Lain kali jaga diri baik-baik. Ini kota besar, manusia di sini macam-macam. Kalau bukan kamu sendiri yang jaga diri, nggak akan ada orang lain yang punya waktu menjaga kamu."
Queeny menatap ekspresi Yusuf yang datar seperti biasanya.
"Pasti bukan suruhan orang tuamu untuk bergaul dengan laki-laki seperti tadi, 'kan? Berlatihlah jadi dewasa, biar nggak mengenal orang sembarangan! Ayo, saya anter pulang."
Queeny yang merasa diceramahi hanya bisa menalan rasa kesalnya. Dia mengelihkan pandangan. "Nggak, makasih," katanya lalu meninggalkan Yusuf sendirian.
Malam belum terlalu larut, Queeny punya banyak kesempatan untuk bisa pulang tanpa bantuan Yusuf. Taksi masih ramai berkeliaran dan dia tidak butuh Yusuf dan kata-kata bijaknya sama sekali.
***
Marlina masuk ke ruangan Queeny dengan pakaian rapi lengkap dengan tas kuliah di lengannya. Dia baru saja berniat untuk membangunkan Queeny. Ternyata gadis itu masih tengkurap sambil mendengkur lembut di balik selimutnya. "Queen, lo nggak mau kuliah? Kok belum siap?" tanya Marlina sambil menggoyangkan lengan Queeny yang menjuntai di tepian ranjang. "Queen, buruan bangun. Udah siang ini!"
Queeny menggeliat. Merasakan perih di matanya. Dia mengucek kedua mata dengan lengan dan menemukan lampu di samping tempat tidur seolah berubah jadi dua. Jika tidak salah, dia baru saja mendengar suara Marlina. Saat dia menoleh ke belakang, Marlina sedang tersenyum ke arahnya.
Queeny merentangkan tangan. Seluruh tulang-tulanganya terasa mau patah. Dia belum pernah tak enak badan hingga separah ini. Seolah ada sesuatu di dalam otaknya yang menghantak tiap dinding tengkoraknya.
"Buruan bangun. Udah jam tujuh, nih!" Marlina menyibakkan selimut dari ujung kaki Queeny dan dia sadar Queeny masih mengenakan pakaian yang kemarin sore gadis itu pakai.
"Lo balik jam berapa semalam?" tanya Marlina dengan ekspresi berubah heran.
Queeny menguap. Masih tak punya tenaga untuk menjawab satu persatu perkataan Marlina.
"Jangan-jangan lo dianterin sama Pak Yusuf lagi."
"Enggak," sahut Queeny dengan nada lemas.
"Buruan, makannya. Gue nggak mau telat dan dapat hukuman. Hari ini ada kuis."
Queeny mengerang. Merapikan rambutnya yang membuat penampilannya jadi mirip singa. Dia mengerjapkan mata lagi dan akhirnya bisa melihat wajah Marlina dengan jelas. "Hah? Gimana?" sahut Queeny seperti orang tak waras.
"Udah jam tujuh, nyet! Buruan ganti baju habis itu berangkat," tegas Marlina kehilangan kesabaran. "Mandi juga sana, lo bau alkohol."
Tiba-tiba Queeny merasakan kontraksi tak normal di lambungnya. Dia mengatupkan tenggorokan dan menutup mulut rapat-rapat. Sesuatu yang panas naik hingga kerongkongan. Queeny mual-mual. Dia menahan mulut dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya memegangi perut. Marlina panik, dia bangkit untuk mempersilahkan Queeny bangkit menuju ke kamar mandi.
Marlina jadi menyesal sudah membentak Queeny saat mendengar suara Queeny yang mual-mual. Dia berdiri di belakang pintu. Menunggu rasa mual Queeny mereda.
"L-lo nggak papa?"
Terdengar suara pancuran air dari dalam. Queeny mengelap wajahnya yang pucat dengan air keran. Lalu dia menelan salivanya kuat-kuat. "G-gue nggak papa," sahutnya agar Marlina tidak khawatir.
"Yakin?" tanya Marlina dengan nada cemas.
Queeny baru saja ingin menjawab, lambungnya berkontraksi lagi. Dia tidak sanggup melihat cairan yang ia muntahkan, yang sebagian besar berasal dari minuman semalam. Queeny merasa sangat menyesal, karena minuman terlarang itu, dia harus kehilangan kesadaran sampai nyaris ditiduri Furqon, belum lagi rasa mual dan kram perut yang tak tertahankan. Dia bersumpah tidak akan meminum alkohol lagi seumur hidupnya.
"Queen!" seru Marlina samar-samar terdengar di antara suara pancuran air. Queeny sadar dia masih harus menyahut temannya yang sedang menaruh perhatian padanya di luar sana. "Iya?" sahut Queeny dengan nada lebih lantang.
"Gimana? Lo mau izin aja? Ini udah hampir setengah delapan."
Queeny melirik jam tangan di tangannya yang basah terkena pancuran air. "I-iya tinggal aja nggak papa."
Terdengar pekikan kecewa dari balik pintu. "Beneran kan, Queen?"
"Iya, beneran, Mar."
"Ya udah, lo istirahat aja, ya. Gue berangkat dulu."
Queeny mengusap wajahnya. "Iya, hati-hati."
Terdengar suara hentakan sepatu yang menjauh. Queeny mematikan keran. Berdiri menghadap kaca di depannya. Dia melihat wajahnya sendiri yang tidak karuan. Rambut mencuat kemana-mana, kantung mata tebal, noda lipstik luber hingga pipi dan yang paling ia benci ekspresi wajah jeleknya karena mengingat kejadian semalam.
Queeny mengelap wajahnya dengan handuk kecil. Rasa tak nyaman di perutnya masih menghantuinya. Dia harus menunggu sekitar setengah jam sampai yakin dia tidak akan mual lagi.
Queeny keluar dari kamar mandi dengan langkah terseok-seok. Tangannya menahan perut. Napasnya memanas, tak seperti biasanya. Dia masih bisa merasakan bau alkohol di bajunya sendiri. Tetapi dia tidak buru-buru mandi. Dia harus menenangkan keadaan tubuhnya sebelum mengambil tindakan seperti mandi dan mengganti baju.
Queeny merebahkan tubuhnya di atas kasur. Menatap langit-langit ruangan. Menggali kejadian semalam lewat ingatannya. Dia hanya ingat dia diajakan Furqon keluar, mereka datang ke club, lalu mereka pergi dari sana dalam waktu singkat. Queeny masih mengingat dalam perjalanan dia meminum beer di tangannya dan menikmati keindahan lampu-lampu malam di tepian jalan. Sisa memori yang ia ingat adalah ketika dia sudah berada di hotel dan diselamatkan oleh Yusuf dari Furqon.
'Kayaknya ada yang kurang, deh,' gerutu Queeny sambil mengingat lebih dalam apa yang terjadi semalam.
Queeny terlalu larut dalam otak sampai dia sadar rasa kram di perutnya perlahan menghilang. Dia menggatikan posisi tidur untuk meraih ponsel dan melihat ada sekitar dua puluh pesan dan lima telfon. Pesan-pesan itu berasal dari grup, dari Umi yang pastinya menanyakan keadaannya, dan dari Furqon. Queeny mengabaikan pesan-pesan itu untuk meneliti panggilan. Semua panggilan itu berasal dari Umi, itu membuat Queeny curiga.
Queeny membuka pesan dari Umi yang berbunyi:
[Queen, Umi sama Abi besok mau ke Jakarta. Ke hotel Fly.]
Lalu pesan satu jam kemudian:
[Kenapa nggak diangkat telfonnya? Belum bangun?]
[Abi sama Umi sudah booking kamar di hotel.]
[Queeny!]
[Kami sedang dalam perjalanan. Kalau sudah pulang kuliah langsung ke hotel, ya!]
Itu adalah pesan terakhir Umi yang terkirim dua jam lalu. Queeny terperangah sampai nyaris tak sadar dia tak bernapas selama lebih dari sepluh detik.
'Umi dan abinya sedang dalam perjalanan ke sini? Sialan!' umpat Queeny sambil melirik jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan. Mereka pasti akan segera sampai. Kalau mereka mampir ke sini dan mengetahui Queeny tak berangkat kuliah, alasan apa yang akan ia berikan?
Queeny meraih handuk dan lari terbirit-b***t ke kamar mandi. Mengabaikan kram di perutnya yang mulai kontraksi lagi.
Air dingin mengucur ke ubun-ubunnya. Queeny bisa merasakan kulitnya seolah ditusuk ribuan jarum. Tapi tak ada yang bisa mengalahkan rasa paniknya lebih daripada kedatangan umi dan abinya yang secara mendadak ini.
Lima belas menit kemudian, Queeny keluar dari kamar mandi. Tubuhnya terasa sangat segar. Dia merasakan seolah ada beban yang baru saja diambil dari pundaknya. Bahkan rasa paniknya karena kedatangan mendadak orang tua sudah tidak sebesar tadi. Dia mengakui kekuatan mandi memang tidak perlu diragukan.
Setelah berurusan dengan outfit, Queeny akhirnya bisa duduk di ujung ranjang dengan santai. Meraih ponselnya dan membalas pesan ibunya.
[Oke, Umi. Selamat datang di Jakarta.]
Lalu dia bangkit untuk memperbaiki penampilannya. Dia menghela napas. Setelah mandi, dia baru satu ingat bagian dari semalam yang sempat terlupakan, dia ciuman dengan Furqon. Sialnya, dia menikmati ciuman itu dan merasa ingin mengalaminya lagi. Queeny menggelengkan kepalanya dengan cepat seolah ingin mengusir ingatan itu jauh-jauh dari otaknya. Dia benci Furqon, dia benci mengingat ekspresi cowok itu saat membawanya ke hotel semalam. Queeny menyesal membuka blokir nomor Furqon. Sekarang cowok itu sedang berusaha memenuhi notif ponselnya lagi dengan penjelasan-penjelasan tak berguna yang justru membuat Queeny semakin muak.
Setengah jam menghabiskan waktu menyecroll media sosial, akhirnya Queeny mendapatkan balasan dari uminya. Kedua orang tuanya telah sampai di hotel Fly tempat semalam dia dan Furqon nyaris melakukan hal terlarang. Dalam hati Queeny sangat bersyukur orang tuanya tidak mampir ke kostannya, jika itu terjadi teman-teman satu kostan pasti akan bercerita bahwa Queeny sering pulang malam karena main dengan pacarnya.
Queeny mengambil tas jinjing. Keluar dari kostan untuk menunggu tukang ojol langganan yang sering mengantar Queeny berangkat kuliah saat dia dan Marlina punya jadwal berbeda. Queeny sempat memeriksa jadwal kuliahnya hari ini yang ternyata hanya terisi dengan satu mata kuliah. Ini sudah hampir jam sepuluh, jika Queeny berangkat kuliah, dia pasti sedang dalam perjalanan pulang atau mungkin jalan dengan teman-teman. Jadi, dia punya alasan untuk diberikan kepada orang tuanya jika dia ditanya.
Queeny sampai di depan hotel Fly. "Makasih ya, Pak!" kata Queeny mendapat anggukan dari bapak-bapak tukang ojol.
"Sama-sama, Neng!" sahutnya lalu berbaur dengan kendaraan lain di jalan besar.