Janji Abizar

1215 Kata
Setelah mengetahui bahwa aku hamil duluan sebelum menikah, keluarga Abizar, terutama Ibu dan Kak Puspa seperti jijik melihatku. Hal terakhir yang mereka ucapkan sebelum pergi setelah menengokku adalah, “Saya gak mau rumah saya ketimpa sial. Pulang dari sini, kalian langsung pulang aja ke rumah kalian. Saya gak mau lihat kalian untuk sementara waktu, biar saya meredakan emosi saya dulu.” Lalu Kak Puspa menimpali ucapan Ibu, “Pantesan, kamu berani ngajak adek saya nikah buru-buru, gak tau malu jadi perempuan, rupanya udah hamil duluan, toh, dasar murahan.” Aku melempar gelas yang ada di meja di sebelah ranjangku, “Mulut sialan. Adek kamu yang ngehamilin saya. Saya gak akan hamil tanpa andil dari adikmu, jadi, alih-alih kamu ngomong kasar ke saya, ada baiknya kamu juga tanya ke adikmu, kenapa gak bisa menahan napsunya.” Kak Puspa terkejut, tidak bisa bicara lagi. Kesel banget aku, nyesel, kenapa sampe gelas yang aku lempar tidak mengenainya, padahal kalo kena, lumayan bisa mengobati rasa sakit hatiku, “Perempuan sinting.” Begitu ucapnya, lalu pergi, “Kamu perempuan ular mulutmu penuh bisa.” Ucapku tidak mau kalah. Terserah, aku udah gak perduli lagi mau dianggap gak sopan atau apa. Sudah terlalu sakit hatiku, sudah terlalu banyak kecewa yang aku rasakan, aku sampai harus menerima kenyataan bahwa anakku harus pergi dari sisiku. Ketika mereka sudah keluar, tinggal aku dan Abizar di dalam ruangan, “Kamu harusnya gak ngomong gitu, Tan. Itu Ibu dan kakakku. Harusnya kamu menghormati mereka, anggap saja angina lalu apa yang mereka ucapkan, mungkin itu bentuk kekecewaan mereka karena kamu hamil duluan.” Aku melihat ke arah Abizar, “Kamu yang buat aku hamil, aku gak akan hamil kalo gak kamu buahi sel telurku. Berkali-kali kita melakukannya sebelum menikah, berkali-kali juga aku bilang sama kamu, jangan lakukan itu sebelum kita nikah, tapi apa, kamu gak nganggep omonganku, penolakanku kamu abaikan, ketika aku bilang aku hamil, kamu bukannya takut atau berhenti melakukan hal itu, kamu justru bilang gak apa-apa, toh kita akan nikah, dan kamu melakukannya lagi dan lagi. Sekarang setelah ini kejadian, aku hamil, dan keluargamu tau kalo aku hamil duluan, kamu malah menimpakan semua kesalahan di aku. Lelaki macam apa kamu?” teriakku, yang membuat beberapa perawat masuk ke ruanganku untuk melihat apa yang sedang terjadi, “Bu, jangan banyak bergerak dulu, Ibu masih harus istirahat.” Aku hanya diam, Abizar keluar dari kamar, lalu tanpa aku sadar Ibu dan Bapak sudah berdiri di depan pintu, “Beneran, Tan, yang barusan Bapak dan Ibu dengar, kamu hamil duluan? Tan, jawab Bapak!” aku mengangguk, menangis, “Maafkan aku, Pak, Bu. Aku sudah banyak menyakiti hati kalian, aku sudah sering membantah dan tidak mendengarkan semua yang kalian ucapkan. Aku lebih memilih percaya kepada orang yang jelas-jelas baru mengenalku, maafkan aku, maaf.” Aku menangis terisak, Ibu menghampiriku, memelukku, “Sudah, tenang. Kondisimu masih belum sehat, kamu harus tenang, ya. Ibu dan Bapak ada di sini.” Aku memeluk Ibu, lama, kehangatan yang sudah lama tidak aku rasakan, seperti pulang ke rumah rasanya, hangat, tenang. Terdengar keributan di luar, beberapa perawat lelaki seperti memisahkan Bapak dan Abizar, iya, itu Abizar, Ibu melepas pelukannya, “Sebentar, Nak.” Terdengar teriakan Bapak, “Lelaki b***t, berani ngehamilin anak orang, ngambil anak perempuan saya, dan dibawa ke keluarga kamu yang bahkan gak menerima dia, gak sayang sama dia, bahkan mencelakakan dia dan calon cucu saya. Lelaki macam apa kamu, gak bisa ngelindungin istrimu?” aku bisa melihat Abizar hanya menunduk dan ada luka disudut bibir kiri bagian bawah, sepertinya Bapak memukul wajahnya dengan keras. “Kalo kamu gak bisa ngurus anak saya, gak bisa ngelindungi dia dari kejamnya keluargamu, kembalikan dia ke saya, tanpa kamu, saya bisa ngurus anak saya, saya masih bisa ngasih makan dia, membahagiakan dia. Toh selama ini, sebelum nikah sama kamu, dia bahagia bersama saya dan ibunya, kamu yang memporak-porandakan masa depannya, memisahkan saya dan ibunya dari anak perempuan kami satu-satunya, lalu merebutnya dari kami, kemudian dengan enteng dan mudahnya kamu menyakiti dia seperti ini, tega kamu.” Dan sekali lagi Bapak meninju wajah Abizar, dia terhuyung, dan Ibu menarik tangan Bapak, “Pak, sudah, itu dilihat orang, masuk sini, kasian Tania, dia lagi membutuhkan kita. Kamu, Abizar, pergi dulu, biar kita sama-sama menenangkan diri. Biar Tania saya yang ngurus, setelah dia sehat, Tania mau saya bawa pulang dulu ke rumah kami, kalo kamu masih mau meneruskan berumah tangga dengannya, nanti jemput dia, paham?” dengan wajah yang sudah babak belur, memar, Abizar hanya mengangguk, dan pergi. Sementara Ibu dan Bapak masuk ke dalam kamarku. Kami hanyut dalam keheningan, sambil menyelami pikiran masing-masing. * Seminggu sudah aku berada di rumah sakit. Abizar kucing-kucingan ketika menjengukku, dia akan datang ke kamarku, jika Bapak sedang tidak di rumah sakti. Hanya Ibu yang stand by menungguiku, meskipun Ibu juga masih marah sama Abizar, tapi Ibu menyadari bahwa Abizar adalah suamiku. Jadi ketika ada Abizar di kamar, Ibu akan memilih untuk keluar. “Tan, kita pulang ke rumah, ya. Aku tau aku salah tidak bisa melindungimu, keluargaku juga tidak baik sama kamu. Aku janji akan menjagamu, setelah ini tidak akan ada lagi campur tangan keluargaku, aku janji. Hanya ada aku dan kamu, kita berdua. Ya.” aku diam, mencoba untuk memikirkan tawaran Abizar, hampir saja aku mengangguk tapi kemudian teringat obrolanku dengan Ibu semalam, “Kamu itu masih ada orang tua, Tan. Jangan mau diremehin begitu sama keluarga Abizar, meskipun kamu memang istri Abizar, tapi kami orang tuamu ini gak terima kalo kamu dijahatin gitu sama dia. Jangan sampai luluh lagi, ikut dulu pulang ke rumah, minta dia dan perwakilan keluarganya untuk ke rumah, minta maaf sama kamu, dan berjanji sama kami, kalo dia gak akan nyakitin kamu.” Meskipun setelah Ibu ngomong begitu, Bapak menimpali, “Janji dia sama Allah aja dia langgar, apalagi cuma janji sama kita, Bu.” Aku memahami kenapa Bapak sampai marah seperti itu. Karena hal itu pula, aku setuju dengan ucapan Ibu, lantas aku bilang ke Abizar, “Bi, biar aku pulang dulu sama Bapak dan Ibu ke rumah. Seperti Ibu bilang kemarin, jemput aku dan bawa perwakilan keluargamu, kalo kamu memang mau meneruskan pernikahan ini. Jujur saja, aku sakit hati banget sama keluargamu, sama Kak Puspa dan Ibu terutama. Mereka tidak memperlakukanku dengan baik, aku dianggapnya orang lain. Padahal, kita pindah ke rumah itu kan katamu atas permintaan mereka, kok bisa, mereka nyuruh aku masak, nyuruh aku beresin rumah, sementara aku tetap harus masak untuk makan kita berdua. Apa menurutmu, perlakuan begitu normal? apa menurutmu itu perbuatan yang wajar, gitu, Bi?” Abizar hanya diam tidak bicara sepatah kata pun. Aku tau, dia sepertinya tidak setuju, dan tetap mau bawa aku langsung ke rumah kami, tidak mau menjemputku ke rumah Bapak dan Ibu. Tapi kemudian dia mengangguk, “Baik. Aku akan jemput kamu ke rumah orang tuamu, tapi kamu juga janji, kamu harus ikut aku pulang, ya.” aku mengangguk, “Janji, aku akan ikut kamu. Tapi kamu juga harus janji, kita langsung pulang ke rumah kita bukan ke rumah besar, dan kita gak akan tinggal lagi di sana.” Abizar mengangguk, “Iya, sayang. Yuk, cepat pulang, aku udah kangen banget sama kamu, peluk kamu, terus ehm ... aku kangen itu juga, sama kamu.” Aku sudah tau ke mana arah omongan Abizar. Tidak ada berubahnya orang ini, masih santai aja menanggapi kehidupan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN