Dapur tungku penuh sesak dengan kepulan asap. Nenek Saj tampak duduk di depan tungku. Ia tengah meniup batang bambu yang diarahkan ke tungku api yang menyala. Nenek Saj sedang menggoreng kacang yang nantinya akan dijual di depan gang rumah dengan menggelar meja kecil. Meja kecil itu juga terisi dengan jajanan untuk sarapan khas Banjar seperti amparan tatak , kararaban , lapis india, lapis s**u, putri selat, kue cincin. Biasanya, Nenek Saj menyajikannya dalam keadaan hangat di dalam loyang berbentuk bundar atau persegi.
Rahma baru saja masuk dapur dan tidak sengaja melihat Nenek Saj sedang menghalau asap agar tidak terlalu kena mata tuanya.. Rahma sedikit iba bagaimana jika dia mempunyai nenek seperti itu? Mungkin ia akan menangis.
Rahma mengampiri Nenek Saj dan berjongkok di sampingnya. Gadis periang itu tampak selalu tersenyum. Rambut panjangnya ia gerai begitu saja karena masih basah.
“Ammah bantu, Nek.” Ammah mengambil serok dari tangan Nenek Saj, lalu menggeser tubuhnya ke depan tungku sehingga Nenek Saj tersingkir.
Nenek Saj tersenyum. “Baiklah.” Nenek Saj perlahan berdiri dan hendak menyiapkan beberapa kue di atas loyang. Tubuh bungkuknya ia tegapkan sedikit sembari memegang pinggang yang sedikit pegal.
“Jangan sampai gosong, ya, Ammah. Nanti setelah selesai, letakkan di baki, lalu bungkus dengan plastik es lilin,” beri tahu nenek.
Ammah yang sedang mengaduk-aduk kacang di atas wajan langsung menghadap nenek dan tersenyum mengangguk. “Iya, Nek.”
Hidup Ammah kini sangat berwarna karena sekarang ia tidak sendirian lagi. Ia ditemani seseorang yang baik hati. Ammah berjanji sepenuhnya ia akan bersama Nenek Saj dan membantu beliau selama hidupnya.
***
Agra bangun dari tidurnya. Ia meraih jam tangan di atas nakas. 07.39 WITA.
Angga mendesah frustrasi. Ia pikir ini sudah siang. Agra membuka selimutnya dan berjalan ke kamar mandi. Ia mengguyur tubuhnya dengan air shower. S
Tak lama kemudian, Agra keluar dari kamar mandi. Ia menuju walk-in closet. Ia menatap deretan pakaiannya yang tergantung rapi. Agra berjalan menuju lemari susun dan mengambil kaus serta celana pendek secara asal.
“Sudah nikah tapi hidup seperti bujangan,” kata Agra frustrasi.
Agra memasukkan ponsel ke dalam saku celananya, lalu mengenakan jam tangan. Ia mengambil kunci mobil dan pergi meninggalkan rumahnya. Agra akan pergi untuk mencari saparan di sekitar daerah rumahnya.
Agra menjalankan SUV putihnya dengan pelan menuju jalan yang ia lewati kemarin. Biasanya, di atas jalan tanjakan ada seorang nenek yang menjual sarapan dan benar saja. Nenek itu berjualan bersama sosok gadis cantik. Agra tersenyum. Dengan cepat, ia meminggirkan mobilnya dan keluar dari situ.
Agra melihat berbagai macam makanan di atas meja dengan loyang. Makanan itu masih dalam keadaan hangat tentunya. Ia akan membeli beberapa wadai dan membawanya pulang. Agra ingin menyantapnya di depan kolam renang ditemani segelas teh hangat.
“Nek,” panggil Agra ramah.
Nenek Saj yang sedang membenahi plastik di bawah meja langsung menengok. “Iya. Oh, ada pembeli. Setumat -lah, Nak. Nenek cari plastik dulu”
“Iya, Nek, tapi saya pesan amparan tatak satu, kararaban satu, putri selat satu, sama lapis susunya juga.”
Di belakang Nenek Saj, Agra melihat Rahma datang dengan membawa plastik ukuran kecil di dalam stoples berbentuk segi empat. Tapi, kenapa perasaannya ada yang berbeda? Perasaan seperi pernah bersamanya walau hanya sebentar.
Rahma yang tidak sengaja melihat Agra langsung terdiam. Ia teringat dengan kejadian semalam. Mungkinkah? Atau jangan-jangan...