“Tapi Mama bangga sama Rafael. Dia kuat puasa bahkan tambah religius. Enggak apa-apa, ya. Meski agama kita beda, tetapi kita sama-sama menghormati saja!”
Episode 2 : Menginap di Rumah Mertua
Fina terdiam bingung ketika mobil yang mereka tumpangi, berhenti di depan garasi sebuah rumah megah. Rumah megah yang bahkan berukuran dua kali lebih besar dari rumah pribadi Rafael, yang sempat Fina tinggali.
“Ini enggak salah ...?” pikir Fina masih tidak percaya. Kedua matanya mengerling bingung.
Namun, Didin berikut Otoy yang duduk di sebelah kemudi, bergegas keluar dari mobil. Otoy membuka pintu penumpang keberadaan Fina, sedangkan Didin segera membuka pintu sebelah Rafael. Akan tetapi, lantaran Rafael masih tidur pulas di pangkuan Fina, Fina pun membangunkannya lebih dulu.
Tadi, sebelum tidur, Rafael mengeluh kekenyangan setelah menghabiskan tiga gelas es buah sekaligus, ketika berbuka puasa. Sebelum pulang untuk menginap di rumah orang tua Rafael, Fina dan Rafael memang sengaja berbuka puasa dulu di hotel, setelah mereka juga menunaikan salat mahgrib bersama.
Meski seorang mualaf, Rafael memang sangat bersemangat dalam mendalami agama. Karena seperti yang pria itu katakan kepada Fina, Rafael sangat ingin menjadi imam yang baik untuk Fina di tengah keterbatasan pria itu.
“Raf, ... bangun. Sudah sampai,” bisik Fina tepat di sebelah telinga Rafael sembari mengusap lembut pipi Rafael.
Bahkan saking sayangnya Fina kepada Rafael yang selalu memanjakannya meski kadang Rafael juga kerap bersikap jail, Fina sampai melayangkan kecupan kilat di sebalah pipi suaminya. Dan tak lama setelah itu, sebari mengulet, Rafael mendesah. Pria itu merentangan kedua tangannya seiring kedua matanya yang berangsur terbuka.
“Sudah sampai?” ujarnya sambil menguap dan membiarkannya begitu saja.
Ketika menguap, Rafael tidak menutup mulutnya yang terbuka sangat lebar. Itu juga yang membuat Fina segera menekapkan sebelah tangannya untuk menutupi mutut Rafael. Namun Rafael tidak menyia-nyiakan keadaan tersebut. Sebab pria itu sengaja menciumi telapak tangan Fina tanpa henti. Tak cukup di situ, sebab Rafael juga menghujani sebelah pipi Fina dengan kecupan gemas. Sampai-sampai, Fina menjadi malu sendiri lantaran di sana tidak hanya ada mereka. Masih ada Didin dan Otoy yang terjaga menunggu mereka untuk keluar, di sebelah pintu yang dibuka lebar.
Fina tak hentinya mendengkus menghindari Rafael. Dan setelah berhasil mengakhiri ulah suaminya yang selalu saja ingin tampil romantis bahkan meski di depan umum, Fina segera keluar dari mobil sambil menenteng tas yang kemudian Fina dekap di pundak kanannya.
“Yakin mau masuk dulu, bahkan sendiri ...? Nanti kalau kamu sampai nyasar bagaimana? Lagi pula, memangnya kamu tahu, mau lewat pintu yang mana?” ujar Rafael masih tersenyum jail dan sengaja menggoda Fina.
Semenjak kembali ke Jakarta seiring hubungan Rafael dan Fina yang semakin dekat, Rafael selalu merasa ada yang kurang jika sebentar saja, ia tidak menjaili apalagi menggoda Fina.
Fina yang mendengar itu berangsur balik badan. Ia menatap pasrah Rafael yang kemudian menghampirinya.
Fina sengaja memasang sedikit kemanjaan yang menghiasi wajahnya dan ia tujukan khusus pada Rafael. Menyadari hal tersebut, hati Rafael menjadi berbunga-bunga. Sebab kini, melihat Fina bermanja sekaligus bergantung padanya telah menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidup Rafael.
Rafael pun berangsur memberikan sebelah tangannya dan langsung diterima oleh Fina. Dan melalui kenyataan tersebut, Rafael menggandeng Fina dengan erat.
“Yang betah, ya, di sini. Aku ingin tinggal di sini lebih lama,” ucap Rafael.
Fina mengerutkan dahi berikut bibirnya. Mencoba mencerna maksud ucapan Rafael, lantaran sebelumnya, suaminya itu bilang, mereka hanya akan menginap dua atau beberapa hari saja di rumah orang tua Rafael. Namun kini, ... kenapa Rafael mendadak berkata lain, atau bahkan, Rafael sudah sampai berubah pikiran?
“Katanya cuma dua hari?” ujar Fina sambil menengadah demi menatap Rafael.
Fina terus mengikuti tuntunan Rafael menuju sebuah pintu dua muka, yang sudah ada di hadapan mereka. Pintu yang sepertinya menjadi pintu masuk utama di rumah orang tua Rafael tersebut, berangsur dibuka lebar kedua sisinya.
Tampak Mey yang mengenakan piama panjang warna hitam, berangsur berdiri menunggu membelakangi ambang pintu. Wanita paruh baya yang jelas menjaga penampilan itu tersenyum semringah menyambut kedatangan Rafael dan Fina.
“Wah ... senangnya. Akhirnya kalian datang ...!” seru Mey yang langsung menyambut Fina dengan sangat hangat.
Mey tak hanya merengkuh tubuh Fina, sebab ia juga langsung mencium kedua pipi bahkan kening Fina. “Yang betah, yah, di sini!” ucapnya sambil menatap serius Fina yang tak lagi ia dekap erat. “Ya sudah ... sana kalian mandi dulu, habis itu kita makan malam!” lanjutnya yang sampai menepuk-nepuk punggung Rafael. “Kalian belum buka puasa, kan?”
“Kami baru makan takjil, Ma,” balas Fina sopan.
“Tapi aku masih kenyang banget!” Rafael menyeringai sembari memegangi perutnya yang masih kembung.
Sambil memegangi perut Rafael yang menjadi cukup buncit, Fina pun berkata, “ya iyalah, kembung. Tiga porsi kamu sikat habis!”
Mendengar itu, Mey langsung tergelak. Lain halnya dengan Rafael yang langsung mendelik, menatap Fina penuh peringatan.
“Tapi Mama bangga sama Rafael. Dia kuat puasa bahkan tambah religius. Enggak apa-apa, ya. Meski agama kita beda, tetapi kita sama-sama menghormati saja!” seru Mey kemudian. Karena seperti apa yang ucapkan, menghargai satu sama lain adalah kunci dari kelanggengan hubungan termasuk hubungan dalam perbedaan agama.
Yang membuat Mey masih sulit percaya bahkan hingga detik ini, tak lain perihal Rafael yang tadinya tidak percaya Tuhan, tetapi kini menjadi pribadi yang jauh lebih taat beragama, semenjak anaknya itu menikah dengan Fina. Itu juga yang membuat Mey merasa sangat beruntung lantaran akhirnya, wanita seperti Fina yang menjadi pasangan Rafael. Wanita yang mampu menuntun Rafael mengenal agama sekaligus Tuhan—sebuah kenyataan yang sudah langka. Terlebih selama ini, Mey saja kewalahan dalam membujuk Rafael untuk mengenal Tuhan. Namun di luar dugaan, ternyata ada yang lebih membuat percaya Tuhan dan itu berkat tuntunan Fina. Ya, Rafael benar-benar memiliki jalan lain dalam mengenal Tuhannya.
Mey menggiring Rafael dan Fina untuk segera menaiki anak tangga yang menghubungkan ke lantai atas, sedangkan dua orang pekerja di sana sudah mengangkat tas kerja Rafael berikut koper kecil yang awalnya dibawa oleh Otoy dan Didin. Keduanya melangkah cepat mendahului Fina dan Rafael.
Rafael tak lagi menggandeng, melainkan merangkul mesra pinggang Fina, yang kadang dielus-elus olehnya.
“Ini maksudnya kita menginap cukup lama, ya? Kamu bilang hanya dua hari?” tanya Fina sambil menatap bingung Rafael.
Rafael hanya mengulas senyum sambil mengangguk-angguk.
“Senyummu meragukan ... kok kamu jadi jail banget, sih?” uring Fina yang jadi menatap curiga Rafael.
Mendengar itu, Rafael langsung mengerutkan bibir sambil menatap aneh Fina. “Bahkan sekarang kamu curiga ke suamimu sendiri?” tanyanya tak percaya bahkan sengaja memasang ekspresi syok.
Fina hanya mendengkus sebal sambil menepis tatapan Rafael.
“Mama kesepian. Jadi kalau kamu di sini, kamu bisa sekalian nemenin Mama,” ucap Rafael kemudian.
Mereka baru saja menuntaskan anak tangga yang menghubungkan lantai bawah dengan lantai atas, selaku keberadaan kamar Rafael. Namun Fina belum tahu perihal kamar Rafael, lantaran ini merupakan untuk pertama kalinya Fina datang ke rumah orang tua Rafael.
“Kamarmu yang mana?” tanya Fina. Sebab di lantai keberadaan mereka, selain ada hamparan ruangan yang menyerupai ruang keluarga bersisi sofa besar berikut meja layaknya pemandangan sekilas yang Fina dapati di lantai bawah, di sana ada dua buah kamar yang mengapit sebuah ruang berukuran lebih kecil.
“Coba tebak yang mana?” balas Rafael yang tak hentinya mengelus-elus punggung Fina.
Deg ...
Jantung Fina mendadak berhenti berdetak ketika ulah Rafael sukses membuat kaitan bra yang Fina pakai, sampai lepas. Dan ketika Fina menengadah, menatap kesal wajah Rafael, suaminya itu justru sedang menahan tawa. Sudah bisa Fina pastikan jika Rafael memang sengaja menggodanya.
“Ada yang lepas, ya?” goda Rafael kemudian.
Fina yang merasa kesal sekaligus malu, segera mencubit perut Rafael yang detik itu juga langsung mengerang kesakitan. Beruntung, mereka hanya berdua, dan dengan kata lain, tidak ada orang lain yang mengetahui ulah jail Rafael yang kali ini terbilang cukup m***m. Namun lantaran Fina belum tahu kamar Rafael, Fina pun terpaksa mengikuti setiap tuntunan Rafael. Pun meski bukannya menuju kamar, Rafael justru mengajak Fina duduk di sofa panjang yang ada di sana.
“Rafael, ... kamu ini sengaja, ya? jail dan goga-goda terus?!” omel Fina yang buru-buru meraih beberapa bantal sofa di sana.
Fina sengaja menumpuk bantal-bantal sofa tersebut di antara dirinya dan Rafael, hingga selain berjarak, mereka juga hanya bisa melihat sebatas wajah satu sama lain.
“Ya ampun, tembok berlin lagi ...!” keluh Rafael yang kemudian merobohkan tumpukan bantal sofa Fina. “Rekor!” sergah Rafael yang kemudian tak segan menindih tubuh Fina.
“Ya ampun bayi bangkotan ... Rafael, jangan lakukan di sini. Nanti ada yang lihat!”