Dijemput Abizar

1135 Kata
“Saya mewakili keluarga besar meminta maaf atas apa yang telah terjadi, bagaimanapun seharusnya keamanan, kesahatan, dan kenyamanan Tania di rumah kami adalah tanggung jawab kami, Pak.” Begitu ucapan Mas Anto, kakak nomor dua Abizar, ketika datang ke rumah bersama Kak Raudhah dan Abizar. Bapak yang saat itu sedang tidak sehat, hanya mengangguk, “Saya ya, Mas, kalo nurutin keinginan hati, ingin rasanya meminta Tania pisah saja sama Abizar. Kelakuan keluarga kalian itu benar-benar seperti keluarga tidak ada pendidikan. Tania ini kan perempuan, sedang hamil pula, terlepas dia hamil duluan atau kenapa, yang pasti dia kan hamil sama Abizar, harusnya kamu juga, Abizar, lindungin donk istrimu. Kok bisa, kejadian gak baik di depan matamu terjadi, sama istrimu lagi, kamu diam aja?” ucap Bapak menunjuk Abizar yang sekarang hanya tertunduk lesu. Mas Anto hanya mengangguk, wajahnya yang teduh, membuat Bapak sepertinya lebih nyaman bicara ke dia. “Benar, Pak, semua yang terjadi ini kesalahan kami, saya, Abizar, dan keluarga besar saya, mohon sekali lagi dimaafkan. Semoga setelah ini, kita sebagai keluarga besar bisa saling jaga, saling menyayangi, dan saling menghargai.” Kak Raudhah yang ikut di situ, duduk di sebelahku, menggenggam tanganku. Bapak meneruskan ucapannya, “Sekarang, semuanya saya serahkan ke Tania, kalo dia mau ikut lagi sama Abizar, silakan, tapi dengan satu syarat, dia dan Abizar tidak boleh lagi tinggal menetap di rumah keluarga kalian. Mereka harus tinggal di rumah mereka sendiri atau Tania mau berpisah dengan Abizar pun, saya setuju banget, memang itu keinginan saya. Jadi Tan, kamu maunya gimana?” aku mencoba menarik napas panjang, seperti saksi pada kasus pembunuhan, sekarang semua mata tertuju padaku, “Insyaallah aku akan ikut dengan Abizar, Pak. Tapi memang dengan syarat-syarat yang akan aku ajukan, salah satunya bahwa kami tidak akan lagi tinggal dan menetap di rumah besar, yang kedua apa pun masalah yang akan kami hadapi ke depannya, tidak ada yang ikut campur di dalamnya, termasuk keluarga Abizar maupun keluargaku, dan yang terakhir, aku mau balik bekerja lagi, toh sekarang aku sudah tidak hamil. Aku butuh juga keluar dan ketemu dengan orang banyak, aku stres dan pusing jika harus di rumah terus.” Aku mencoba mengingat, syarat apa saja yang akan aku ajukan ke Abizar, kemudian teringat sesuatu, “O iya, satu lagi. Semua pekerjaan rumah akan kami bagi berdua, kami kerjakan bersama. Kalo ada salah satu dari syarat yang saya ajukan di atas kamu keberatan, Bi, sepertinya aku harus memikirkan lagi mengenai pernikahan dan hubungan kita.” Aku menutup ucapanku dan menunggu tanggapan dari Abizar. “Bismillah, saya atas nama pribadi meminta maaf ke Bapak dan Ibu atas yang terjadi kemarin. Sebagai suami saya lalai menjaga Tania dan bayi kami. Insyaallah aku terima semua syarat yang kamu ajukan, sayang. Kita akan pulang ke rumah kita sendiri, kamu juga boleh bekerja lagi. Apa-apa nanti yang terjadi di dalam hubungan kita dan rumah tangga kita, akan diurus berdua, tidak ada lagi campur tangan siapa pun, ya, Tan.” Aku mengangguk, ada setitik harapan akan kehidupan berumah tangga kami. Besar harapan Abizar bisa membahagiakanku. Setelah ngobrol beberapa menit, dengan Bapak yang masih tegang, seperti tidak rela kalo aku ikut, Mas Anto lalu meminta diri untuk pamit pulang, “Baik, Pak, Bu, karena sudah clear masalahnya, saya dan istri saya pamit dulu, sekali lagi maafkan kami dan keluarga besar atas apa yang terjadi. Kalo Abizar ya silakan saja, nanti gimana baiknya ngobrol sama Tania.” Dan Mas Anto juga Mbak Raudhah pergi duluan, sementara Abizar masih tinggal. Bapak dan Ibu juga akhirnya masuk ke dalam. Tinggal aku dan Abizar berdua saja di ruangan itu. “Tan, ayok, pulang ke rumah kita, aku udah kangen banget. Aku bantu beresin baju dan tasnya, ya.” aku mengangguk, lalu mengajak Abizar ke kamarku. Ketika aku sedang membuka lemari dan mengambil tasku, Abizar mendekatiku, “Di sini aja, yuk, sayang. Aku udah kangen banget, ya, mau, ya.” tanpa menunggu persetujuanku, Abizar langsung mengunci pintu kamar, dan membimbingku ke ranjang. Aku ingin menolak sebenarnya, karena masih sakit di bagian perut bawahku, bekas operasi ini. Tapi melihat Abizar seperti ini, aku tidak mau mengecewakannya apalagi kami baru saja selesai membereskan masalah kemarin, masa iya harus berantem lagi? Dan begitulah, dia melakukannya, seperti orang yang berpuasa beberapa hari dan berbuka puasa dengan lahap, begitu pula perlakuan Abizar terhadap tubuhku. Aku hanya bisa menuruti keinginannya, sembari beberapa kali memintanya untuk lebih lembut melakukannya dan berjengit sesekali karena nyeri bekas operasi masih terasa. Azan ashar, terdengar, kami baru selesai melakukannya. Ibu yang beberapa kali mengetuk pintu tadi, ketika kami sedang melakukannya, tidak kami hiraukan. Baru ketika azan ashar terdengar, Abizar keluar, setelah mandi, dan ikut ke masjid bareng Bapak. Ketika sedang berdua saja dengan Ibu, sambil menggoreng pisang dan membuat tempe mendoan, Ibu berpesan kepadaku, “Tan, jadi istri memang harus nurut apa kata suami. Tapi kamu juga harus punya kendali atas dirimu. Jangan menyakiti dirimu sendiri dan nurut aja apa kata suami, kamu lihat, kan, bagaimana Bapak memperlakukan Ibu. Sekesal-kesalnya beliau, semarah-marahnya Bapak, gak pernah Bapak membentak apalagi memukul Ibu. Ketika salah satu keluarganya ada yang nyakitin Ibu, gak perlu Ibu ngadu Bapak yang duluan ngambil tindakan untuk melindungi Ibu. Begitu seharusnya Abizar memperlakukan kamu, istrinya. Kalo dia sebagai kepala keluarga gak bisa ngelindungin kamu, ya, bagaimana nanti kalo kalian udah punya anak, bisa-bisa kamu dan anak-anakmu bisa diperlakukan semena-mena sama keluarganya atau sama orang lain, lalu Abizar, suamimu itu hanya diam saja? kan konyol banget, Tan. fitrahnya lelaki itu melindungi dan wanita yang dilindungi.” aku diam ketika mendengar Ibu bicara, kali ini aku tidak akan lagi membantah perkataannya, "Ibu ngomong begini bukan karena Ibu benci sama Abizar, toh Ibu dan Bapak benci atau tidak, suka atau tidak suka sama Abizar, kamu sudah memilihnya sebagai suami dan kalian juga sudah kadung menikah. Ibu ngomong gini biar kamu tuh eling, jangan cuma iya-iya aja dengan apa yang diucapkan dan dilakukan Abizar terhadapmu. Kalo memang kamu gak suka atau gak nyaman, ngomong, sampaikan. Komunikasi itu penting dalam sebuah rumah tangga, Tan." Aku mengangguk, tanda bahwa aku paham maksud dan ucapan Ibu barusan. Aku tidak lagi mau mendebatnya, karena jelas dan sudah terbukti, ketika kemarin aku ngotot menikah cepat-cepat, seperti ada saja halangan dan tantangan yang aku alami. Sedikit banyak aku menyadari mungkin yang sedang terjadi padaku ini adalah teguran dari Allah untukku karena tidak mendengarkan omongan Ibu dan Bapak, lebih sering membantah mereka karena lebih condong untuk membela Abizar dan keluarganya. Padahal seharusnya, sebelum memutuskan sesuatu aku harusnya meminta rido dan doa mereka, karena rido mereka kan ridonya Allah, hal ini yang belakangan aku tanamkan di dalam kepalaku. Meskipun emang suami adalah orang yang bertanggung jawab atas istrinya dan memang sudah seharusnya istri harus ikut apa kata suami, tapi jika suami berbuat yang tidak sesuai dengan agama, tidak bisa menjaga kebaikan rumah tangganya, rasanya, sebagai istri aku boleh kok mendengarkan ucapan dari Ibu dan Bapak. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN