Sayatan Silet Tajam

1100 Kata
Mengingat kejadian tersebut, di mana Abizar meninggalkanku sendirian, ketika Bapak masuk rumah sakit, rasanya gak adil banget kalo sekarang, ketika ibunya masuk rumah sakit aku harus menungguinya juga, seperti gak masuk akal aja. Well ... bukan berarti aku mau balas dendam atau apa, hanya saja, setauku, hubungan yang baik adalah hubungan yang saling menghargai dan menghormati. Setiap apa yang terjadi di keluargaku, baik Abizar atau keluarganya seperti tidak mau tau dan tidak mau ambil pusing. Pernah suatu ketika Ibu mengadakan syukuran sehatnya Bapak, di rumah. Tidak ada satu pun keluarga Abizar yang datang padahal udah diundang dari tiga hari sebelumnya dengan alasan yang seperti dibuat-buat, “Tidak ada yang nungguin rumah.” Emang rumahnya kenapa gitu harus ditungguin? Hanya Kak Raudhah saja yang datang, yang lain tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Kadang aku bertanya pernikahan macam apa yang sedang aku jalani saat ini. Mungkin hanya melepas status perawan tua saja dan meredam pertanyaan Ibu dan Bapak karena anak gadisnya tidak kunjung menikah. Jika sudah seperti ini rasanya aku ingin menyerah saja dengan pernikahan ini, berpisah saja dengan Abizar adalah opsi yang paling sering terlintas di pikiranku. Walaupun kadang-kadang lelaki ini suka bersikap manis seperti memiliki dua kepribadian yang berbeda. Di satu sisi, dia akan sangat manis jika aku sudah menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri di ranjang, tapi setelah itu perangainya bisa berubah banget, seperti seorang yang tidak pernah aku kenal sama sekali. Mataku benar-benar tidak bisa diajak merem barang sebentar pun, padahal besok pagi aku harus datang ke kantor pagi walaupun sudah berusaha untuk merebahkan kepalaku di meja. Dengan memaksakan diri, aku menuntaskan pekerjaan yang dibutuhkan besok pagi, dan entah sudah berapa lama aku berada dalam posisi bekerja ini, duduk tegak, yang menyebabkan punggungku pegal. Menjelang dini hari bersamaan dengan selesainya pekerjaan yang aku bawa, dan ketika akan merebahkan diri di ranjang, ponsel Abizar berdering membuat pemiliknya terperanjat dan bangun dari tidurnya. Sebelum mengangkat telepon Abizar sempat melirik sekilas, mungkin dia heran melihatku yang masih belum memejamkan mata, Dia tidak beranjak dari tempat tidur saat mengangkat telepon, raut wajahnya tiba-tiba berubah menjadi kelam. Menakutkan, tatapan matanya seperti tatapan mata elang yang siap menerkam mangsa. Bedanya, ada riak-riak air mata di pelupuknya. Aku yang keheranan dengan ekspresi wajahnya bertanya, kenapa dia begitu, “Ada apa, Bi?” Rasa penasaran mendorongku untuk bertanya pada Abizar. Dia menunduk, bahunya berguncang hebat, untuk pertama kali sepanjang usia pernikahan aku melihat pria berbadan tinggi ini menangis begitu hebatnya. Ketika sungkem saat menikah Abizar hanya berkaca-kaca ketika sungkem kepada Ibu. “Coba kalau kamu gak ngajak pulang tadi. Mungkin aku bisa nungguin Ibu di saat-saat terakhirnya! Ibu meninggal, Tan, dan aku tidak ada di sampingnya, ini semua gara-gara kamu gak pernah mau mengerti keadaan keluargaku, ini semua karena kamu manja, gak mau sabar sedikit saja untuk nemenin aku nungguin Ibu di rumah sakit.” Aku yang kebingungan, mencoba untuk memeluk tubuhnya, maksud hati ingin meredakan sedihnya, tapi tanganku ditepisnya dengan kasar, “Pergi, dasar perempuan gak ada guna!” sentak Abizar seraya menepis lenganku yang berusaha memegang pundaknya. Aku benar-benar kehilangan akal demi mendengar ucapannya, “Maksudnya apa, Bi? Kenapa kamu ngomong begitu?” “Ibu meninggal, Ibu udah gak ada di dunia, Tan. Dan harusnya kita tadi tetap di rumah sakit nunggu Ibu, bukannya pulang begini. Alasan saja mau istirahat, buktinya jam segini kamu masih ngurusin kerjaan. Apa sih yang kamu kejar? Ibuku mati dan aku tidak ada di sampingnya, ini semua gara-gara kamu.” Aku diam, mencoba memahami keadaannya, Abizar kalut, sepertinya dia bingung hendak melakukan apa. Buru-buru aku mengganti pakaianku, mengambilkan jaket Abizar kami berdua menembus dinginnya udara malam menuju Rumah Sakit. * Pemakaman baru saja usai, tamu-tamu yang takziah datang silih berganti. Mulai dari tetangga, kerabat hingga rekan kerjaku dan juga rekan kerja Abizar. Bicara soal Abizar, lelaki itu benar-benar merasa kehilangan sang ibu. Wajar saja, anak kesayangan Ibu. Sejak di rumah sakit, hingga almarhumah dipakaikan kain kafan, dia tidak beranjak sedikit pun dari sisi Ibu. Aku tidak mau mengganggunya, daripada aku disentak dan diomong yang enggak-enggak, aku lebih memilih membantu Kak Raudhah, sehingga Kak Raudhah dan aku sibuk melayani tamu, merapikan kursi dan mempersiapkan berbagai kebutuhan di rumah. Ada setitik iri dalam hati melihat ketulusan kakak iparku yang satu ini. Dia tidak mengeluh, pantas saja Ibu dan Kak Puspa menyayangi Raudhah. Sementara itu Kak Puspa dan anak-anaknya yang masih ABG, tuan rumah yang seharusnya mengurus semuanya malah duduk-duduk santai sambil ngobrol ngalor ngidul. Sejak tadi sampai di rumah ini, aku dan Kak Raudhah tidak ada jeda sebentar pun untuk duduk, bahkan sekedar meneguk air minum, baru aku rasakan kakiku sakit di bagian tumit, kepalaku juga sungguh berdenyut sekarang. Aku memijat betis yang lumayan pegal karena wara wiri dari pagi, bahkan malam aku belum sempat tidur sama sekali. Raudhah yang melihat kelelahanku menghampiri, dia menyodorkan segelas air mineral kemasan, “Istirahat, Tania, kamu udah pucet gitu. Jangan sampai sakit nanti kita juga yang repot. Mau aku buatkan kopi?” Dengan lembut Raudhah berkata, aku menggeleng, “Gak, Kak. Makasih, air putih ini cukup.” Benar, jika bukan aku sendiri yang menyayangi diri ini, siapa lagi? Kuterima air minum dari Raudhah. Lalu berterima kasih dan pamit padanya untuk beristirahat sejenak. Aku pamit ke Kak Raudhah untuk ke kamar sebentar, demi meredakan sakit kepala yang aku rasakan. Sesampainya di kamar, rebahkan tubuh di kamar lama Abizar. Merenung sambil berusaha membuat hati sendiri nyaman. Jujur walau omongan Ibu kadang seperti tidak ada saringannya aku tetap merasa sedih dan kehilangan. Terlebih ketika melihat betapa rapuhnya Abizar. Semilir angin yang berasal dari kipas angin di sudut ruangan membuatku sedikit mengantuk. Membuatku terbuai hingga benar-benar terjatuh tidur dengan nyaman. Hingga entah berapa lama setelah aku terbuai suara pintu yang dibuka dengan kasar membangunkanku. “Dasar pemalas, orang lain sibuk ini malah enak-enakan tidur!” Suara Kak Puspa benar-benar melukaiku. Lagi dan lagi. Kapan sih aku ada benarnya di mata keluarga ini? Aku memutuskan untuk bangun dan kembali membereskan semua gelas kotor dan juga menyapu ruang tengah yang tadi digunakan untuk mengkafani Ibu. Iring-iringan jenazah sedang menuju ke masjid tidak jauh dari rumah ini untuk menyolatkan Ibu di sana. Rumah dalam keadaan sepi, hanya ada aku, Kak Raudhah, dan anak lelakinya, “Tante Tania, istirahat aja dulu. Mumpung sepi, kata Mama aku disuruh nanya, Tante Tania mau sarapan apa? Aku mau keluar, beli bubur sama nasi uduk untuk orang yang nganter ke makam.” Aku menggeleng, “Gak, Do, Tante gak mau apa-apa, makasih, ya.” Rido, anak Kak Raudhah dan Mas Anto, memiliki perangai yang sangat bertolak belakang dengan anak-anak Kak Puspa. Aku jadi yakin, bagaimana perangai orang tua begitu pula sifat yang akan ditiru oleh anak.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN