“Iya … aku ngomong sama kamu. Mih itu panggilan sayangku buat kamu, Fina Mega Dewi!”
Episode 3 : Belajar Mesra
Fina memimpin langkah dengan cukup tergesa. Namun, di tengah suasana ruangan rumah yang temaram, keduanya yang baru saja meninggalkan kamar, menjadi melangkah dengan hati-hati, ketika melalui anak tangga, mengingat kini, masih sekitar pukul tiga pagi. Karena bersama Rafael yang sedang sibuk menatap layar ponsel, keduanya memang akan menunaikan sahur.
“Jalannya lihat jalan dong, Raf .. nanti kalau keseleo apa bagaimana, gimana?” tegur Fina lirih.
Tak beda dengan langkah, bersuara pun sengaja Fina jaga, lantaran mertuanya yang tidak menunaikan sahur, pasti masih tidur.
Bukannya menjawab, tepat di anak tangga terakhir sebagai lantai bawah selaku tujuan keduanya, sebelah tangan Rafael justru meraih punggung kepala Fina, hingga cepolan rambut istrinya itu menjadi tergerai.
“Kafur …?” panggil Fina lirih sekaligus tegas.
“Ya Tuhan … kamu panggil aku sama panggilan itu?” seru Rafael terkaget-kaget bahkan sampai terlonjak.
Fina yang berangsur menoleh hanya mendengus sebal. “Kalau kamu tetap jail, aku panggil kamu Kafur!” ancamnya.
“Pencemaran nama baik, ini namanya, Fin … kenapa kamu malah ikut-ikutan si Ipul sih?” protes Rafael.
Fina hanya menggeleng tak acuh dengan sebelah tangan yang berusaha meraih sebelah tangan Rafael. Fina bermaksud menggandeng tangan Rafael, tetapi suaminya itu justru mendadak bersedekap sambil memasang wajah ngambek.
“Ya Alloh, ya Gusti, Rafael … bayi bangkotan … malah ngambek … ayo kita sahur nanti keburu imsak,” bujuk Fina.
Setelah menatap sebal Fina, Rafael berlalu dengan kenyataannya yang masih bersedekap. Fina tahu jika Rafael sedang ingin dimanja. Suaminya itu sedang minta dirayu bahkan kalau bisa, Fina harus bersikap agresif. Karenanya, Fina sengaja mendekap punggung Rafael kemudian menyandarkan wajahnya ke d**a pria itu, sembari terus melangkah menyeimbangi langkah Rafael.
“Aku beneran marah kalau kamu ngikutin gaya Ipul apalagi cara dia manggil aku!” tegas Rafael lirih tanpa menatap Fina. “Dan aku belum maafin kamu.”
“Tapi aku juga belum minta maaf?” balas Fina yang menjadi bingung sendiri. Namuna, lantaran Rafael masih diam dan jelas mendiamkan Fina, Fina pun berinisiatif untuk meminta maaf.
“Aku minta maaf, ya?” ucap Fina penuh sesal.
“Katanya pengin jadi seperti istri nabi?” cibir Rafael masih ngambek.
“Iya, maaf …,” balas Fina. “Serius si Rafael ngambek beneran? Bagaimana kalau dia sampai tahu nama kontak dia di ponselku juga masih Kafur? Kiamat!” batin Fina yang menjadi waswas.
“Beri aku panggilan sayang, baru aku maafkan,” balas Rafael yang sengaja memberikan syarat.
“Maunya dipanggil apa?” balas Fina yang masih menempel di punggung Rafael tak ubahnya kelelawar yang akan menempel di setiap sandarannya.
Mereka nyaris memasuki area dapur yang akan membuat suasana cukup bersuara atas keberadaan mesin dari beberapa kulkas yang ada di sana.
Rafael berangsur mengerutkan bibir dan tampang menimang rasa. “By … Hubby!” pintanya bersemangat setelah sampai membuat Fina menunggu nyaris dua menit.
“Baiklah … By … Hubby!” balas Fina sengaja menirukan gaya berbicara Rafael yang manja.
“Ya enggak gitu juga, kali …,” keluh Rafael lagi yang nyatanya masih rese.
“Iya, By … ngerti … ngerti … aku panasin makanan dulu ya?” balas Fina yang kemudian berlalu meninggalkan Rafael, sesaat sampai mengelus-elus punggung berikut d**a pria itu.
Fina segera meraih dan menekan kaitan pintu dapur. Dan tujuannya ketika memasuki area dapur adalah kulkas. Fina mengeluarkan beberapa kotak berisi makanan yang akan ia panaskan. Karena sesuai pesan dari Mey, mertuanya itu telah menyiapkan masakan khusus untuk mereka bersahur.
Ada satu rantang berisi sup ayam yang diramu khusus menggunakan ramuan tradisional khas orang chinese, selain capcai, ayam goreng, berikut telur dadar isi sayuran. Namun sepertinya, untuk ayam goreng, Fina akan menggorengnya lagi agar rasanya lebih enak.
“Mih …,” ucap Rafael yang masih serius dengan ponselnya.
Mendengar itu, Fina mengernyit dan refleks menatap suaminya.
Rafael masih berdiri di seberang Fina. Keduanya hanya tersekat meja berukuran besar yang Fina gunakan untuk menampung makanan dari kulkas. Dan di tepi meja tersebut, beberapa kursi tanpa sandaran, berjejer rapi.
Namun, lantaran Rafael masih fokus pada ponsel, Fina juga abai. Wanita itu segera menuju keberadaan kompor. Di laci bawah kompor, Fina mengambil panci khusus penggorengan berikut teflon yang langsung Fina taruh di atas kompor bersumbu empat tersebut dan membuat Fina langsung bisa memanaskan semua masakannya melalui panci yang berbeda demi mengejar waktu.
“Mih, aku ngomong sama kamu. Kok kamu malah cuek?” keluh Rafael kemudian dan sukses membuat Fina kebingungan.
Fina refleks balik badan. Ia menatap Rafael penuh kepastian, dengan tangan kanannya yang masih memegang sendok sup, lantaran tadinya, Fina memang sedang mengaduk sup yang sedang dihangatkan di panci.
“Iya … aku ngomong sama kamu. Mih itu panggilan sayangku buat kamu, Fina Mega Dewi!” keluh Rafael yang sampai uring-uringan.
Meski sempat kebingungan, tetapi Fina menjadi tersipu. Fina benar-benar terharu karena nyatanya, di sahur kali ini, mereka saling memberi panggilan sayang. Rafael yang memanggil Fina “Mih-Mimih”, juga Fina yang memanggil suaminya dengan panggilan sayang, “By-Hubby”.
“Maaf, …?” Dan Fina nyaris keceplosan memanggil Rafael dengan nama asli.
Sedangkan Rafael yang masih menatap saksama Fina, langsung memelotot penuh peringatan.
“Maaf, ya By … tapi makasih banget.” Sepanjang kebersamaan mereka selama ini, Fina yakin jika senyumnya yang kali ini, merupakan senyum penuh kebahagiaan yang menghiasi wajahnya.
Rafael bahkan langsung terlena. Pria itu mendekat dan memeluk mesra Fina. “Belajar romantis kenapa?” bisiknya masih manja.
Fina makin tersipu. Dan ia pun berangsur balas memeluk Rafael. Namun, mungkin karena mereka terlaru larut dalam kebersamaan sekaligus pelukan yang masih berlangsung, panci penggoreng berisi minyak yang Fina panaskan untuk menggoreng ayam, sampai menyemburkan api.
“Ya ampun, By … itu api! Kebakaran, By!” Fina yang mendapati itu refleks menjengit dan buru-buru menarik Rafael untuk menjauhi kompor, sebelum akhirnya Fina juga melakukan hal serupa, setelah sampai mematikan semua kompornya.
Berbeda dengan Fina yang terlihat jelas syok bahkan ketakutan, Rafael justru terperangah mendapati sisa api yang masih menghiasi panci.
“Wah … gila, Mih … apinya sampai berkobar-kobar! Kayak cinta kita!” ujar Rafael.
Fina semakin tidak mengenali Rafael yang baginya sudah berbeda tipis dengan Ipul.
“Mih … iya, kenapa? Belajar mesra, Mi!” rengek Rafael dan sengaja memaksa.
“Terus, aku harus bagaimana? Bisa beneran gila aku kalau tiap hari harus belajar mesra!” batin Fina yang memilih abai dan segera membereskan semuanya.
“Mendingan kamu duduk, deh, By. Itu jauh lebih membantu, daripada kamu terus di sini dan minta aku buat belajar mesra. Aku beresin ini dulu biar bisa cepat sahur, sebelum imsak,” ujar Fina sembari memindahkan sayuran berikut kuah yang ia panaskan, ke dalam piring yang letaknya juga ada di lemari bawah sebelah kompor.
Sadar Fina sampai syok, Rafael pun mengalah dan berangsur duduk di salah satu kursi pilihannya yang memang masih ada di dekat Fina.
“Mih, pagi ini juga sekitar pukul lima, aku harus ke Bandung dan pulangnya lusa. Enggak apa-apa, kan? Ada urusan yang benar-benar penting. Kamu di sini buat temenin mama, karena papa juga bakalan ikut ke Bandung bareng aku,” ucap Rafael yang masih serius berkirim pesan di ponselnya.
“Oh, tentu. Itu kan sudah kewajibanmu, By …,” balas Fina santai sambil menghidangkan semangkuk sup untuk Rafael berikut sendok yang ia ambil di laci atas sebelah kiri kompor.
“Kamu cepat hafal tata-letak di sini, ya, Mih? Padahal kan, aku sama mama saja sering keliru,” puji Rafael dan memang jujur. Sebab, di dapurnya banyak lemari dinding yang melekuk sepanjang ruangan. Tak hanya di bawah, melainkan juga atasnya. Saking banyaknya dan kiranya ada lebih dari tiga puluh lemari, Rafael sekeluarga kerap bingung sendiri ketika akan mengambil barang, bahkan meski sekadar sendok.
“Kan aku harus menyesuaikan diri, Raf. Ibaratnya, perasaanku saat ini, seperti kamu ketika berhadapan atau menghadapi orang tuaku. Karena aku, juga ingin tampil sempurna di depan keluargamu di tengah kenyataanku yang masih banyak kekurangan,” balas Fina.
“Maksud kamu apa, sih, Mih? Kamu tuh sempurna buat aku. Serius,” balas Rafael sembari menatap Fina penuh senyum. Senyum penuh kekaguman yang dipenuhi rasa terima kasih, layaknya orang yang sedang jatuh cinta pada kebanyakan.
Fina membalasnya dengan senyum serupa, sebelum akhirnya ia fokus dengan kompor berikut panci-pancinya.
Bersambung ….