4 : Waktu Santuy

888 Kata
Bukannya kembali ke rumah, Divya malah membuat janji untuk pergi ke rumah teman akrabnya sejak SMA. Mereka sama, mendedikasikan diri sebagai ibu rumah tangga. Hanya saja nasib temannya ini lebih beruntung, karena sang suami bekerja sebagai sekertaris di sebuah perusahaan makanan instan. Tentu hidupnya lebih sejahtera, mengoleksi barang berkelas. Kehidupan Divya memang cukup, bahkan lebih dari kata cukup baginya, tetapi meski begitu ia tak bisa menjadi royal seperti Alena. "Lo jahat tahu, nggak, baru bisa ketemu hari ini." Alena menyambutnya di depan pintu dengan wajah kesal. Memang Divya sering menolak jika diajak bertemu, alasannya tidak ingin buang-buang uang, apalagi anak sudah dua. Namun, kali ini ia tidak akan menahan diri. "Biasa, ibu rumah tangga," balas Divya. "Tapi gue kangen sama lo." Alena memeluknya begitu erat. "Lo satu-satunya keluarga gue di sini." "Woi, suami dan anak lo nggak kehitung?" Divya melerai pelukan itu. Alena berasal dari Lampung, sejak SMA tinggal bersama sang kakak yang waktu itu sedang kuliah di Depok. Kakaknya kembali ke Lampung setelah lulus kuliah, sedangkan Alena melanjutkan kuliah dan tinggal sendirian. Sampai saat ini wanita itu tetap berada di Depok karena mendapatkan jodoh di tempat ini. Itu makanya Alena selalu mengatakan bahwa Divya adalah satu-satunya keluarga di sini. "Anak-anak gue masih di sekolah." Alena mengajak Divya untuk masuk ke dalam rumah. "Sama," sahut Divya. "Tapi gue udah minta supir buat jemput dan bawa langsung ke sini kalau udah pulang." Mata Alena berbinar. "Berarti lo bakalan lama di sini?" Divya mengangguk. Mereka berdua adalah orang yang sama, hanya punya sedikit teman akrab. Sebenarnya masih ada 3 orang lagi, tetapi sulit diajak berkumpul karena pekerjaan. "Kita masak-masak, yuk, sembari nunggu anak pulang sekolah." Alena menggandeng tangan Divya menuju dapur. Sebuah aktivitas yang sering mereka berdua lakukan jika berkumpul. Raga tidak tahu bahwa Divya berada di sini, ia sama sekali tidak berniat untuk minta izin terlebih dahulu. Masa bodoh, Divya tidak peduli lagi dengan suaminya itu. "Al, sebenarnya gue ketemu lo mau ngomongin hal penting," ucap Divya pada wanita yang kini tengah mengeluarkan bahan makanan dari kulkas. "Hm? Apa, Div?" "Gue mau cari kerja." Seketika temannya itu menoleh dengan mata membulat. "Raga udah nggak nafkahi kamu?" Divya memutar bola mata. Temannya ini suka sekali menyimpulkan dengan spontan, yang malah menjadi fitnah. "Bukan gitu, gue mau cari kerja buat ngisi waktu kosong aja." Alena membulatkan bibir. "Nanti gue bantu cari. Maunya kerja apa?" "Pokoknya kerja yang pulang jam 5, soalnya gue punya anak yang harus diurus." "Nah, itu lo tahu harus ngurus anak," sela Alena. "Kayla pulang sekolahnya jam 12, hitungannya gue cuma ninggalin mereka 5 jam. Lagian, ada mbak yang bisa diminta buat jagain." Alena mengangguk paham. "Tapi lo harus minta izin ke Raga dulu." Divya menghela napas kasar, hal itu membuat Alena mengernyit curiga. Tentu, ia tidak akan mengumbar masalah keluarganya pada Alena. "Gue siap perang kalau nggak diizinin," ucap Divya membuat Alena tertawa. "Lo banget, astaga!" --- Punya anak yang berada di umur yang sama, membuat Divya tak pusing jika anaknya tidak membawa baju ganti ke rumah Alena. Kayla menggunakan baju Alisha, sedangkan Raynar menggunakan baju Akmar. Mereka nampak akrab satu sama lain, meskipun sudah sangat jarang bertemu. Sementara keempat anak itu tengah bermain, Divya dan Alena tengah menikmati hidup di teras belakang rumah, menikmati jus stroberi yang mereka buat sendiri. Wajah kedua wanita itu terdapat ketimun yang mendinginkan kulit. Rileks rasanya, seakan Divya melupakan sakit hatinya walau mungkin hanya sesaat. "Mama! Mama!" Panggilan itu tidak membuat Divya bergerak seinci pun. Ia harus menjaga ketimun di wajahnya agar tidak jatuh. "Mama!" panggil Kayla lagi, kali ini anak itu sudah berada di sebelahnya. "Hm?" Divya menyahuti dengan gumaman. "Pak Umas kenapa nggak ada di depan?" tanya gadis kecil itu. Divya mencoba untuk menjawab tanpa membuat ketimun itu jatuh. "Udah Mama suruh pulang, nanti jemput kalau udah sore." Hanya bibirnya yang bergerak. Kayla tertawa, tangannya mencoba meraih ketimun di wajah Divya. "Mama ngomongnya aneh." Satu potong ketimun sudah berada di tangan Kayla, sedangkan Divya tak bisa bereaksi berlebihan jika tidak ingin ketimun itu jatuh. "Kayla makan, ya." "Jangan!" cegah Divya dan Alena, mereka spontan terduduk lurus. Potongan-potongan ketimun itu jatuh ke lantai, ada juga ke baju. Kayla tertawa keras menganggap bahwa itu sebuah lelucon. "Udahlah, ya, nggak usah sok-sokan mau rileks. Udah punya anak, jadi jangan harap bisa santai," ucap Divya sembari menunduk untuk memungut kekacauan itu. "Iya, gue pikirnya juga gitu, bisa bersantai karena anak-anak lagi main dan punya temen." Alena ikut mengumpulkan ketimun tersebut. "Lagian, Kayla ngapain gangguin Mama, sih?" tanya Divya. "Mau pulang, Kayla udah kangen sama Papa." Divya mendecih, ditatapnya anak perempuan itu dengan tatapan memperingati. "Kalau Mama di sini, nggak usah kangen-kangenan sama Papa. Lagian, kalau pulang ke rumah sekarang juga, Papa belum ada di rumah." Meskipun Divya berkeras untuk membuat anak-anaknya menjauh dari Raga, nyatanya tidak semudah itu. Biar bagaimanapun Kayla maupun Raynar akan mencari Raga. Andai saja kedua anak itu tahu apa yang dilakukan sang papa di luar sana, tentu mereka pun akan sakit hati seperti Divya. "Namanya juga anak, Div, pasti bakalan nyari ayahnya." Alena berkomentar. Wanita itu sama sekali belum tahu apa yang sedang dialami oleh Divya. Sudah berperilaku masa bodoh pada Raga, tetapi yang namanya sakit belum juga sirna. Sinar hampir tertelan gelap, Divya belum juga berkeinginan untuk kembali ke rumah. Ada sedikit rasa ingin mengetes kesungguhan pria itu. Divya ingin lihat, apakah Raga akan mencarinya atau tidak. ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN