Dia Rangga

1390 Kata
Setelah kami ngobrol dengan sekertaris Pak Airlangga, kami dipersilahkan untuk jalan mengikuti dia menuju ke ruang rapat, ketika sedang dalam perjalanan dari lobi tadi ke ruang rapat hotel ini, Prana berbicara pelan sekali ke arahku, seperti berbisik sih, lebih tepatnya, “Kenapa Pak Airlangga memilih hotel untuk tempat meeting, sih? Enak bener,” protes Prana ketika kami hampir sampai di ruang rapat Hotel Crowne Plaza Bandung. Hotel bintang lima yang memang sangat strategis untuk melakukan pertemuan bisnis. Aku menjawab ucapan Prana, lagi-lagi dengan berbisik, “Ssstt … Jangan protes melulu, deh, kita jalankan saja tugas dengan baik, kayak yang enggak pernah meeting di hotel aja.” Prana tertawa, lalu kami mempercepat langkah untuk mensejajari langkah sekertaris Pak Airlangga. “Tau gitu tadi kita parkir mobilnya di lantai lima aja, jadi gak harus turun ke underground floor, kan?” aku diam tidak menanggapi, lagi fokus untuk mempersiapkan dan mengingat kembali materi meeting yang akan dipresentasikan hari ini. Ketika sampai di depan ruang meeting, Prana membukakan pintu. Jujur aku merasa tersanjung saat Prana memperlakukanku seperti itu. Sebotol air mineral dingin yang kami minum tadi memang mujarab, buktinya bisa benar-benar membuat kebekuan di antara kita mencair. Ketika sedang menunggu Pak Airlangga, kami, aku dan Prana ditinggal berdua saja dalam ruangan ini, “Saya pamit sebentar, ya, Pak Prana, Bu Tania, saya mau jemput Pak Airlangga di kamarnya.” Kami berdua mengangguk. setelah sekertaris Pak Airlangga keluar ruangan, tercipta keheningan seperti di mobil tadi, “Pak Airlangga itu keren banget, ya. Info yang aku dapat dari Pak Anhar usianya masih muda, gak jauh dari aku dan kamu, Tan.” Aku menimpali ucapan Prana barusan, “Usia kita itu terpaut hampir enam tahun, itu mah jauh atuh, Prana.” Prana hanya mengangguk, lalu hening lagi. Tidak berapa lama kemudian, Prana menjelaskan tentang kejadian kemarin tanpa diminta, “Kejadian kemarin itu, sebenarnya tidak kami rencanakan,” aku diam, tidak mau mendengar penjelasannya sih sebenarnya, tapi dia tetap saja nyerocos, “Kemarin, mendadak Banun minta tolong untuk memilihkan laptop yang akan dia berikan sebagai kado ulang tahun adiknya yang sedang kuliah. Aku sebenarnya mau menolak permintaan tersebut, tapi melihat Banun yang sepertinya sedih, jadi aku tidak bisa menolak.” Bergeming, tidak menanggapi sepatah katapun, rupanya Prana belum selesai dengan ucapannya, “Jujur, aku sendiri juga kaget kala melihat kamu di Mall itu, senang juga, sih. Aku pikir, setelah urusan dengan Banun selesai kita bisa makan malem bareng atau sekedar ngobrol. Tapi …” dia menggantung ucapannya. “Tapi apa?” aku penasaran dengan ucapannya yang tidak diteruskan itu, “Tapi kamu malah kabur, seperti melihat penjahat yang sedang mengejarmu. Aku jadi bertanya-tanya, kenapa kamu begitu, ketika aku melihatmu bukan menyapaku malah pergi, aku benar-benar bingung, apa salahku?” Ada perasaan senang dan lega saat mendengarnya, rupanya memang Banun yang punya ulah. Namun, lagi-lagi aku harus redam perasaan itu, sebenarnya marah dan kesalku tanpa alasan. Memangnya siapa aku dan apa aku punya hak untuk marah kepada Prana, dia pria bebas, kalopun kemarin dia bilang mau serius sama aku, bisa jadi itu hanya ucapan iseng aja, kan? Aku diam, tidak menyahuti, kembali membuka-buka lagi berkas tadi. “Tan, menurutmu ini udah pas, kan, barang-barang, bahan, dan harga yang akan kita ajukan? Maksudnya untuk orang sekelas Pak Airlangga ini sepertinya harga tidak jadi masalah, karena daritadi aku mencoba mengamati bahan-bahan yang digunakan di hotel ini, mulai dari meja resepsionis yang kita lewati, lalu pintu jati ruangan meeting ini, sampai meja dan kursi yang kita duduki ini, bukan bahan sembarangan dan harganya juga gak main-main,” ucapan Prana barusan berhasil membuatku mau tidak mau memalingkan wajah, aku kemudian menjawab ucapannya, “Menurutku bahan dan barang produk kita yang kita produksi ini gak kalah bagus dan berkualitas kok, bisa ditanding dengan produk luar. Buktinya, ekspor kursi jati ke Taiwan kemarin, kalo bukan karena produk dan bahan yang kita gunakan bagus, gak mungkin orang Taiwan itu mau jauh-jauh beli kursi di Indonesia, kan?” Prana mengangguk, lalu keheningan kami dipecahkan oleh seorang perempuan yang masuk membawakan minuman dan beberapa hidangan kue, serta ada beberapa buah yang ditata rapi di piring, “Silakan dinikmati, Pak, Bu. Jika ada sesuatu atau mau makanan lain, bisa panggil saya, ya. Saya ada di pojok sebelah kanan pintu masuk.” Tutur perempuan muda itu, pamit sambil menyedekapkan tangannya di depan d**a. “Tan, makan ini.” Tiba-tiba Prana menyuapiku semangka yang merah banget, liurku bergejolak di dalam mulut, tapi aku memundurkan kepalaku, menolak, “Iya, ih, biar aku ambil sendiri.” Sungkan karena perlakuan Prana, tapi juga dadaku berdesir, bagaimana tidak meleleh coba diperlakukan seperti itu? Aku langsung menggelengkan kepalaku, agar segera sadar, lalu ngomong sama hatiku sendiri, “Jangan baper, Tania, dulu saja menikah dengan Abizar karena baper dengan kata-kata dan sikap dia. Setelah menikah semua belangnya ketahuan. Lagipula aku merasa sendiri untuk saat ini lebih baik. Biarkan perasaan sesaat ini hilang dengan sendirinya.” Ruang meeting premium Amethys Room yang berada di lantai dua puluh tiga ini merupakan ruang pertemuan tertinggi kota Bandung berada, dekorasinya yang anggung dan terkesan mahal, sangat memanjakan mata, ketika sedang menikamati ukiran indah di dinding, pintu ruangan meeting terbuka, dua orang masuk ke dalam ruangan ini, yang satu adalah sekertaris Pak Airlangga yang tadi, dan Pak Airlangga, hah? Ini Rangga? Tidak mungkin, kan, mungkin hanya mirip saja. “Maaf kami terlambat,” ucap seseorang yang mirip Rangga ini, siapa Rangga? Nanti aku ceritakan, “Tania, apa kabar?” aku menjabat tangannya, tanpa tedeng aling-aling, lancar banget mulut ini nanya, “Loh, Rangga, kan?” tanyaku, dia tersenyum, senyumnya manis, senyumnya masih sama, seperti beberapa belas tahun silam. Ada hal yang membuatku sedikit malu di sini, Prana yang melihat hal ini, terang-terangan menunjukkan sikap yang kurang nyaman, karena tiba-tiba dia berdehem, dan merebut jabatan tangan Rangga, “Prana, perwakilan untuk project ini dari bagian marketing.” Tanpa sadar aku menjatuhkan pulpenku ketika hendak duduk, karena kikut, Prana yang dengan sigap mengambilkan pulpenku yang jatuh dan itu lumayan membuatku risih. Bukan karena tidak senang diperlakukan seperti itu, melainkan malu kepada calon buyer yang diam-diam melirik-lirik kami. Bisa saja mereka berpikir kalau kami adalah pasangan. Beberapa menit kami diam dalam keheningan, setelahnya, sekertaris Pak Airlangga, memulai meeting hari ini, Prana yang maju dan memulai presentasi. Di seberang sana, pria tinggi tegap dengan rambut keriting sedikit gondrong di seberang sana sedang fokus memperhatikan penjelasan Prana. Lesung pipinya membuatku bisa mengenali dia sengan cepat. Buyer kami dari perusahaan Vietnam itu adalah seseorang yang kukenal, dunia ternyata sesempit ini. Begitu dia melihatku matanya melotot, senyum khasnya menular dan aku pun ikut tersenyum. Yak, tepat sekali, Pak Airlangga yang aku pikir orang Vietnam ini ternyata Airlangga Lazuardi sabahat kecilku dahulu, banyak cerita kami lalui, aku tersenyum sendiri ketika kelebatan masa kecil kami terlintas. Usai meeting kami memutuskan untuk makan bersama. Sedangkan dua teman Rangga, yang tadi ikut di meeting inimemilih untuk kembali ke kamar dan beristirahat. Setelah memesan beberapa menu, aku memulai obrolan, “Ya ampun, Rangga, gak nyangka kita bertemu di sini. Kamu di Bogor sekarang? Aku pikir, kamu orang Vietnam, soalnya aku dapat info dari kantor calon buyer kantor kami ini dari Vietnam.” Dia tertawa, lelaki yang pada saat meeting tadi Rangga terlihat dewasa dan profesional. Sekarang di restoran yang kami pilih dia terlihat seperti Rangga beberapa tahun silam, tidak ada yang berbeda, “Memang aku tinggal di Vietnam beberapa tahun belakangan ini, biasalah bangun perusahaan di sana, bareng teman-temanku yang dua tadi ikut meeting, nah, kalo mereka itu orang Vietnam asli.” Lalu dia beralih ke Prana, “Pak Prana sudah lama kerja bareng Tania? Gimana apa dia cerewet? Masih suka ngambek ato gak, nih?” tanya Rangga, lelaki itu menuangkan makanan ke piringku. Perhatian Prana beralih melihatku lalu melihat Rangga. “Lumayan, Pak, karena setiap hari ketemu terus di kantor, ya, bisa dibilang kami cukup dekat,” jawab Prana, memberikan penekanan pada kata ‘cukup dekat’ tapi, Prana seperti tadi, kembali lagi ke mode tidak ramah. “Waah ajaib Tan, kamu biasanya susah dekat sama orang, inget, gak, waktu kita ada acara lulusan gitu, kamu nangis-nangis karena kita berpisah iya, kan?” Astaga, aku kaget mendengar ucapan Rangga, tapi benar juga, kami berpisah saat lulus dan aku sempat menangis karena terharu. “Ish, kamu jangan gitu lah, masa mau bongkar rahasia begini, malu tau, lagian aku tuh nangis karena terharu, bukan karena sedih pisah sama kamu. ke-GR-an banget deh jadi orang” protesku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN