Rangga Ikut Lembur

1185 Kata
Aku bukanlah orang yang tidak menepati janji, karenanya ketika pekerjaan malah semakin banyak perasaan bersalah menyusup begitu saja. Padahal sudah prepare dari pagi kalau hari ini tidak ada lembur, semua perintilan pekerjaan sampai persiapan untuk laporan hasil meeting kemarin dengan Rangga dan timnya sudah aku bereskan, tapi ada saja hal-hal tidak terduga yang terjadi, dan membuat aku harus memfokuskan pekerjaan ini. Jangankan makan siang, sekedar salat aja harus aku lakukan di ruangan, karena jalan dari ruanganku ke musala kantor memakan waktu yang lumayan, belum lagi harus antri juga gentian dengan karyawan lain dari berbagai divisi dan dari lantai berbeda, “Lagi gak salat, Mbak Tan?” begitu tanya Yani, aku menggeleng, “Salat kok, tapi di sini aja, kerjaan lagi ampun banget. Anak baru gak tau kenapa kok bukannya makin pinter semakin diajarin semakin buat kekacauan. Capek aku, Yan.” Yani mengangguk, “Nah, itu. Barusan juga aku dapet laporan dari store yang di Lampung, anak baru di cabang sana buat ulah, salah masukin kode barang, berakibat salah input di faktur, jadinya, harus input ulang. Mana itu udah masuk omset bulan kemarin, capek deh, Mbak.” Aku melongo, astagfirullah, kok bisa sih, sekedar masukin kode barang aja salah, “Terus gimana itu, Yani, berarti laporan keuangan bulan kemarin harus dibenerin lagi donk.” Aku geram, Yani menjawab “Lagi diberesin sama finance di cabang sana Mbak, aku bilang aku gak mau tau, gimana caranya hari ini semuanya udah diberesin. Aku sama Banun salat dulu, Mbak. Mau titip makan, gak? Kami mau beli mi ayam di depan.” Aku menggeleng, makan bakal menyita waktu lagi, belom lagi nungguin mereka balik ke ruangan, “Gak, deh, Yan. Makasih, ya. Aku beresin kerjaan dulu aja, ini kayaknya pake acara lembur nih, hadeuh.” Setelah selesai salat, aku kembali fokus pada pekerjaanku. Kecemasan semakin besar kurasakan kala sesuatu dalam tas bergetar. Tidak ada waktu untuk membukanya, sudah bisa dipastikan sekali buka pesan di w******p maka, tidak bisa untuk tidak membalas chat dari pengirim paling bawah. Aku tak ubahnya penjual online yang melayani pembeli satu per satu, kalo terlihat online tapi tidak membalas pesan, maka aku akan dengan serta merta dicap sombong, dan aku tipe orang yang gak tahan liat pemberitahuan pesan masuk tanpa aku balas. Maka, daripada harus membuka pesan satu dan disusul membuka pesan yang lain, aku memutuskan untuk mengerjakan dulu pekerjaanku ini. Entah kenapa, dari tadi aku perhatikan sepertinya Bu Aryani sengaja menambah terus dan terus pekerjaanku. Dia kayaknya tahu kalau karyawannya ini mau ngemall. Terbukti dengan seringainya kala menumpuk berkas lagi dan lagi. Aku jadi beneran sebel, karena seperti biasa aku melihat Banun yang terlampau santai, sejak dia dan Prana jalan bareng, moodnya terus-terusan bagus. Cermin lipat dengan gambar doraemon miliknya tak kalah penting dari ponsel. Dikit-dikit ngaca, dikit-dikit benerin kerudung. Aku jadi teringat kata-kata Ibu, beliau pernah bilang, “Tingkah orang yang sedang jatuh cinta memang seperti itu, dikit-dikit cek penampilan, dikit-dikit lihat kerudung, lihat baju kusut atau gak.” Tapi ketika itu aku membantah ucapan Ibu, “Padahal itu tidak selalu tepat, loh, Bu, tidak selalu seperti itu. Buktinya aku, sudah beberapa kali jatuh cinta tidak seperti ciri-ciri yang Ibu sebutkan.” Dan ketika itu Ibu hanya tertawa, “Kalo anak Ibu mah beda, jatuh cinta, sedih, kecewa, ya begitu aja, gak ada ekspresi, hanya kalo lagi ngambek aja tuh, suka keliatan mukanya.” Dan kami tertawa, ah … Ibu, Bapak, kok aku jadi kangen, ya, sama mereka. Tapi kemudian aku tersadar, kembali berpijak pada kenyataan bajwa ketika sekali lagi kulihat jam dinding, sudah lewat sepuluh menit dari jam pulang kerja, itu artinya lewat lima menit dari waktu yang kujanjikan pada Rangga. Ah benar, Rangga mungkin sudah menunggu di depan. Ketika sedang berjibaku dengan lembar demi lembar laporan keuangan yang sedang direvisi, sedang diperiksa olehku, tertangkap oleh mata ini, satu per satu rekan kerjaku membubarkan diri untuk pulang menuju ke rumah masing-masing. Dan kembali, Bu Aryani minta aku selesaikan minimal setengahnya, “Laporan yang tadi saya minta tolong sama kamu untuk diberesin, minimal setengahnya sore ini kamu setor, ya, Tan, sisanya besok lagi gak apa-apa.” Sedangkan yang baru aku kerjakan baru seperempatnya. Mentang-mentang aku suka lembur, semua pekerjaan seenaknya saja dilimpahkan semua kepadaku, aku menghembuskan napas kasar, “Sekali-kalinya mau pulang cepet, malah begini kejadiannya.” Karena handphoneku kembali bergetar, yang aku tahu itu pasti Rangga. Dan benar saja, beberapa panggilan tak terjawab darinya disertai banyaknya pesan yang isinya cuma spam aja. Senyumku terbit begitu saja, Rangga tetap seperti dulu, gak sabaran. Aku lalu mengirimkan pesan, “Ya, Rangga, sorry, telat banget ini, tunggu sebentar aku belum selesai.” Pesan terkirim dan langsung dibaca. Terlihat Rangga sedang mengetik, “Berapa lama lagi tuan puteri, pegal, atuh, Tania, lama banget ih.” Kubalas pesannya seraya terus memeriksa dan mengerjakan berkas-berkas yang ditugaskan Bu Aryani. Saking asiknya, gak sadar Prana dan Pak Anhar melewati mejaku sambil berdiskusi. “Pak, Pak!” sapaku. “Ada masalah Bu Tania?” tanya Pak Anhar, “Teman saya, ehm ... maksudnya Pak Airlangga buyer dari Vietnam itu, dia ....” belum selesai ucapanku sudah dipotong oleh Pak Anhar, “Pak Prana sudah cerita, katanya dia teman Bu Tania ya, Bu?” Aku mengangguk, menatap Prana sekilas, sayangnya lelaki itu berlagak tidak peduli, berusaha memalingkan wajah dan pura-pura melihat-lihat sekeliling. “Iya, Pak,” jawabku malu-malu. Pak Anhar bicara panjang lebar, “Wah, beruntung banget perusahaan kita bisa langsung goal nih, project yang kemarin, Bu Tania bantu-bantu untuk ngeloby lah, ya, jadi nanti …” ingin rasanya menyela dan bilang kalau Rangga sedang menunggu di depan. Karena udah benar-benar mepet dan terlambat banget, ucapan Pak Anhar barusan aku potong, “Pak, Pak, sebentar, maaf menyela, sebenarnya Rangga ... ehm, Pak Airlangga di depan Pabrik, kami ada janji, bolehkah …” lagi-lagi ucapanku yang belum selesai dipotong, “Kan pekerjaan Bu Tania belum selesai,” sela Prana, menyebalkan sekali. Aku diam, tidak menanggapi ucapan Prana, tapi langsung ngomong ke Pak Anhar, “Gak, bukan begitu, saya gak minta izin buat pulang, kok. Saya izin bawa masuk Pak Airlangga, biar beliau nunggu di sana.” Aku menunjuk sofa di ujung ruangan, tempat di mana para pengunjung atau tamu menunggu. Daripada Rangga ngeluh-ngeluh karena pegal menunggu. “Lah, kenapa minta izin segala, kan kasihan. Walau bagaimanapun dia tamu kita, ajak masuk. Biar sekalian saya ketemu dengan dia. Nanti sekalian sama Pak Prana juga, biar kami ngobrol, ya, Pak Prana. Belum mau pulang, kan?” aku bersorak dalam hati, kapok, ikut lembur, kan, kamu Prana, siapa suruh nyamber aja kalo orang ngomong. Dengan wajah terpaksa, iya, aku tau Prana terpaksa mengangguk, “Iya, Pak, belum kok, saya belum mau pulang.” Aku yang senang karena Pak Anhar memberi izin, tersenyum sangat puas sekali. Setelahnya aku kemudian pemit ke Pak Anhar untuk menemui Rangga di bawah, “Baik, terima kasih, Pak. Saya mau ke bawah dulu sebentar.” tanpa menunggu lama kususul Rangga yang kini berdiri di gerbang utama. Biasanya berjalan cepat hingga ke depan membuatku kelelahan, rasanya kaki tak sanggup lama-lama berjalan menopang berat badanku yang berlebih. Namun, mau jemput Rangga kok rasanya ringan-ringan saja. Seringan perasaanku kala mengingat kisah kami berdua dahulu kala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN