Queeny melirik ke arah parkiran yang luas dan penuh. Hanya ada beberapa orang yang melewati pintu masuk, Queeny yakin orang tuanya baru saja melewati itu beberapa saat yang lalu.
Setelah bertanya kepada resepsionis, Queeny tau dimana orang tuanya berada. Mereka berada di lantai tiga, sama seperti tujuan Furqon semalam. Dia menyesal mengingat hal itu.
Queeny menaiki lift. Sempat merasa ada yang memperhatikannya dari sekian banyak orang yang dijumpai. Dia menatap satu persatu dari lima orang yang satu lift dengannya. Tidak ada yang terlihat mencurigakan, kecuali si gadis kecil yang berdiri di pojokan sendirian dengan ekspresi takut. Queeny yakin tidak ada satu pun orang yang dia kenal di sana.
'Mungkin cuma firasat gue doang,' bisik Queeny sambil menelan udara ke dalam peru-parunya.
Lantai tiga sudah di depan mata. Koridor yang sama dilewati lagi oleh Queeny. Gadis itu sempat melirik beberapa pasangan yang keluar masuk ruangan, dia meneliti wajah-wajah itu, tidak ada satu pun yang mirip umi dan abinya.
Ini adalah kamar yang sama tempat Yusuf keluar semalam. Queeny menggali ingatannya lebih dalam lagi, dia memang tidak salah. Apakah ini hanya sebuah kebetulan, Umi dan Abinya masuk ke dalam ruangan yang sebelumnya ditempati Yusuf?
Queeny mengetuk pintu sambil menelan kebingungannya dalam-dalam. Dia bersiap memperlihatkan wajah ceria agar Umi dan Abinya tidak curiga. Sesaat kemudian, pintu dibuka dari dalam. Sosok berjilbab muncul dari balik pintu. Tersenyum haru melihat wajah cerah Queeny.
"Assalamualaikum, Umi!"
"Waalaikumsalam!" sahut umi sambil meraih bahu Queeny dan memeluknya sangat erat. Queeny bisa mendengar isakan dari sang bunda membuatnya merasakan pelukan itu semakin hangat.
"Pamali, Umi. Jangan ngobrol di depan pintu!" tegur sang ayah yang duduk di sofa sambil membawa tasbih di tangannya.
Queeny tersenyum ke arah sang ayahnya. Dia melepas pelukan, mendekati abi dan mencium punggung tangannya. "Assalamualaikum, Abi!"
"Waalaikumsalam!" sahut sang ayah dengan nada menenangkan. Bibir beliau membengkok ke atas. Memperlihatkan raut antusias.
"Abi lagi nggak enak badan. Tapi disempat-sempatin datang ke sini," curhat Umi membuat Queeny menurunkan intensitas senyumannya.
"Seharusnya Abi istirahat saja di rumah, nggak perlu repot-repot jengut Queeny. Queeny baik-baik saja, kok."
"Loh, kami tahu kamu baik-baik saja," sahut Abi dengan kekehan kecil.
"Iya, Abi. Jadi, Abi nggak perlu repot-repot jenguk Queeny."
"Kita datang ke sini bukan cuma mau jenguk kamu aja," sahut Umi membuat Queeny mengerutkan kening keheranan. Saat Queeny menoleh ke arah Abi, Abi mengangguk menyetujui kalimat uminya barusan. "Kamu sudah selesai kuliahnya?" tanya Umi membuat keheranan Queeny terpecah.
"S-sudah, kok, Umi. Hari ini cuma ada satu kelas."
"Sudah makan belum? Umi bawain oleh-oleh, nih."
Mereka sarapan bersama dengan hidangan segar yang Umi bawa. Tetapi Abi memilih untuk memakan makanan ringan. Beliau terbiasa puasa, hari ini puasanya harus ditunda karena sedang tidak enak badan. Queeny memakluminya.
Kebersamaan membuat Queeny sadar akan kesalahannya selama di kota yang sangat memerlukan kebebasan. Dia sadar bersama dengan orang tuanya terasa lebih memuaskan dan aman. Dia bisa menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan orang tuanya sampai tak sadar jam sudah menunjukkan pukul satu siang.
Queeny pamit kembali ke kostan dengan alasan solat dzuhur dan ada tugas yang harus dikerjakan. Dalam keadaan hatinya yang penuh sukacita, dia berubah pikiran menawarkan orang tuanya mampir ke kostan.
"Iya, nanti kalau sudah nggak capek."
Queeny memeluk ibunya. Mencium punggung tangan orang tuanya satu persatu. "Queeny balik dulu ya Umi, Abi."
"Hati-hati, ya!" kata Umi saat Queeny menutup pintu.
Ekspresi Queeny secerah siang ini. Tubuhnya penuh energi. Dia punya banyak persediaan mood untuk melakukan apa saja, termasuk mengerjakan tugas paling sulit yang dia punya. Tetapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama saat dia melihat Furqon dari pintu lift.
Keduanya berhadapan dalam jarak yang sangat dekat. Queeny menelan saliva saat Furqon menatapnya dengan ekspresi datar dan arogan.
"Apa? Sialan!" pekik Queeny memecah keheningan. "Kita udah putus. Lo nggak usah deket-deket gue lagi."
Furqon mengerutkan kening. "Sejak kapan kita putus?"
"Sejak lo nyakitin gue semalam. Ingat nggak? Atau jangan-jangan lo kena mental diserang sama Yusuf dan lo jadi pikun?"
"Kurang ajar!" umpat Furqon. Baru juga datang untuk mengembalikan hubungan, Queeny lebih dulu menyulut emosinya. "Kita nggak akan putus."
"Tapi itu keputusan gue." Queeny ingin melangkah pergi, tapi Furqon mencegahnya.
"Putus atau gue bocorin semua rahasia kita ke orang tua lo?"
Queeny membelalak terkejut. Dia tidak menyangka Furqon tau tentang kedatangan orang tuanya. "Lo mata-matain gue, ya?!" tuntut Queeny dengan ekspresi membelalak.
Bukannya takut, justru Furqon tersenyum sombong. "Gue tau semua tentang lo, Queen. Makannya lo jangan macam-macam sama gue." Furqon mencengkram lengan Queeny.
"Najis banget, si!" hina Queeny sambil menghentakkan pegangan Furqon.
"Oke, gue kasih tau orang tua lo sekarang," ancam Furqon sambil melangkah ke arah ruangan orang tuanya. Queeny membelalak panik. Dia menarik lengan Furqon dan menahannya kuat-kuat.
"Sekarang, lo yang balik pegang-pegang gue?"
"Kalau lo kasih tau mereka ...."
"Kenapa?!" Furqon menaikkan sebelah alisnya. Saat itu, pintu lift kembali terbuka. Sosok yang sama kembali lagi. Yusuf keluar dari sana dan langsung mengerutkan kening saat melihat konflik antara Queeny dan Furqon.
"Saya sudah peringatkan kalian berdua!" kata Yusuf membuat Queeny melepas pegangannya dari lengan Furqon. Furqon merotasikan bola mata kesal. Kedua tangannya sudah mengepal erat. Rencananya selalu hancur setelah kedatangan orang ini di antara dia dan Queeny. Sayangnya, dia tidak punya pilihan selain menahan amarahnya. Daripada berdiri untuk diceramahi, dia memilih untuk pergi.
Yusuf senang Furqon pergi hanya dengan ekspresi diamnya. Queeny sendiri masih berdiri di hadapannya, tapi gadis itu sama sekali tidak menatap ke arahnya.
"Seharusnya Bapak nggak usah ikut campur urusan saya!" kata Queeny dengan lantang. Tak peduli lagi orang di hadapannya adalah dosennya sendiri.
"Saya dosen kamu dan saya punya hak untuk melindungi mahasiswa saya." Yusuf menghela napas. Dia merogoh sakunya dan menemukan kartu nama di dalam sana. "Ini kartu nama saya. Kamu bisa hubungin saya kalau dia ganggu kamu lagi." Dia menyerahkan sebuah kartu nama kepada Queeny yang sedang terbengong-bengong.
'Buset, dia kasih kartu nama?' pikir Queeny dengan ekspresi tak masuk akal. Apa dia memberikan kartu nama kepada mahasiswa manapun yang disakiti pacarnya? Mau tak mau, Queeny menerima kartu nama itu dan mengucapkan terima kasih.
Queeny bertemu dengan Marlina dan menceritakan tentang kedatangan mendadak orang tuanya. Queeny juga menyinggung tentang tujuan misterius mereka yang membuat Marlina menebak dengan beberapa kemungkinan, salah satunya adalah kemungkinan yang membuat Queeny takut.
"Gimana kalau ternyata diam-diam Furqon kasih tau hubungan kalian ke umi sama abi kamu, terus mereka memutuskan untuk menjodohkan kalian?"
Queeny merinding spekulasi Marlina. "Jangan ngaco!" sanggah Queeny dengan ekspresi kesal.
"Yakali aja, kan." Marlina melahap sisa nasi padang di piringnya. "Lo nggak mau makan? Keburu dingin, tuh!"
Queeny melirik nasi padang di depannya yang masih mengepul. "Gue disuruh ke kafe sama umi dan abi, kayaknya sekalian makan di sana."
"Ngapain?" tanya Marlina tanpa menoleh karena sibuk menikmati makanannya.
"Nggak tau. Biasalah, lah. Orang desa pasti mau jalan-jalan lihat kota."
Marlina tertawa. "Jadi, lo akan jadi pemandu wisata malam ini? Untung turisnya keluarga sendiri."
Queeny nyengir tak terima. "Dingin-dingin gini jalan-jalan?" Queeny menggeleng tak bisa membayangkan. "Mending ketemu sama dosen killer daripada jalan-jalan."
"Cie!" ledek Marlina yang akhirnya punya kesempatan menoleh. "Dikasih kartu namanya, terus diselametin dua kali, kayaknya gue merasakan aura-aura aneh, nih."
Queeny langsung menimpuk bahu Marlina. "Apaan, si? Dia bukan tipe gue."
"Bukan tipe apa bukan tipe?"
"Berisiki lo, Mar." Queeny melarikan diri ke kamar mandi untuk bersiap. Penampilannya sudah rapi tiga puluh menit kemudian. Uminya menyuruhnya datang jam delapan, ini sudah jam delapan kurang sepuluh menit. Queeny harus bergegas.
"Awas, ketemu dosen killer, loh!" ledek Marlina saat Queeny menutup pintu untuk berangkat.