Prana Ngambek

1080 Kata
Sambil makan cerita demi cerita bergulir, aku dan Rangga yang mendominasi. Prana hanya sesekali menjawab saat Rangga atau aku bertanya. “Tan, kamu besok senggang gak? Ada waktu buat ketemuan? Hari ini aku masih banyak kerjaan, sepertinya temen udah nunggu di atas. Sini ponselmu,” aku memberikan handphoneku ke Rangga dan menjawab pertanyaannya, “Besok kan aku masih kerja, belum libur, tapi aku usahakan gak lembur. Nanti aku infoin, kalo lapang, jemput deh, ke Pabrik,” jawabku seraya menyerahkan ponsel kepadanya. “Sandinya apa?” tanya Rangga saat melihat ponselku terkunci. “Tanggal lahirku, masih ingat, kan?” jawabku, dia mengangguk, “Inget donk, kamu yang ngambek gara-gara aku telat jemput buat berangkat ke sekolah barengan aja aku inget,” dia tertawa, Rangga masih mengingat tanggal lahirku karena dia berhasil membuka ponsel, mengotak atiknya lalu mengembalikannya. “Nah, ini handphonemu, sudah aku masukin nomorku, sudah aku follow Instagramku, f*******:, dan semua media sosial. Nanti aku follow balik,” ucapnya kalem. Aku tersenyum geleng-geleng kepala, Rangga tidak berubah, menyenangkan dan percaya dirinya masih begitu tinggi. “Tetep ya,” ucapku. Suara gelas yang beradu dengan meja terdengar mengagetkan kami, aku dan Rangga menoleh, Prana mengangguk minta maaf, berdalih tidak sengaja meletakkan gelasnya terlalu kencang. Tidak berapa lama, Rangga pamit, “Ya udah, Pak Prana saya pamit. Tan, besok aku jemput, jangan lupa share lokasi ya. Makanannya biar saya yang bayar, anggap aja perayaan karena kita akhirnya bertemu kembali. Kalo mau pesan untuk teman-teman kantor, boleh loh, billnya aku buka, santai aja.” Prana menggeleng, “Tidak perlu, ini cukup, Pak. Jangan berlebihan, terima kasih.” Ucap Prana masih dengan wajah yang kurang bersahabat. Rangga mengangguk. “Okedeh, aku duluan, ya.” Aku akhirnya menyelesaikan makan, menikmati dinginnya makanan penutup. Prana masih diam memendam sesuatu, lalu dia beranjak dan pamit untuk pergi ke toilet. Aku tau ada sesuatu yang tidak beres, apa mungkin Prana cemburu sama Rangga? Hah? Setelah selesai urusan kami di sini, kami bergegas untuk pulang, “Tunggu di lobi aja, nanti aku jemput di situ, sini laptopnya, biar aku bawa.” Dengan setengah merebut paksa laptop yang aku pegang, Prana lalu berjalan ke parkiran. Aku yang heran sama sikap Prana, malah bingung harus gimana. Ketika sedang menebak-nebak Prana kenapa, mobilnya sudah sampai di lobi, aku yang melihat Prana sepertinya begitu lelah, mencoba untuk menawarkan biar aku saja yang menyetir mobil, namun dia menolak dengan tegas, “Gak usah, ayok deh, buruan masuk, udah siang banget ini, nanti macet di jalan.” Aku langsung masuk ke mobil, memang sih, aku kalau nyetir kadang tidak sabaran. Ingat kejadian tempo hari saat Prana ketakutan karena aku terus-terusan menekan klakson, mungkin karena hal itu juga yang membuatnya kapok kalo aku yang nyetir mobil. Lelaki dengan tasbih digital di telunjuk kanannya itu kini diam seribu bahasa, seperti malas bicara karena sariawan. Diam-diam aku meliriknya, benar ada apa-apa, karena biasanya jika tidak ada apa-apa dia akan tersenyum saat aku ketahuan melirik. Baru saja kebekuan kami mencair kini membeku lagi, malah aku merasa kebekuan kali ini justru makin beku dari tadi pagi. Dengan basa-basi aku mencoba membuka percakapan, “Prana, kamu lapar?” tanyaku. Dia menggeleng dan menjawab, tanpa melihat ke arahku, “Barusan kan makan,” jawabnya ketus. Dan hening lagi, tapi tidak berapa lama, dia bertanya, “Kamu dekat banget dengan Pak Airlangga. Kalian ada hubungan apa, sih?” Aku tersenyum saat Prana menyebut nama Rangga, senang banget karena lama sekali kami tidak bertemu. Jika diceritakan kisah persahabatan kami ini panjang sekali sejarahnya. Tadi sebelum berangkat meeting aku memang sempat kesel karena dipaksa ikut. Sekarang malah rasanya bersyukur banget. “Dijawab donk, kalo ditanya, malah senyum-senyum gitu. Saking dekatnya, dia bebas buka ponselmu, dan hapal banget kata sandinya. Saya jadi merasa kecil, merasa bukan siapa-siapa kamu, padahal saya udah duluan ngomong dan mengutarakan isi hati saya, dan kamu tidak gubris.” Keluh Prana. Aku diam, sebenarnya aku tidak mau membantah atau menjawab perkataannya, karena mobil sudah tiba di pelataran parkir kantor, tapi ketika aku mau membuka pintu mobil, pintunya dikunci, “Prana, ini pintunya kenapa masih dikunci?” dia tidak membuka pintu itu, justru menatapku dan berkata lagi, “Jawab pertanyaan saya, ada hubungan apa antara kamu dan Airlangga itu?” ini kenapa sih, tiba-tiba dia jadi ngomong saya kamu, biasanya juga aku kamu, formal banget bahasanya, “Emang, menurutmu ada apa? Terus kenapa jadi tiba-tiba formal gitu sih, bahasanya, saya kamu, ada apaan deh.” Ucapku sengit. Dia diam, menarik napas panjang, “Ooo … jadi menurutmu, orang yang entah siapa itu datang dan tiba-tiba memegang dan membuka handphonemu itu wajar, gitu?” aku yang tadinya malas berdebat, mengarahkan wajahku ke Prana, “Yang pertama, Rangga itu buka orang yang entah siapa, dia adalah sahabat masa kecilku, yang kedua sebelum bertemu dengan kamu, kami memang sudah dekat, saking dekatnya banyak hal-hal yang tidak aku ceritakan dengan keluargaku tapi aku bisa dengan nyaman bercerita dan mengungkapkan semuanya sama Rangga, yang ketiga kamu, siapa, teman kantor yang gak ada hubungan apa-apa sama saya, tiba-tiba saja protes, tiba-tiba saja seperti menghakimi saya, dan cemburu sama Rangga?” aku lalu memintanya membuka kunci pintu mobil, “Buka pintunya, saya mau keluar.” Prana kalah, dia tidak lagi mendebat ucapanku, dengan enggan dia membuka pintu mobil, setelah keluar aku mengambil laptopku, dan membawanya ke ruangan. Sesampainya aku di ruangan, aku melihat ruangan sepi, lalu melihat jam, masih jam satu kurang lima belas menit, mungkin Yani dan Banun masih di kantin, istirahat makan siang. Sambil meredakan kekesalanku sama Prana barusan, aku mencoba mengerti kenapa Prana seperti itu, lalu ingat perasaan jengkel dan kesalku kemarin, saat melihat Prana dan Banun jalan di Mall. Tidak enak dan ingin marah-marah. Aku berasumsi, dalam pikiranku bisa jadi perasaan Prana saat ini sama dengan perasaanku kemarin, Mungkin saja Prana tidak suka dengan kedekatanku dengan Rangga, apalagi jelas-jelas Rangga langsung menunjukkan sikap bahwa kami memang sedekat itu, mungkin Prana merasa boleh cemburu karena secara terang-terangan pernah menyatakan perasaannya kepadaku. Tapi, kalo dia boleh bersikap dan merasa seperti itu, kenapa kemarin dia tidak menjaga perasaanku dan menjaga sikap dan perlakuannya ke Banun, apa dia tidak berpikir kalo aku bisa juga merasa cemburu, atau karena selama ini aku tidak merespon ucapannya lebih ke arah menolak dan tidak menanggapi maka dia bisa semena-mena bersikap dan berinteraksi dengan perempuan manapun temasuk Banun. Ah, ribet bener deh. Ini yang aku takutkan, ini yang bikin akum alas jika harus membuka hati lagi untuk lelaki, harus menebak-nebak perasaan mereka, diperlakukan manis tapi di saat yang bersamaan dibuat bingung juga oleh sikap mereka.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN