kemarin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN