Divya sengaja menonaktifkan ponselnya sejak siang, ia hanya tidak ingin waktu bersama sahabatnya diganggu oleh siapa pun.
Hari baru saja gelap, senja sudah tenggelam. Seperti batu yang dilemparkan ke sungai, hilang tak tersisa.
Memang tidak ada rasa kesal ketika Raga menjemput mereka di rumah Alena, karena Divya sengaja untuk menguji pria itu.
Hanya saja, lagi-lagi Divya merasa kesal melihat wajah suaminya itu. Meskipun Raga sudah minta maaf berkali-kali, rasa ingin mendiami itu masih ada.
Sudah pasti Pak Umas yang memberitahukan Divya dan anak-anak sedang berada di mana. Mungkin saja sebelum datang menjemput, terjadi suasana menegangkan di rumah. Terlihat dari wajah Raga yang kesal bukan main.
"Pa, nanti rumah kita bikinin kolam juga, ya," pinta Kayla.
Divya tahu dari mana ide permintaan itu muncul. Tentu saja karena melihat kolam berenang di rumah Alena. Tadi anak-anaknya tidak Divya izinkan untuk berenang, karena tidak ada seseorang yang bisa mengawasi di kolam.
"Iya, Sayang." Raga membalas dan itu membuat Divya mual mendengarkan.
"Horeee!" sorak Kayla dan Raynar terlihat bahagia.
"Sok banget," desis Divya dari jok belakang.
Biasanya ia akan duduk di sebelah Raga, tetapi kali ini Kayla yang menggantikan. Sedangkan ia bersama sang putra berada di jok belakang.
"Lain kali kalau mau keluar kasih tahu Mas dulu," ucap Raga, memulai pembicaraan yang lebih serius.
Divya tidak menggubris, tatapannya mengarah pada kuku tangan yang bersih. "Dikutek bagus kali, ya." Mempertimbangkan apa yang akan dilakukannya pada kuku-kuku itu.
"Div, kamu denger apa kata Mas?"
"Bagusnya diwarnai nggak, Dek?" tanya Divya pada Raynar.
Anak itu mendongak, menatap mamanya tidak mengerti. "Apa tu?"
"Kuku Mama." Divya memperlihatkan kukunya pada sang putra. "Bagus nggak, kalau diwarnai?"
"Walna bilu badus," ujar Raynar.
Terdengar helaan napas kasar dari jok depan. Divya sama sekali tidak peduli, yang dilakukannya adalah mengajak Raynar berbicara masih dengan topik yang sama, yaitu kuku.
"Punya Anel juga walnai," pinta Raynar.
"Nggak boleh. Raynar, kan, cowok." Kayla menyahuti dari jok depan.
"Cowok itu apa?" tanya si bungsu.
"Si tukang selingkuh." Divya menjawab tanpa pikir panjang.
"Hum? Kok, selingkuh, Ma?" Kayla menyela, terdengar jelas tidak setuju dengan jawaban Divya. "Cowok itu kayak Papa dan Adek."
"Bener," sahut Raga, sembari mengelus rambut Kayla.
Divya bisa melihat pria itu tersenyum pahit, dan itu membuatnya mendengkus. "Kayla lebih percaya Mama atau cowok?"
"Hm?" Kayla nampak tidak mengerti.
"Coba Kayla tanya," Divya menunjuk ke arah Raga, "cowok itu suka selingkuh atau enggak?"
"Div," tegur Raga.
Divya hanya mengangkat bahu tanda tidak peduli. "Semoga kamu nggak dapet suami kayak papamu, Kay." Itu harapan terbesar dari seorang ibu.
---
Saat sampai ke rumah, Divya terkejut melihat orang tua Raga datang berkunjung. Nampaknya bukan hanya ia yang kaget, Raga pun begitu.
"Opa? Oma?" Kayla mendekati kedua orang tua itu.
"Jangan minta pangku ke Kakek, asam urat lagi kambuh," kata Raira yang baru datang dari dapur.
"Kalau sakit kenapa ke sini?" Raga mendekati Ranto yang memijat pelan lutut.
"Apa salahnya kalau Ayah mau dirawat sama anak-anak Ayah?" ujar pria paruh baya itu.
Divya hanya menghela napas, tidak melarang dan tidak pula keberatan. Namun, ada sesuatu yang dikhawatirkan olehnya, yaitu keinginan untuk bekerja tidak akan direstui oleh mertuanya.
"Kalian dari mana, sih?" tanya Mega.
"Jemput Divya sama anak-anak di rumah Alena." Raga menjawab.
Divya sendiri lebih peduli pada anak-anaknya. Ia mengajak dua bocah itu untuk ke kamar dan berganti baju.
Sepertinya apa yang ia lakukan tengah diawasi oleh anggota keluarga Raga. Hal itu membuat Divya merasa risi. Sudah pasti mereka tahu bahwa ia masih menjaga jarak pada Raga.
"Tapi kalian udah makan?" tanya Mega lagi.
Divya yang hendak menaiki tangga bersama anak-anaknya, menghentikan langkah untuk menjawab pertanyaan itu.
"Udah, Bu. Tadi sekalian makan di rumah Alena."
"Raga juga ikut makan di sana?" Mega seperti petugas kepolisian yang sedang mengintrogasi.
"Iya, Bu," jawab Raga.
Alis Divya terangkat mendengarkan kebohongan itu. Namun, bukannya menyela, ia kembali melanjutkan langkah membawa anak-anak ke kamar.
Entah apa maksud dari Raga, sedang melindungi dan mengorek hati Divya? Ah, itu tidak akan berpengaruh untuk Divya. Sampai detik ini hatinya masih sakit.
"Habis ganti baju, Kayla mau pijitin lutut Opa," kata Kayla, meminta persetujuan dari sang mama.
Divya mengangguk sembari melepaskan baju anak itu, lalu beralih pada Raynar. Mereka masih mengenakan baju yang dipinjam dari Alisha dan Akmar. Akan Divya kembalikan besok jika sudah dicuci.
"Divya?" Seorang wanita memanggil namanya.
Divya menoleh, mendapati Mega tersenyum sembari memberikan sebuah kotak padanya. Mengerutkan kening, ia tak tahu dalam rangka apa ini.
"Dari Raga, katanya takut kamu nggak terima, jadinya minta tolong ibu buat ngasih."
Menggigit bibir, Divya segan untuk menerima, tetapi senyum mertuanya seakan penuh harap. Perlahan tangan terulur untuk menerima kotak itu.
"Kamu buka aja, anak-anak biar Ibu yang urus," kata Mega sembari menarik pelan Kayla dan Raynar menuju kamar mandi.
Jadi, ini kiriman paket yang dimaksud Raga tadi pagi. Divya berdecak, tak ada niat untuk membuka kotak tersebut.
Ditaruhnya di atas lemari, berharap sampai kapan pun ia tidak ingat atau penasaran pada isinya. Karena Divya, masih memiliki keteguhan hati yang sama.
"Div," panggil ibu mertuanya dari arah kamar mandi.
"Ya, Bu?" Divya menyahuti dan segera menuju ke asal suara.
"Ini Kayla nanyain soal cowok selingkuh, maksudnya apa?"
Hanya ekspresi datar yang Divya berikan, kemudian mengangkat bahu sekilas pertanda bahwa tak tahu. "Nggak tahu, Bu," kilahnya.
---