Untuk pertama kalinya dalam hidup, Divya berhadapan dengan Ivan, pria dewasa yang juga mengalami hal sama dengannya.
Mereka hanya saling tatap sebelumya, memperlihatkan luka kedua yang sedang dialami. Sama saja, tidak ada bedanya. Ivan menderita, begitu juga dengan Divya.
"Kita sama-sama gagal jaga pasangan kita, tapi saya janji ke Bu Divya, ini yang terakhir," ucap Ivan diakhiri dengan helaan napas. "Pasti Bu Divya juga sedang bertanya-tanya kenapa bisa dikhianati, salahnya di mana."
Divya mengangguk. Ya, hatinya terus bertanya seperti itu, sedangkan Raga tak bisa menjawab jujur. Padahal, ia sudah menyiapkan hati.
"Tapi cuma mereka yang tahu jawabannya. Saya udah nanya ke Mas Raga, tapi jawabannya nggak bisa dipercaya." Divya ikut menghela napas berat.
"Saya bekerja untuk menafkahi anak dan istri, tapi kayaknya itu nggak cukup buat Aminah," ujar Ivan, terdengar sangat tertekan. "Pekerjaan saya seorang arsitek, dia maunya buka usaha di tempat asalnya, saya iyakan."
Divya mendengarkan apa yang keluar dari mulut Ivan tanpa sedikit pun menyela. Baginya, mengetahui tentang Aminah dari sisi sang suami, adalah hal yang sangat penting.
Dari sini, Divya bisa tahu apa hebatnya wanita itu, apa yang sedang dikagumi Raga dari Aminah, apa yang tidak ada di Divya, tetapi ada di Aminah.
"Saya dengan senang hati ambil pinjaman di bank, suami Bu Divya yang ngurus, tapi nyatanya malah jadi senjata buat saya hancur." Ivan menautkan jari-jarinya, mata itu berkaca-kaca.
Sungguh, Divya tahu bagaimana rasanya. Melihat pria itu hampir menangis, menegaskan bahwa Aminah adalah sosok yang amat penting.
Pada kenyataannya, ketulusan itu malah dibalas dengan pengkhianatan. Divya punya teman di sini, maka sudah seharusnya mereka saling menguatkan.
"Saya resign dari pekerjaan," ucap Ivan.
"Kenapa begitu, Pak?" Divya keheranan.
"Saya putuskan buat lanjutin usaha di Kalimantan, meskipun harus ninggalin rumah di sini. Nggak ada yang namanya cerai, kami punya anak. Saya harap Bu Divya juga nggak sampai bercerai."
Divya tertegun, betapa kuatnya pria ini. Bekerja mencari nafkah, tidak dihargai, tetapi masih mau mempertahankan. Padahal, ini sudah kedua kalinya.
"Suami saya nggak mau cerai, Pak. Tapi cara pandang saya ke Mas Raga jadi beda, udah nggak terlalu peduliin dia mau ngapain," jelas Divya.
"Saya milih pindah karena mau jauhin Aminah dari Pak Raga, saya harap Bu Divya bisa bekerja sama." Ivan menghilangkan ekspresi sedih, tatapan itu kini terlihat serius. "Kalau suatu hari Bu Divya merasa Pak Raga selingkuh lagi, tolong hubungi saya."
Divya mengangguk. "Pasti akan saya hubungi."
Mungkin ia tidak peduli lagi dengan hubungannya dan Raga, tetapi di sini ada seorang suami yang sangat mencintai sang istri dan ingin Divya membantu.
"Bu Divya juga harus baikan sama suami. Lupain masa lalu, jadilah yang terbaik buat beliau. Saya juga gitu, Bu, mulai introspeksi diri, biarpun saya nggak tahu salahnya ada di mana."
Divya pun akan melakukan hal itu, tetapi keinginan untuk punya pekerjaan lebih besar. Ia ingin mandiri, tahu cara mencari uang untuk dirinya dan anak-anak.
Meskipun ayah mertuanya sudah mengatakan bahwa akan membiayai Divya dan anak-anaknya jika terjadi perceraian, tetapi ia tahu bahwa nanti hanya ada akhir yang canggung.
Divya menarik napas pelan, kemudian mengembuskan perlahan. "Jadi, kapan Pak Ivan sekeluarga berangkat?"
"Besok," jawab Ivan.
Jika besok Raga bersikap aneh, maka sudah pasti suaminya itu tahu bahwa akan berpisah dengan Aminah, tentu itu akan sangat menjelaskan bahwa Raga masih berkomunikasi dengan si pelakor tersebut.
---
Perjalanan pulang ke rumah, Divya menerima telepon dari suaminya. Sebuah hal yang sangat jarang terjadi, biasanya Raga tidak pernah meneleponnya jika masih dalam jam kerja.
"Ya?" Dengan sangat malas, Divya menerima telepon itu.
Berbicara dengan Ivan nyatanya tak membuat suasana hati meningkat, Divya masih saja merasa kesal dengan Raga, tidak ingin mendengar, melihat, atau menanggapi pria itu.
Saat bercerita dengan Ivan, hanya beberapa fakta yang didapatkan oleh Divya, bahwa Aminah hanyalah ibu rumah tangga sama sepertinya, dan Ivan pria yang terlalu percaya dan memanjakan si istri dengan harta.
"Kamu di mana?" tanya Raga.
"Di jalan, kenapa?" Divya menjawab dengan nada malas.
"Pantesan Mas tanya ke orang rumah katanya kamu dari anterin anak-anak belum pulang ke rumah. Kamu dari aja?"
Divya berdecak dengan sengaja, baru kali ini Raga bertanya soal dirinya yang keluar rumah, biasanya sangat tidak ingin tahu.
"Kenapa nelepon?" Divya tidak menjawab pertanyaan tadi.
"Ada paket yang dikirim ke rumah, kamu udah terima?"
"Mau terima gimana, orang aku masih di jalan," gumam Divya bermonolog.
"Apa? Ulangi?"
Sungguh, sebelum masalah ini ada, Divya tidak pernah bersikap kurang ajar pada Raga. Memikirkan bahwa Aminah tidak lebih dari wanita biasa sepertinya, membuat kepala Divya mau pecah.
Masih menjadi pertanyaan pada dirinya, mengapa Raga begitu tega berkhianat bahkan hampir dua tahu lamanya. Divya sadar semua manusia punya kekurangan, tetapi ia pun ingin tahu di mana letak kekurangannya.
"Nanti aku cek kalau udah datang." Setelah mengatakan itu, Divya mematikan sambungan secara sepihak.
Seharusnya ia berusaha untuk menjadi lebih baik, Ivan sudah berkorban meninggalkan pekerjaan dan memboyong Aminah ke Kalimantan untuk menjauh dari Raga.
Namun, keras kepala dan kesakitan itu masih saja membuat Divya urung untuk bersikap manis. Menurutnya Raga tak pantas mendapatkan hal itu darinya.
Divya merasa, jika ia bersikap baik pada Raga, maka yang ada hanya ditertawakan dalam hati.
Kepercayaan yang dibangun selama berumah tangga, runtuh sudah pada hari di mana Raga mengkhianati untuk kedua kalinya.
Ponsel Divya berbunyi lagi, masih dari orang yang sama. Ia menolak panggilan dan mematikan ponsel, mungkin sekarang sudah waktunya Divya belajar mandiri.
Dimulai dari mencari pekerjaan. Apapun itu akan dikerjakannya. Sudah dibekali ilmu sampai mendapatkan gelar sarjana, maka Divya tidak akan ragu untuk mulai melangkah.
---