Bagian 8

808 Kata
Rahma maupun Agra saling bertatapan sebelum akhirnya Rahma meletakkan apa yang ia bawa di atas meja. “Nek, plastiknya sudah Ammah bawakan. Jadi, gak usah dicari lagi.” Nenek Saj langsung menegakan tubuhnya dan melihat plastik yang Rahma bawa. “Oh, iya, lupa dibawa.” Nenek Saj mengambil satu plastik dan membukanya. “Ammah, tolongin Nenek layanin Abang ini. Nenek mau ke rumah sebentar.” kata nenek sambil meletakkan kembali kantong plastik yang dipegangnya. “Sama cucu saya dulu, ya, Nak” Agra hanya tersenyum seraya mengangguk, tapi matanya tidak lepas dari Rahma. “Sepotong jualin aja lima belas ribu, Ammah,” pesan Nenek Saj sebelum akhirnya pergi. “Mhh, mau yang mana, Bang?” tanya Rahma grogi. Agra dengan yakin menunjuk kue yang sedari tadi ia pilih. Ammah cepat-cepat mengangguk sambil mengambil wadai di atas loyang. Di dalam loyang tersebut nenek Saj membaginya menjadi beberapa bagian. Ammah mengambil satu per satu wadai ke dalam plastik mika. “Lapisnya jangan lupa,” ingat Agra. Ammah mengangguk ia mengambil plastik mika dan mengisinya dengan sepotong kue lapis. Setelah selesai membungkusnya, Ammah langsung memberikan kue itu ke Agra. Tak sengaja tangan mereka saling bersentuhan. “Berapa semuanya?” Agra mengambil dompet di saku belakang celananya. “Enam puluh ribu.” Agra memberikan uang pas senilai dengan yang disebutkan Ammah. “Makasih.” Agra mengangguk sebelum akhirnya ia pergi. Ammah menyukai lelaki itu. Namun, setelah ia pikir itu tidak mungkin. Ia memegang perutnya. Jika Tuhan berkehendak, maka semuanya akan terjadi. “Apa dengan sekali berbuat bisa langsung menghasilkan? Semoga saja bisa,” doa Rahma. *** Beberapa bulan kemudian. Agra membawa mobilnya menuju pekarangan kantor. Hari ini ada pertemuan dengan perusahaan minyak terbesar yang dipegang CEO terkenal, yaitu Rendra Argumatra Dirgantara dan juga Ethan Nathael Daniel Anthony, seorang pengusaha terkenal di kotanya. Setelah sampai, Agra berlari kecil masuk ke kantornya. Di dalam sana, Jio dan Joy sudah menunggunya. “Astaga, Pak, yang lain sudah menunggu,” oceh Jio, mengikuti langkah cepat Agra. “Mereka sudah menunggu berapa lama, Jio?” Agra bergegas menuju ruang meeting. Beberapa karyawan menunduk menyapanya yang dibalas Agra dengan anggukan sambil terus berjalan. “Satu menit, Pak,” Jawab Joy. Agra langsung berhenti berjalan kemudian ia berbalik dan menatap Joy tajam. “Hehehe. Maafkan saya, Pak. Kalau saya gak bilang seperti itu, Bapak pasti molor ke kantor,” kata Joy tidak enak hati cenderung kurang ajar. Agra menutup matanya sambil menarik napas dalam, lalu dikeluarkannya pelan. Agra membuka matanya kembali. “Kamu punya utang padaku, Jio. Siap-siap saja gajimu bulan ini kupotong,” kata Agra dingin. Agra kemudian berbalik meninggalkan Joy. Joy langsung tersentak tangannya ia ulurkan ke Agra yang sudah menjauh. “Bapak,” rengek Jio sambil mengejar Agra. Agra memperbaiki jasnya sebelum masuk ke ruang meeting. Ia memasang tampang hangat dan bersahabat kepada dua CEO yang sudah menunggunya. “Long time no see, Agra,” sapa Ethan, lalu menjabat tangan Agra Agra dengan senyumnya, menyambut uluran tangan Ethan. “Saya rasa baru beberapa bulan kita tidak bertemu,” ujar Agra sembari duduk. “Tapi, rasanya sudah lama. Terakhir kali, pengawalmu memukuli adikku,” imbuh Ethan yang disahuti dengan anggukan Agra sambil tertawa pelan. “Well, kenalkan ini sahabatku. Namanya Rendra, ia ingin membeli batu permata yang akan dihadiahkan untuk istrinya. Kamu tahu dia p*****l,” bisik Ethan. Rendra memelototkan matanya kesal. “Cih, aku tak jauh berbeda darimu, berengsek,” desis Rendra yang membuat Ethan dan Agra tertawa terpingkal-pingkal. Agra meredakan tawanya dan menjabat tangan Rendra. “Senang bisa bertemu denganmu, Ren. Aku sudah tahu tentang dirimu dan juga istrimu. Dari berita yang kudengar, istrimu bernama Hanna, putri dari Almarhum Indri dan Bram, pengusaha minyak terkenal di dunia.” Dengan bangga, Rendra mengangguk. “Aku ingin membeli batu permata berkualitas tinggi untuk istriku.” kata Rendra setelah menjabat jangan dan duduk. Agra mengangguk. Ia membuka file yang sudah tersedia di atas meja. File itu berisi bermacam-macam berlian dan segala penjelasannya. Selama para atasan mereka mendiskusikan bisnis, di luar ruangan yang terdapat dua sofa panjang diduduki tiga orang pengawal dan tiga orang asisten para CEO. Pengawal itu ada Joy, Yohan—pengawal Rendra—dan Alan—pengawal Ethan. Sedangkan, sekretaris sekaligus asisten yang menemani Jio adalah Ranno dan Yoki. “Aku bosan,” rengek Joy. Renno menatap Joy. “Cih, dasar anak alay,” gumam Renno yang sedang memainkan ponselnya. Joy langsung melihat Renno tajam. Ia menegakan badannya seraya berkacak pinggang. “Dasar serampangan. Kamu pikir dirimu itu tampan, hm? Adanya kayak p****t panci,” balas Joy pedas. Ia berdiri dan mengentakkan kakinya keras sebelum akhirnya pergi. Renno langsung bangun dan melayangkan tangannya ke udara seolah-olah ia ingin memukul Joy, tapi tidak jadi karena merasa diperhatikan keempat orang lainnya. *** Rahma tidur di tepi ranjang. Beberapa hari terakhir ini, dirinya selalu merasa mengantuk dan mudah lelah. Ia juga mual dan muntah. Di bagian bawah perutnya selalu mengalami keram. Nenek Saj dalam beberapa terakhir juga mengurus Rahma yang sedang sakit. “Kita ke puskemas aja, Rahma,” ajak Nenek Saj. Rahma dengan lemas sembari menutup matanya, menggeleng pelan. “Ammah gak papa, Nek. Ammah mau tidur aja,” tolak Ammah lirih. Nenek Saj hanya bisa menggeleng, lalu beranjak keluar dari kamar. Mungkinkah Ammah hamil? Entahlah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN