Selalu Dibandingkan

1105 Kata
Sudah tahlilan tujuh hari ibunya Abizar, tapi Abizar masih saja murung, belum bisa meredakan kesedihannya. Aku mencoba memahaminya, beberapa kali aku mencoba mengajaknya bicara, tapi tidak pernah dia tanggapi, hanya sekedar menjawab iya, tidak, nanti. Seperti kaset kusut yang diulang-ulang. Dan yang lebih parahnya lagi, dia sekarang sering banget tiba-tiba tengah malam memaksaku melayaninya, berjam-jam, tanpa ada permulaan, tanpa ada omongan, langsung saja melakukannya terhadap tubuhku. Sering kali aku merasakan kesakitan, sering kali juga aku memintanya untuk lebih lembut melakukannya, tidak dia gubris, seperti seorang pemuasnya saja aku diperlakukan, bukan sebagai istri. Tidak jarang aku bangun pagi dalam keadaan kelelahan dan kesakitan di bawah sana. Dan sejak ibunya pergi, Abizar seperti tidak ada semangat hidup, seperti pagi ini misalnya, sudah siang banget matahari sudah tinggi, tapi dia masih tidur, aku mencoba untuk membangunkannya, “Gak kerja, Bi?” Karena biasanya Abizar bangun pagi-pagi, bahkan dia seperti sirine yang tidak sabaran karena menungguku memakai kerudung. Saking bosannya menunggu setiap pagi, Abizar membelikanku selusin bergo agar aku tidak perlu repot mengatur-atur letak kerudungnya. Dan akhir-akhir ini Abizar tidak segesit dulu. Dia masih bergelung di bawah selimut saat aku berangkat, dan terlihat tengah santai sambil ngopi saat aku pulang di sore hari. Sejak Ibu meninggal dunia gairahnya untuk bekerja keras seakan meredup. Dia jadi sering melamun dan diam-diam menangis mengingat Ibu. Aku tidak menyalahkan sikapnya seperti itu, toh siapa pun pasti akan merasa kehilangan jika ditinggalkan oleh wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya. Jadinya aku tidak banyak berkomentar, toh mungkin kesedihan itu akan tiba saatnya pergi darinya. Tidak ada jawaban dari pertanyaan yang baru saja aku lontarkan, maka aku berusaha untuk bertanya lagi, “Bi, udah jam tujuh loh, gak takut kesiangan? Kamu kerja ato gak hari ini? Aku udah buatin kamu sarapan, Bi, bangun sayang.” Kali ini kubuka selimut yang membalut tubuhnya, suamiku ini bergumam tak jelas. “Nanti kesiangan aku juga yang salah, Bi, ayo bangun, itu aku udah bikin sarapan, loh, nasi goreng kesukaanmu.” ajakku sedikit memaksa. Abizar terlihat menggeliat, menendang selimut ke sembarang arah lalu duduk seraya mengucek matanya. “Bawel, berisik, mau saya kerja atau gak kerja, bukan urusanmu.” keluh Abizar. Bukannya berterima kasih dia malah terus-terusan ngomel. Ketika aku berbalik badan, memutuskan untuk membiarkan saja dia begitu, tiba-tiba saja dia menarik tanganku hingga aku terjatuh ke ranjang, dan melahap tubuhku dengan rakus. Aku yang sudah berpakaian rapi dan siap-siap ke kantor, mencoba menolaknya, “Bi, ini aku udah siap-siap berangkat kerja, nanti aku kesiangan, Bi …” tidak sempat aku meneruskan ucapanku, dia membungkam mulutku dengan mulutnya, “Diam. Hari ini gak usah kerja, hari ini kamu harus diam di atas ranjang ini, tidak boleh bergerak atau turun dari ranjang ini tanpa iziku, PAHAM?” ucapnya sembari melotot. Aku tidak mengenal lagi Abizar yang ada di depanku ini. Aku hanya bisa pasrah, mengikuti keinginannya. Sudah beberapa kali dia mencapai keinginannya atas tubuhku, aku yang tergeletak tidak berdaya, hanya bisa diam. Ketika dia turun dari ranjang setelah menuntaskan hajatnya, bisa kulihat dirinya melalui pantulan cermin, dia tidak menuju ke kamar mandi melainkan menyalakan rokok dan duduk di kursi, pintu kamar juga tidak dia tutup. Aku yang sudah tidak nyaman dengan keringat yang menempel di tubuh ini, berusaha untuk mengumpulkan tenaga, untuk turun dengan niat mau membersihkan badan. Ketika aku bergerak sedikit, Abizar dengan suara kasarnya mencegahku, “Mau kemana? Tadi sudah aku bilang, kan, jangan turun dari ranjang tanpa izinku.” Aku yang sudah kesal, mencoba untuk menjawab dengan nada sepelan mungkin, “Aku mau basuh badan sebentar, Bi. Gak enak banget ini, gerah.” Dia bangkit dari duduknya, nyamperin aku, dan memaksaku untuk ke posisi semula, dan menjalankan aksinya lagi, “Aku sudah bilang, jangan membantahku!” dan dia memukul tubuhku, serta menjambak rambutku dengan kasar, aku benar-benar kesakitan. Tapi rupanya, tangisanku tidak berpengaruh apa-apa, Abizar justru semakin menjadi, aku hanya bisa pasrah, sekali lagi, hanya bisa menangis dalam diam. Entah sudah jam berapa sekarang, yang pasti daritadi dering handphoneku berdering tidak berhenti, aku menduga itu dari kantor, tapi seperti tadi, Abizar tidak sedetik pun memberikanku kesempatan bahkan untuk bernapas saja tidak leluasa. Ketika Abizar sedang memejamkan matanya, aku memberanikan diri minta izin untuk turun dan ke kamar mandi, “Bi, aku ke kamar mandi, ya. Aku mau ambilin nasi goreng sosis yang sudah kubuat tadi. Kamu mau kopi?” dia tidak bersuara, hanya mengangguk, entah untuk yang mana. Aku gak perduli deh, yang pasti aku harus mengirim pesan ke kantor untuk izin. Tidak berapa lama, handphoneku berdering lagi, benar saja, orang kantor yang nelepon, “Mana laporan untuk rapat nanti siang, Tan? Kamu di mana, kok jam segini belum datang, kamu masuk kerja, kan?” aku mencoba untuk menyusun kata-kata agar tidak terdengar berbohong, “Laporannya udah selesai, Bu. Sebentar saya email. Mohon maaf, hari ini saya izin tidak masuk, soalnya suami saya dari semalam kurang sehat.” Terdengar ceramah panjang di ujung telepon, “Kamu ini pegawai kontrak, gak bisa sedikit-sedikit izin. Kemarin mertuamu meninggal, ini suamimu sakit, besok apalagi alasannya? Kesempatanmu unutk menunjukkan keseriusanmu bekerja hanya sampai akhir bulan ini, kalo tidak menunjukkan keseriusan, saya dengan sangat terpaksa harus memberhentikanmu, paham?” aku mengangguk, tidak ada jawaban yang bisa keluar dari mulutku. Untuk kesekian kalinya, aku harus rela dipecat dari pekerjaanku karena urusan pribadi yang menyita. Dengan susah payah aku beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri, lalu ke dapur untuk menghangatkan nasi goreng tadi dan membuatkan Abizar kopi. Setelah siap semua, aku memanggil Abizar di kamar, tapi sama sekali tidak ada jawaban, aku menyerah, akhirnya membuka laptopku, dan mengirimkan email laporan kerjaan yang tadi diminta. Setelahnya, aku hanya diam saja duduk di dapur. Mencoba untuk memikirkan kembali, bagaimana seharusnya aku menyikapi Abizar. Aku tau, dia memang sedang berduka, dan wajar saja dia seperti itu, selain Abizar itu adik kesayangan Kak Puspa, dia juga anak kesayangan ibunya, tapi kehidupan kan harus terus berjalan, yang meninggal sudah selesai urusannya dengan dunia, yang di dunia juga harus meneruskan kegiatannya, tidak serta merta semua kegiatan harus terhenti karenanya. Ketika sedang berkutat dengan pikiranku, Abiza keluar, duduk di depanku, dan mulai menyendokkan nasi goreng yang aku buat, “Kurang asin, kurang sedep. Kamu kalo gak bisa masak, gak usah masak, deh. Aku mau ke rumah Ibu aja, makan di sana, masakan Kak Puspa jauh lebih enak.” Dan Abizar pergi, meninggalkanku dalam keadaan hati yang sakit, lagi, untuk entah yang keberapa kalinya, iya, aku tau Kak Puspa itu selalu memanjakan Abizar dengan makanan-makanan enak, tapi rasanya gak adil kalo aku terus menerus dibanding-bandingkan begini dengan kakaknya itu. Aku hanya bisa menghela napas mendengar omongan ketus Abizar. Penyakitnya kumat lagi nih orang. kalau sudah baik dan lembut siapa pun pasti meleleh mendengarnya.      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN